Di labrak istrinya Pak Akbar.

1433 Words
Ayana POV. Mas Faizal tidak mau menerima anak ini, karena hasutan ibunya. Sekarang apa yang harus aku lakukan. AKu hidup sendiri dan juga tidak memiliki uang. Pekerjaan saat ini sangat sulit apalagi untuk seorang perempuan yang sedang hamil sepertiku. "Ayana! kamu di sini?" terpaksa aku datang ke rumahnya Rudy, untuk meminta bantuan padanya. Bu Jumiah atau iBunya Rudy ini sangat baik sekali. Dulu ketika kedua oran tuaku masih hidup beliau memang akrab dengan kedua orang tuaku. "Ibu apa kabar?" Aku bersalaman dengan Ibu Jumiah, beliau memeluk ku dan aku membalasnya. "Ibu baik sekali, nak. Kamu ko baru dateng ke sini? kamu sudah lupa ya pada ibu dan Rudy?" Aku mencoba tersenyum meski hati ini sedang menelan banyak sekali batu kehidupan yang begitu menyakitkan. Rasanya sakit dan juga pahit. "Maaf kan saya bu." "Oh, sudah sudah, jangan minta maaf. Ibu sangat mengerti bahwa kehidupan rumah tangga itu memang sangat menyita banyak sekali waktu. Mmm ... kamu ada perlu sama ibu atau rudym nak? karena ibu mau pergi arisan." Beliau memang sudah terlihat rapi sekali. Sedari dulu, Bu Jumiah ini memang sangat aktif arisan dengan ibu ibu kompleks yang ada di perumahan ini. "Sebenarnya Ayana ada perlu sama Rudy, bu. Ayana butuh pekerjaan." Kerutan terlihat di keningnya ibu Jumiah. AKu yakin sekali bahwa beliau memang bingung melihat keadaan ku saat ini. "Loh, ko, kerjaan? bukannya kamu sedang hamil, kata rudy." Aku mengangguk lemah. "Lalu kenapa nak?" "Bu .... saya dan suami saya sedang enggak baik baik saja. Saya mau kerja, karena saya sangat membutuhkan uang, bu." Bu jumian berpikir agak lama, kemudian ia mengangguk dan meninggalkan ruang tamu. Mungkin menemui Rudy, karena setelah beberapa menit kemudian ia kembali menemui ku bersama Rudy. Sedangkan beliau kembali pergi mungkin akan menghadiri acara arisan tadi. "AKu kaget, ketika ibu bilang, kamu membutuhkan pekerjaan." Rudi duduk di sofa berhadapan dengan ku. Aku mengangguk lemah. "Jika diijinkan aku ingin kerja di tempat mu, rud," "Tapi kamu sedang hamil. Bagaimana bisa kamu kerja?" "Aku sedang hamil dan membutuhkan biaya hidup, rud. AKu harus bagaimana?" "Lalu suami kamu?" "AKu dan dia sedang enggak baik baik saja. Dia ingin kami cerai. Dia enggak percaya kalau anak ini adalah anak nya." "Dia b******k sekali!" AKu terdiam. "Aku lihat dulu, kamu kerjanya di bagian apa. Enggak mungkin di bagian yang berat. Mmm ... kamu bisa menjadi kasir kan?" "Bisa Rud." "Baiklah. Kalau gitu, kamu mau kerja mulai kapan?" "Boleh besok atau hari ini. terima kasih rud." Aku meraih tangannya dan dia mengangguk pelan. "Semoga kamu dan kandungan kamu baik baik saja. AKu sebagai teman hanya bisa mengdoakan kamu,." "Ini saja sudah cukup, rud. Aku sangat berterima kasih." "Baiklah. AYo kita ke kasir. sebenarnya yang bagian kasir sudah betah dia di sana. Tapi karena dia laki laki, dan bisa mengerjakan apa saja, aku memindahkannya." "Aku jadi enggak enak, rud, sama karyawan yang bagian kasirnya." "Kamu jangan khawatir, aku akan memberikan pengertian padanya. Aku rasa, dia akan mengerti." Dipertemukan dengan karyawan lain, Rudy memperkenalkan aku pada mereka dan mengatakan bahwa mulai hari ini di bagian kasir adalah aku. Yang lainnya terlihat setuju, namun lelaki yang tadinya di bagian kasir itu menatapku sinis. Ini bukan salahnya. AKu lah yang salah karena telah merebut bagiannya. "Zidan pasti sangat ngerti, iyakan?" Rudy sedang mencoba membujuk laki laki itu. Lalu aku melihatnya mengangguk dengan senyuman tipis pada Rudy. "Iya, pak. Kalau begitu nanti saya bagian apa nih?" tanya Zidan. "Kamu bisa bagian apa saja. menerima tamu atau PU juga boleh. Apa saja yang kosong, kamu bisa mengerjakannya. Saya sangat percaya sama kamu, ko." Terlihat Rudy menepuk bahunya Zidan, yang ditanggapi oleh laki laki itu dengan senyuman tipis. Semuanya berjalan dengan baik. Aku sudah mulai duduk di kasir dan menerima p********n, sedangkan lelaki yang bernama Zidan itu juga melakukan tugasnya dengan sangat baik. Aku pikir pekerjaan ku akan berjalan baik baik saja, ketika aku hendak pulang, dan mengambil barang barang ku. Aku melihat Zidan menemuiku ke loker. "Kamu siapanya pak Rudy?" Laki laki itu ternyata kelokernya yang ternyata berada tepat di samping loker ku hanya terhalang dua loker. Dia membuka loker dan menatap padaku dengan tatapan yang cukup membuat bulu kuduk ini merinding. AKu bisa membaca bahwa laki laki ini tidak menyukai ku. Mungkin karena aku yang telah merebut pekerjaannya. "Aku temannya, dulu kami satu sekolahan." Dia terlihat manggut manggut. "Aku dengar, kamu ini sedang hamil muda. Kenapa kamu kerja? ke mana suami kamu?" AKu memillih terdiam dan menutup loker ku, karena aku sudah selesai mengambil barang barang ku. "Aku permisi, duluan, ya, Zidan. " AKu meninggalkan ruang loker, dan Zidan mengibaskan handuk kecil yang ia letakan di lehernya, karena ia sepertinya tadi habis mencuci mukanya. Anggukan kecil dan datar menjadi jawaban atas pamitnya diriku. Sekarang, aku bingung harus tinggal di mana, karena aku tidak mungkin menyuruh tetangga yang sedang menyewa rumah kedua orang tuaku. Lagi pula uangnya telah dia berikan padaku di muka. Meski tidak banyak, namun tetap saja mereka sudah membayarnya. Jam sudah menunjukan pukul lima sore. AKu harus menemukan kontrakan kecil yang murah, yang harganya bisa aku jangkau. Aku masih memiliki uang yang dipinjamkan Nilam, dan aku masih belum mengganggunya sama sekali. Hampir saja, aku akan menyebrang jalan, ketika aku melihat seorang anak kecil menangis di pinggir jalan. Ku dekati anak itu, dan dia menatap padaku dengan kedua matanya yang merah. "Kamu kenapa menangis?" tanya ku padanya. "AKu nyari mamah." ujarnya dengan terbata. "Memangnya mamah kamu ke mana?" "Mamah pergi sama om. Mamah tinggalin aku dan papah." Aku tertegun. "Kamu sama siapa ke sini?" "Aku sendirian. AKu mau ketemu mamah." Kuusap bahunya, sekarang bukan hanya bingung harus mencari kontrakan dalam waktu singkat. Aku juga harus bingung ke mana mengantarkan anak berusia empat tahunan ini. "Kamu ingat, di mana mah mu?" Dia menggeleng pelan. Namun tiba tiba ponsel yang ada di dalam tas kecilnya bersuara, aku rasa itu ponsel miliknya. Aku ambil ponsel itu, di sana ada tulisan papah. "Ini papah telpon, kamu angkat ya ...." Aku tekan sentuh layar ponselnya dan panggilan pun terhubung. "assalamualaiku, pak. Maaf, saya yang mengangkat telponnya. PUtra bapak bersama saya di pinggir saja. Apa bapak bisa menemui saya?" "Waalaikum salam. Oh, iya. Saya akan segera menemui kalian. Di pinggir jalan mana kalau boleh saya tahu?" "Di dekat pom bensin. pak. " "Baiklah, saya akan segera ke sana dan menemui kalian." Lalu ku ajak anak laki laki berusia empat tahunan itu berdiri di dekat pom bensin. Ku pegang tangannya karena aku takut di lari sana sini. Anak seumuran di memang kadang sangat aktif. Tidak lama kemudian sebuah pajero berwarna putih berhenti di pinggir jalan di dekat kami. Aku kenal mobil itu, dan ternyata dia adalah Pak AKbar. "Ayana!" Dia menyapaku dengan penuh keterkejutan."Ini putranya bapak?" Pantas saja wajah anak laki laki ini sangat mirip dengan Pak AKbar, tenyata dia memang lah putranya. "Iya, ini banyu, anak saya. Duh, terima kasih sekali kamu udah jaga dia barusan." Pak AKbar memeluk erat Banyu dengan penuh syukur. Aku melihat bahwa beliau sangat ketakutan anaknya pergi darinya. AKu bahkan masih ingat bagaimana ia begitu emosi ketika menerima panggilan dari seorang perempuan waktu di rumah sakit itu. Aku yakin sekali bahwa itu adalah mantan istrinya yang menginginkan hak asuh Banyu. "Saya mendengar, bahwa banyu lari dari rumah. pengasuhnya menelpon saya. Banyu ini sangat aktif, dan kadang pengasuhnya kehilangan dia." keluh Pak AKbar. "ANak seumuran banyu, memang kadang sangat aktif, pak. " "Iya. Oh, iya. memangnya kamu mau ke mana? ini sudah hampir pukul enam sore kan?" "Mmm .... saya mau--" "BANYU!" Seorang perempuan datang dan menghampiri kami. Perempuan itu sangat cantik dan terawat. AKu rasa, dialah mantan istrinya Pak Akbar. Dia melirik padaku, dan telihat sinis sekali. "kenapa dengan banyu? kenapa kamu membiarkan dia pergi sendirian?" "Saya baru pulang kerja, dan saya dikagetkan oleh pengasuhnya, kalau dia pergi dari rumah. harusnya kamu tanya kenapa banyu pergi dari rumah. Dia nyari kamu. Ini gara gara kamu." "Kan aku sudah bilang, kalau aku akan membawa banyu! kamu sendiri yang melarang ku kan!" Mereka terlibat pertengkaran, dan aku melihat banyu menangis kencang. Anak itu sepertinya frustrasi melihat kedua orang tuanya. Pak Akbar memberikan intruksi padaku untuk membawa akbar, maka aku pun dengan terpaksa membawa anak itu ke arah mobil, namun perempuan itu meraih tangan ku dan merebut akbar dariku. "perempuan ini selingkuhan kamu! jadi dia yang akan menjadi ibu tirinya akbar!" Aku melebarkan kedua mata ini, bagaimana masalahnya jadi melebar seperti ini. "Jangan bawa bawa ayana! kamu sendiri yang selingkuh. lepaskan!" dia mendorong perempuan itu dan membawaku dan Banyu masuk ke dalam mobil dengan tergesa. Ku lihat perempuan itu berteriak di luar mobil, dan pak akbar segera menyalakan mobilnya. Aku sendiri menenangkan Banyu dan anehnya anak laki laki itu terdiam di pangkuan ku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD