1. Kehilangan
"Papi bangun! Hikss ... jangan tinggalin Key! Key nggak punya siapapun lagi pi. Key mohon buka mata Papi, Key mohon jangan pergi. Papi hiks-hiksss ..." isakan tangis gadis muda itu terdengar memilukan, menyayat hati, menyebabkan siapapun yang mendengarnya ikut prihatin bersedih.
Gadis itu terus-menangis meratapi jenazah almarhum ayahnya. Berharap penuh yang terjadi hanyalah mimpi buruknya yang tak pernah terjadi. Namun, yang terjadi adalah kenyataan sebenarnya. Kenyataan pahit yang harus dihadapinya.
Kini ia sendirian meski tak benar-benar sendirian. Sebab, gadis itu masih memiliki ibu dan saudari tirinya Riana. Tetapi, arti keduanya ibu dan Riana keluarga tirinya tak perdulikan dirinya. Tak akan peduli bagaimana nasib diri setelah baru saja kehilangan ayah tercintanya. Kedua keluarga tirinya, ibu serta kakak tirinya hanyalah memperdulikan harta warisan ayahnya saja.
Seminggu setelah kematian ayahnya, ibu tirinya bahkan sudah tak sabaran mengurusi masalah harta warisan peninggalan mendiang ayahnya. Sudah tak sabaran mengeruk dan menikmatinya. Lalu Riana saudari tirinya bahkan sudah lebih dulu memikmati memimpin perusahaan milik ayahnya padahal hak kuasanya belum ditentukan untuk siapa. Padahal disisi itu Keysa masih dalam keadaan berduka. Terlebih lagi bisa jelas semua harta peninggalan ayahnya bisa saja warisan untuk Keysa, mengingat dirinyalah putri kandung orang terdekat ayahnya.
Namun, Keysa tak terlalu mempedulikan kelakuan ibu juga Riana saudari tirinya. Terserah saja mereka mau melakukan apa, menguasai aset yang mana atau semuanya pun tak apa. Keysa relakan untuk mereka semuanya. Tak masalah, bukan perkara besar dan juga bukan hal penting bagi Keysa. Terkecuali rumah yang ditempatinya sekarang yang juga ditempati keluarga tirinya.
Bukan apa-apa, hanya saja rumahnya menyimpan kenangan teramat berharga bagi Keysa. Sehingga sebisa mungkin Keysa mempertahankan rumah peninggalan mendiang ayahnya bagaimanapun caranya. Termasuk menandatangi pengalihan seluruh harta warisan yang mendiang ayahnya tinggalkan untuk dirinya agar hak kuasanya beralih ketangan ibu tirinya.
Tetapi, semua itu bukanlah hal yang cukup bagi ibu tirinya yang rakus. Sebab, ternyata meski telah memiliki semua harta kekuasan suami, dia juga masih menginginkan rumah satu-satunya yang beratas namakan Keysa sebagai pemiliknya. Sehingga berbagai cara dia lakukan untuk mendapatkannya dan kini dia benar-benar mendapatkan, setelah menggunakan otak piciknya merencanakan hal busuk dan tak menyisahkan secuil hartapun untuk Keysa.
BRAKK
Riana melemparkan foto mendiang ayah tirinya membanting lantai dengan kerasnya. Disusul barang peninggalan lainnya yang tak kalah penting. Menyebabkan Keysa melotot marah tak menyukai hal itu.
"Hentikan! Apa-apaan yang Kakak lakukan?" Keysa berteriak geram dengan murkanya.
"Apa, dihentikan?" Tanya Riana tersenyum menatap Keysa penuh ejekan lalu kearah Ibunya menatap dengan bahagiannya.
BRAKK-BRAKKK
"Aduh maaf Keysa, tapi aku sangat menyukai melakukan hal ini," ucapnya tega tak merasa bersalah sama sekali membuat Keysa prustasi melihatnya.
"Aku mohon hentikan! Hanya itu peninggalan papi. Aku mohon Riana, tolonglah jangan begini, jangan hancurkan semua itu, kumohon ..." Keysa putus asa tak tahu harus apa lantas beralih menatap Ibu tirinya. "Tolong hentikan Riana, Ma. Tolong jangan biarkan Riana merusak semua itu, tolong hentikan dia, Maa ..."
"Baiklah, tapi tandatangani berkas pengalihan kepemilikan rumah ini sekarang." Ibu tirinya tak perperasaan menyuruh Keysa melakukan keinginannya.
"Tapi rumah ini satu-satunya kepunyaanku. Semua harta papi sudah milik kalian, apa itu masih belum cukup?" Miris Keysa tak habis pikir. Keluarga tirinya sungguh serakah.
Selama ini keluarga tirinya saat papinya masih hidup tak memperlakukannya buruk bahkan sampai sekarang. Hanya saja dua orang itu sangat serakah menyukai harta dan suka sekali berpoya-poya, dan hal itulah yang menyebankan keduanya kian memaksa Keysa untuk menyerahkan harta warisannya untuk mereka.
BRAKK
Riani kembali melempar kasar barang lain yang sama berartinya bagi Keysa dengan foto papinya.
"Kak Riana sudah, jangan merusak lebih banyak lagi ..."
Riana menyeringai menatap Ibunya seolah memberi sinyal. Lalu setelahnya beralih pada Keysa, "Kalau begitu cepatlah tandatangani!" Tegasnya dengan paksa.
Sehingga mau tak mau akhirnya dengan tak rela serta berat hati, Keysa pun membubuhkan tanda tangannya diberkas yang kedua orang keluarga tirinya inginkan
*****
Selepas kejadian yang mengurah emosinya kini Keysa berada bersama sahabatnya, satu-satunya orang yang mau mendengar keluh-kesahnya. Dia benar-benar hancur sekarang merutuki apa yang sudah terjadi dan dirinya yang tak berdaya oleh keadaan yang ada.
"Aku mungkin lebih baik mati saja, Syaniah. Supaya mereka puas." Keysa menghapus air mata yang mengalir di sudut matanya.
"Kalau kamu mati keenakan merekalah. Jadi jangan dululah, setidaknya balas perbuatan mereka atau rebut saja harta yang memang seharusnya untukmu," nasehat Syaniah memberi saran.
"Bagaimana caranya? Mereka itu terlalu licik dan punya seribu rencana busuk. Kamu ingat, bahkan baru ini mereka menipuku. Aku pikir jika mengihklas semua harta peninggalan papi untukku mereka akan puas, tapi nyatanya mereka masih saja serakah."
"Karena itu kamu harus memberikan mereka pelajaran supaya pintar dan tahu diri. Bahwa yang mereka miliki saat ini bukanlah milik mereka, tapi milikmu. Rebut kembali Keysa! Atau kamu memangnya rela semua usaha jeri payah papimu untuk mereka berdua?"
Keysa mengeleng, "aku tidak mau, tapi aku gak tahu harus bagaimana Syaniah?" ungkapnya mengiba menatap Syaniah.
Syaniah tersenyum menyalurkan kekuatan pada sahabatnya lantas memberinya pelukan hangat juga. "Kamu jangan khawatir kamu masih punya aku. Aku yang akan selalu ada untukmu," ungkapnya tulus sepenuh hati. "Dan Keysa jangan menghawatirkan masalah kepicikan juga sejuta rencana busuk mereka, karena kita, aku dan kamu punya lebih dari itu."
Keysa menatap sahabatnya bingung meminta penjelasan lebih lewat matanya, "maksudmu?"
"Kita punya lebih dari yang mereka punya. Kalau mereka picik, licik dan sejuta rencana busuk. Maka kita pun punya punya otak cerdik juga berjuta lebih banyak rencana bagus lebih jauh banyak dari yang mereka miliki." Syaniah memberi keyakinan kepada Keysa. "Dan sekarang hapus air matamu aku punya sesuatu yang akan membuatmu merasa lebih baik," Sambungnya tersenyum meyakinkan.
"Apa?"
Bukannya langsung menjawab Syaniah malah menarik Keysa berdiri. "Ikut aku!" Beritahunya dengan misterius.
□ □ □
"Tadaaa!" Antusias Syaniah berharap Keysa terpukau olehnya. "Inilah dia tempat yang aku maksud mampu membuatmu jadi lebih baik. Apa kamu suka?" sambung Syaniah tersenyum bangga akan dirinya.
Keysa menatap cengo lanjut menggarut kepalanya yang tak gatal. Bingung akan memberi komentar apa, ketika dirinya malah tak terkesan sama sekali.
"Rooftop." Keysa akhirnya melontarkan kalimatnya dengan nada tak yakin.
'Apa hubungannya rooftop dengan sesuatu yang membuat perasaan jadi lebih baik ...' sambung Keysa membatin tak yakin mengenai ide Syaniah.
"Ya, memang ini rooftop, lantai teratas gedung. Lalu kenapa? Ini bisa membuatmu merasa sedikit baikan Keysa, percayalah ..."
Hal itu membuat Keysa mulai berpikir menebak maksud ide sahabatnya Syaniah.
"Oh, aku tahu maksudnya sekarang." Keysa mengangguk paham membuat lengkungan garis senyum Syaniah kian melebar saja, tapi tak lama berganti cemberut oleh lanjutan kalimat Keysa selanjutnya. "Kamu mengajakku kemari agar aku bisa mewujudkan keinginanku menyusul papi, dengan cara melompat dari atas gedung ini."
Syaniah melotot tak percaya. Sungguh tebakan Keysa melenceng jauh, amat jauh malahan dari harapannya.
"Bukan begitu Keysa Ayundaaa!"
"Terus bagaimana Syaniah Aditama?"
"Aku ingin kamu berteriak disini sepuasnya melepas semua unek-unek masalahmu, sehingga kamu jadi merasa baikan. Kayak adegan yang ada dalam film drakor itu loh," jelas Syaniah tak ingin Keysa salah faham padanya.
"Oh, begitu!" Angguk Keysa faham.
Keysa pikir sebelumnya agar dirinya bisa bunuh diri, mati dengan cepat setelah melompat. Hal itukan bisa juga membuat masalahnya hilang. "Jadi sekarang aku harus apa?" Sambungnya agak bingung.
"Teriaklah."
"Tapi aku grogi, Syaniah."
"Kenapa grogi?"
"Karena kamu ada disini, Syaniah. Aku malu kamu memperhatikanku berteriak gila disini," ungkap Keysa sejujurnya dan membuat Syaniah mengangguk faham.
"Baiklah aku pergi agar kamu bisa berteriak sepuasnya disini. Eh, tapi jangan sampai lompat dari atas sini, ya, Keysa. Ingatlah, seberat apapun masalahmu, mati tetap bukanlah solusi yang baik." Nasehat Syaniah yang angguk setujui Keysa. "Hm, kalau kamu sudah puas berteriak, telepon aku agar segera kembali kesini," Lanjutnya sebelum pergi dari rooftop.
Setelah Syaniah pergi, Keysa menghela nafas lanjut berjalan menuju dinding pembatas rooftop. Dari sana Keysa dapat menikmati pemandangan kota dengan kerlap-kerlip lampu bangunan. Indah dan menenangkang ditambah dengan hembusan angin sepoi yang membuatnya tampak lebih sempurna. Keysa belum berteriak meluapkan segala masalahnya sesuai intruksi Syaniah, karena dia memang tidak akan berteriak. Sebab, dia hanya ini menenangkan diri sejenak dengan menikmati pemandangan yang tersedia dari atap hotel yang sedang dipijak.
Perlahan bayangan masalah yang menimapanya, membayang masuk dalam pikirannya. Bermula dari ibu yang melahirkannya meninggal beberapa tahun silam, lalu ayahnya menikah lagi dan beberapa hari lalu ikut menyusul ibunya meninggalkan Keysa untuk selamanya. Lanjut dengan ibu tirinya penggila harta yang melakukan aksinya. Mengambil dan merampas semua harta benda peninggalan kepemilikan orang tua Keysa. Dengan serakahnya tak meninggalkan sedikitpun untuk Keysa, padahal Keysa hanya ingin rumah beserta isinya dengan nilai jual yang tak sebanding dengan semua aset yang sudah beralih jadi milik ibu tirinya.
Keysa memejamkan mata seraya merapa pada pembatas rooftop, lalu berjinjit merasakan tiupan angin yang makin terasa menerpa kulitnya. Disusul dengan kerutan didahinya yang muncul karena terlalu memikirkan semua masalahnya, bersamaan dengan helaan nafas yang kasar.
Dia sudah tak mempunyai sesiapapun sekarang. Lalu ucapan Syaniah tiba-tiba membayang menepis pikirannya, "Kamu jangan khawatir kamu masih punya aku. Aku yang akan selalu ada untukmu."
Ya, dia masih memiliki sahabat terbaiknya Syaniah, tapi Shayra sudah tak mau merepotkannya terus. Dan sekarang dia harus segera mengakhirinya ..."
"Berhenti!" Tahan seseorang membuatnya membuka mata dan menoleh kebelakang.
Itu bukanlah Syaniah yang kembali karena menghawatirkannya, melainkan orang lain. Tetapi, bukan orang asing kerena Keysa mengenalinya sebagai Arkan sosok laki-laki yang dibenci dan membencinya.
"Apa yang mau kamu lakukan, bodoh! Jangan melompat dari atas sini!!" Arkan menatap tajam mengintimidasi tak habis pikir dengan kelakuannya.
Hey, tapi apa salah kelakuannya yang menikmati angin sepoi? Perlu ditekankan bahwa Keysa, 'hanya menikmati hembusan angin' bukan hal lain. Lalu kenapa Arkan sampai bereaksi aneh, apakah dia berpikir Keysa akan melompat bunuh diri?
"Siapa yang mau melompat?" Tanya Syaniah menyela tiba-tiba telah kembali ke rooftop menghampiri Keysa.
Arkan menatap Syaniah, menyadari bahwa sepertinya dirinya sedang salah paham.
"Tidak ada, lupakan. Lebih baik kita pulang turun kebawah, berlama-lama ditempat ini membuatku merasa pusing." Keysa menarik Syaniah pergi dari sana mengacuhkan keberadaan Arkan yang masih memperhatikan dan menatap tajam padanya dengan diselimuti oleh hawa kebenciannya.
*****