***
“Silakan nona, makanan Anda sudah saya siapkan,” ucap pelayan dengan ramah saat menyambut Helena di meja makan.
“Terima kasih,” Helena berucap sambil tersenyum tipis pada sang pelayan, lalu ia menarik salah satu kursi di meja makan dan duduk. Ia melihat variasi menu yang telah disajikan dengan apik oleh pelayan di atas meja. Terlihat ada begitu banyak pilihan makanan yang menggiurkan.
Dengan penuh semangat, Helena mulai mengisi piringnya dengan beberapa menu favoritnya. Sebelum duduk, ia pastikan untuk mencuci tangan terlebih dahulu.
“Sayang…” suara lembut seorang wanita membuyarkan konsentrasi Helena yang hendak menyendok makanan ke mulutnya.
Helena membalikkan kepala dan tersenyum lebar saat melihat wanita berusia senja itu mendekat. “Grandma sudah makan?” tanyanya penuh kehangatan. Wanita tersebut ternyata adalah neneknya, Anastasya.
Anastasya, wanita berusia senja, adalah Ibu kandung dari Riccard, Ayah Helena. Saat berhenti di dekat meja, ia menarik kursi di samping cucunya. Dengan lembut, Anastasya duduk sambil tersenyum memandang gadis cantik di hadapannya.
“Sudah, sayang,” jawab Anastasya sambil tersenyum lembut. Ia mengamati menu-menu di atas meja sejenak sebelum melanjutkan, “Jangan lupa makan sayurnya ya, biar tetap sehat.”
Helena mengangguk sambil tersenyum, lalu dengan cepat mengambil beberapa potong brokoli ke dalam piring saji. “Tadi aku tertidur di apartemen Grandma,” ujarnya sambil melirik sebentar pada wanita senja itu sebelum melanjutkan, “Cukup lama, dan setelah aku bangun, badanku terasa jauh lebih segar dari sebelumnya,” lanjutnya sambil mengunyah makanan dengan nikmat.
Dengan senyum hangat yang menghiasi wajahnya yang keriput, Anastasya membalas, “Syukurlah kalau begitu. Grandma senang mendengarnya. Tapi, kalau bisa, jangan terburu-buru untuk masuk kerja ya, sayang? Tunggu sampai kamu benar-benar pulih,” ujarnya memberikan saran dengan penuh kekhawatiran.
“Aku merasa bosan di Mansion. Ini tidak seperti biasanya, Grandma,” ungkap Helena dengan jujur.
Anastasya mendesah pelan, “Grandma tidak yakin Mommy akan mengizinkan,” dengan nada prihatin.
“Nanti aku akan minta bantuan Dad,” kata Helena sambil terkikuk sambil menoleh ke belakang dengan cemas, khawatir jika sang Mommy mendengar ucapannya barusan.
Anastasya ikut tertawa pelan melihat tingkah menggemaskan sang cucunya. Kemudian, dengan lembut, ia meminta agar sang cucu melanjutkan makan hingga selesai.
Setelah selesai makan, Helena langsung menuju ke lantai atas tempat kamar tidurnya berada. Ia masuk ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan membasuh wajah sebelum bersiap-siap untuk istirahat.
Helena kemudian bergerak menuju walk-in closet untuk mengganti pakaian dengan night dress. Setelah itu, ia kembali ke atas ranjang dengan laptop terang bersinar di pangkuannya, siap untuk bersantai sejenak sebelum tidur.
Sebelum tidur, Helena menyelesaikan beberapa pekerjaan yang masih tertunda, mempersiapkan diri untuk kembali beraktivitas seperti biasa esok hari.
Di tengah fokusnya menatap layar laptop yang bersinar, tiba-tiba Helena teringat kejadian di apartemen. Dengan gigitan pelan di bibirnya, ia memikirkan kembali saat Heros menciumnya.
“Ck, dasar b******k!” desisnya sambil menggeram kesal. “Seharusnya aku menembaknya tadi.”
Mendesah kasar, Helena mencoba kembali fokus pada pekerjaan yang belum selesai. Namun, ia merasa kesal karena bayangan kejadian tersebut masih menghantuinya, membuatnya sulit berkonsentrasi sepenuhnya.
"Ish! Mengapa aku tidak bisa melupakannya?! Mengapa harus terus menghantuiku?! Heros!" Pekiknya sambil menarik rambutnya dengan kesal.
Dengan kesal, Helena terengah-engah. Ditambah lagi, ia teringat bahwa tadi ia sempat membalas ciuman pria itu, meskipun dilakukannya terpaksa karena berusaha mengelabui Heros.
Namun, Helena tetap sulit melupakan kejadian tersebut. Saat ia membalas ciuman pria itu tadi, dadanya tiba-tiba berdebar sangat kencang, meninggalkan kesan yang sulit untuk dilupakan.
Ckk, apa artinya coba?
"Dasar menyebalkan. Kalau aku bertemu dengannya lagi, aku akan mematahkan rahangnya! Atau tangannya, atau alat kelaminnya, agar dia tidak bisa lagi bercinta dengan wanita-wanita jalang itu," ucap Helena dengan nada marah dan kesal.
Helena terus menggerutu, memberikan sumpah serapah terhadap Heros sehingga tidak bisa lagi fokus pada pekerjaannya. Akhirnya, Helena mematikan laptopnya dan menyimpan benda tipis itu di atas meja samping ranjang sebelum merebahkan diri dalam kegelapan pikirannya yang terus menerus dihantui oleh bayangan Heros.
Helena beralih cepat menyambar remote control dan mengatur pencahayaan kamar. Ia mematikan lampu utama dan membiarkan lampu tidur menyala, menciptakan suasana yang tenang dan redup di dalam kamar.
Helena merenggangkan tubuhnya setelah menarik selimut tebalnya. Dengan mata yang terpejam, ia berusaha untuk tidur agar pikirannya berhenti mengingat kejadian tadi.
Saat sedang berusaha untuk tidur, tiba-tiba ponsel Helena berdering. Helena membuka mata dan melirik tajam ke arah layar ponsel yang menyala di atas meja samping ranjang.
Kemudian Helena memutuskan untuk bangkit, menegakkan tubuhnya di atas kasur, dan menyambar ponsel yang berdering di sana. Dengan layar yang masih menyala, ia membawa ponsel itu ke depan wajahnya untuk melihat siapa yang menghubunginya.
Helena mengerutkan keningnya saat melihat nomor yang tidak dikenal sedang menelepon. Dengan ragu, ia memutuskan untuk tidak menjawab panggilan tersebut hingga panggilan berakhir.
Namun, si penelepon misterius itu kembali menghubunginya. Helena merasa semakin penasaran dengan siapa yang sedang mencoba menghubunginya.
“Halo,” jawab Helena setelah akhirnya memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut.
“Aku bisa menebak, kau pasti susah tidur karena terus mengingat ciuman kita tadi, benar?” ucap si penelepon dengan suara yang penuh teka-teki.
Helena mendelikkan kedua matanya saat mendengar ucapan lawan bicaranya di ujung telepon. Dengan hati berdebar, Helena menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap sebentar pada layar yang menyala, melihat nomor ponsel tersebut dengan penuh kecurigaan.
“Dari mana kamu mendapatkan nomor ponselku?!” desis Helena dengan suara tegas setelah kembali menempelkan ponsel ke telinganya.
Sang pria di ujung telepon terdengar tertawa pelan, membuat Helena semakin merasa marah. “Mendapatkan nomor ponselmu bukanlah sesuatu yang sulit bagiku. Jangankan nomor ponsel, bahkan jika aku mau, aku bisa menyelinap ke dalam kamarmu,” ucapnya dengan nada sombong.
Helena mendengus, "Aku mempersilahkan kalau begitu, supaya aku lebih mudah membunuhmu!" ucapnya dengan nada tajam dan penuh tantangan.
Sang pria tertawa, "Kau lebih galak daripada Ibumu, Baby Helen," ucapnya dengan nada meledek.
Helena memutar malas kedua matanya sebelum suara bariton itu kembali terdengar, "Bagaimana rasanya berciuman denganku?" ucapnya dengan nada merayu.
“Menjijikan!” jawab Helena dengan tegas, sehingga tawa pria itu kembali terdengar di seberang sana.
“Sungguh?” tanya sang pria.
Helena menjawab dengan deheman singkat, “Hem.”
“Baiklah, itu artinya kita harus mengulanginya sampai kau bisa menikmatinya,” ucap sang pria dengan suara menantang.
Helena menjawab dengan tegas, “Aku akan mencekikmu kalau kamu berani menggangguku lagi!” Ancamannya terdengar dengan jelas di ujung telepon.
“Aku tidak berhenti karena yang memulainya bukan aku, tetapi kau. Jadi terimalah konsekuensinya. Aku akan tetap menjadi bayanganmu, Helena Roberto!” tekan sang pria dengan suara yang penuh dengan ancaman.
Sontak Helena melongo tidak percaya, "Setelah kamu menciumku sesuka hatimu, sekarang kamu malah menuduhku memulainya? Apakah kamu masih waras?!" pekiknya dengan penuh kekesalan.
“Yang menamparku di tempat umum siapa?” tanya sang pria di ujung telepon.
“Aku menamparmu karena kamu bersikap kurang ajar. Masih belum menyadarinya?” desis Helena dengan nada tegas dan penuh kekesalan.
“Aku yakin kau tidak buta. Penglihatanmu masih sangat bagus dan normal, begitu pun dengan ingatanmu. Aku yakin kau pasti tahu bagaimana insiden itu bisa terjadi, Helena,” ucap sang pria dengan suara yang tenang namun tajam.
“Aku tidak peduli dengan alasannya. Intinya, aku tidak suka kau menciumku! Aku bukan milikmu! Aku adalah seorang wanita yang memiliki kekasih!” tegas Helena dengan suara yang penuh dengan keberanian.
“Kekasihmu sangat buruk, sebaiknya lupakan saja,” sahut sang pria di ujung telepon, membuat Helena semakin naik pitam mendengarnya.
“Kamu tidak memiliki hak untuk menilai baik buruknya kekasihku! Kamu tidak berhak menentukan itu! Kamu bukan siapa-siapa, Heros! Kamu hanyalah pria b******k! Kekasihku jauh lebih baik dari dirimu! Jauh!” tegaskan Helena dengan suara yang penuh kemarahan.
“Hm, kita lihat saja nanti,” ucap sang pria dengan nada yang penuh dengan teka-teki.
Hening sesaat. Helena justru mulai penasaran dengan respon pria itu. “Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya terdengar pelan namun penuh dengan ketertarikan.
“Suatu saat nanti, kau akan tahu apa maksudku. Dan jika waktu itu tiba, aku harap kau tidak melupakan bahwa sebelum itu, aku pernah mengingatkanmu,” ujar Heros dengan nada misterius yang membuat Helena merasa penasaran.
Helena mendengus sambil memutar malas kedua matanya. “Dasar tidak jelas!” ucapnya dengan nada kesal sebelum akhirnya menjauhkan ponsel dari telinganya dan memutuskan panggilan dengan tegas.
Helena dengan geram melemparkan ponselnya ke atas kasur, "Dasar b******k! Seolah-olah dia memiliki hak untuk menghakimi orang lain. Padahal, dia sendiri tidak lebih baik daripada pria-pria b******n di luar sana," gerutu Helena dengan napas tersengal.
Karena rasa kantuk yang tiba-tiba lenyap dari dirinya berkat Heros, Helena turun dari ranjang dan berjalan menuju lemari pendingin khusus di pojok kamar. Ia membuka pintu lemari pendingin dan mengambil sebuah botol anggur yang elegan. Di sebelahnya terdapat meja kecil dengan beberapa gelas. Helena mengambil salah satunya dan melangkah ke arah ranjang.
Ia membuka laci meja di samping ranjang, mengeluarkan sebungkus rokok dan pemantiknya dari dalamnya, serta mengambil ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Setelah itu, Helena melangkah menuju balkon.
Sesampainya di sana, Helena duduk di salah satu sofa tunggal, menuangkan anggur ke dalam gelas kecil dengan santai. Sebelum meneguk anggur tersebut, Helena mengambil sebatang rokok dari bungkusnya dan membakar ujungnya dengan pemantik.
Dengan perasaan campur aduk, Helena menghisap rokoknya dengan dalam, menciptakan asap yang mengepul di udara. Kemudian, dengan perasaan yang penuh kelegaan, Helena memegang gelasnya dan menyesap anggur tersebut dengan kenikmatan yang mendalam.
“Hey!” Panggil seseorang tiba-tiba.
Helena memekik kaget, gelas di tangannya hampir terjatuh karenanya. Ia mengumpat sambil menoleh ke samping, melihat kakaknya, Willem, berdiri di balkon kamar pria itu.
“Belum tidur?” tanya Willem sambil mendekat. Dengan gesit, ia melompat menuju balkon kamar Helena.
“Kamu mengagetkan orang saja, Will!” sembur Helena dengan nada kesal.
Willem terkekeh ringan sebelum ia dudukkan tubuhnya di sofa yang ada di balkon. Ia menuangkan anggur ke dalam gelas bekas sang adik lalu membawanya ke bibir dan meneguknya dengan kenikmatan yang terlihat jelas.
“Bukankah masih sakit? Kenapa malah di sini?” tanya Willem setelah menyimpan gelas di atas meja dan mengambil bungkus rokok, menyalakan satu rokok yang terselip di bibirnya dengan pemantik sebelum kemudian fokus pada adiknya.
Helena menggelengkan kepala. “Aku merasa tubuhku sudah lebih baik,” jawabnya dengan mantap.
Willem sejenak memperhatikan wajah sang adik sebelum bertanya, “Ada masalah? Atau ... kau bertengkar dengan Fernan?”
Helena mendesah pelan sebelum akhirnya menjawab, “Tidak. Kami baik-baik saja. Aku ... aku kesal dengan seseorang.”
“Siapa?” tanya Willem, mencoba memahami situasi yang sedang dialami oleh adiknya.
Helena menatap serius pada sang kakak sebelum akhirnya menjawab, "Heros."
Willem mengernyitkan keningnya, "Heros?" Helena mengangguk, membenarkan kecurigaan sang kakak.
“Ada urusan apa kau dengannya?” tanya Willem sambil menatap sang adik dengan tatapan penuh selidik, mencoba mencari tahu lebih lanjut.
Kemudian Helena menceritakan kepada Willem tentang kejadian di cafe dan di apartemen tadi. Dengan jujur dan tanpa menyembunyikan apapun, ia membagikan semua detail kepada kakaknya.
“Sungguh, aku benar-benar kesal padanya!” gerutu Helena sebelum menatap fokus pada Willem. “Kamu tahu, tadi dia menghubungiku. Aku bahkan tidak tahu dari mana dia mendapatkan nomor ponselku. Dan dengan kurang ajarnya, dia malah meminta agar aku berhati-hati terhadap Fernan. Apa urusannya dengan Fernan dan hubungan kami? Seperti dia memiliki hak saja untuk menilai semuanya! Sungguh, dia seakan-akan menjadi pria sempurna, padahal b******n!” Napas Helena naik turun dengan cepat, menunjukkan rasa geram yang dalam.
Sementara itu, Willem mendesah pelan sambil menarik pandangannya dari Helena, memandang ke sekeliling sebentar sebelum kembali fokus pada gadis itu.
“Mengenai Fernan, aku setuju dengan Heros. Dan ... aku ingatkan kamu untuk tidak terlibat dalam skandal apapun dengan Heros,” ucap Willem dengan serius.
Helena kini menatap Willem dengan kedua mata memicing. “Kamu setuju dengan Heros? Jadi, kamu juga menganggap Fernan seperti yang dipikirkan Heros? Benarkah?” Helena menatap dengan penuh kejengahan.
“Helen, kehati-hatian itu penting. Bukankah lebih baik jika seseorang mengingatkanmu sebelum kau dan dia terjerumus ke dalam hubungan yang lebih serius?”
“Tapi mengapa kamu berbicara seperti itu? Apa alasannya, Will?” tanya Helena dengan rasa penasaran.
“Tempo lalu, aku tak sengaja melihat Fernan bersama seorang wanita,” ujar Willem sambil memberi jeda sebelum melanjutkan, “Entahlah, aku rasa mereka memiliki kedekatan yang tidak biasa karena Fernan begitu posesif padanya”
Helena terpaku menatap Willem dengan serius, dadanya terlihat bergemuruh akibat nafas yang memburu. "Maksudmu... Fernan berselingkuh?"
“Aku tidak bisa menyimpulkan hal tersebut karena aku tidak yakin. Itulah sebabnya aku bicara seperti tadi padamu, supaya kau yang harus lebih waspada terhadapnya,” jawab Willem dengan tegas.
Helena menarik pandangan dari Willem dan menatap lurus ke arah depan. Dalam keheningan, ia mulai memikirkan ucapan Heros tadi. 'Mungkinkah Fernan melakukan hal yang memalukan itu di belakangku?' batin Helena dengan kegelisahan yang mendalam.
***