Saat Fernan melangkah menuju lift, dia merogoh ponsel dari saku celananya dan membawa benda pipih tersebut ke depan wajahnya. Dengan langkah terhenti sejenak, Fernan menatap layar yang bersinar terang dengan fokus yang mendalam.
Fernan mencari kontak seseorang di ponselnya dan begitu menemukannya, dengan cepat ia menghubungi. Sambil menempelkan ponsel di telinga kanannya, ia melanjutkan langkahnya menuju lift. Dengan langkah mantap, Fernan hampir sampai di tujuannya.
Suara seorang wanita di ujung telepon bergema di telinga Fernan saat ia menjawab, "Halo sayang."
Sebelum memberikan balasan, Fernan berhenti di depan pintu lift. Dengan perlahan, ia menekan tombol yang tersedia sambil sejenak menatap ke arah pintu ruang kerja Helena yang tertutup rapat di ujung lorong.
"Kamu sedang dimana?" tanya Fernan pada wanita di ujung telepon sambil memasuki lift. Dengan gerakan ringan, ia menekan tombol di dalam lift, dan perlahan lift mulai bergerak turun menuju lantai dasar.
"Di apartemen sayang. Ada apa?" tanya sang wanita sebelum sempat menjawab pertanyaan Fernan.
“Tunggu aku di sana dan persiapkan dirimu,” jawab Fernan cepat.
“Baiklah, aku akan menunggumu, sayang,” ujar sang wanita dengan suara riang, sepertinya paham betul maksud kedatangan Fernan. Apalagi jika bukan urusan s**********n yang membuat pria itu datang menemuinya.
Fernan menjauhkan ponsel dari telinganya dan mengakhiri panggilan yang masih terhubung. Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka lebar, dan dengan langkah mantap, ia melangkah keluar dari lift menuju mobilnya di tempat parkir.
Fernan merasa muak dengan hubungannya bersama Helena. Mereka kembali terlibat dalam pertengkaran yang tak kunjung usai karena permasalahan yang sama. Helena selalu menolak Fernan, dan akhirnya keduanya terjebak dalam pertengkaran yang melelahkan.
Fernan benar-benar merasa bingung dengan sikap Helena. Apakah memang Helena tidak memiliki ketertarikan seksual ketika bersamanya?
Pertanyaan itu terus bergema dalam pikiran Fernan. Dengan geraman halus, batin Fernan menyuarakan, ‘Munafik!’
Dengan gerakan kasar, Fernan memasuki mobil dan menutup pintu dengan kuat. Ia mengikat seatbelt dengan cepat dan segera menyalakan mesin mobil. Tak berapa lama, kendaraan itu mulai melaju meninggalkan area cafe.
Di dalam sebuah mobil lain yang terparkir di sana, sepasang mata pria dan wanita bertemu dalam keheningan yang sarat dengan makna.
Mereka adalah Lucas dan Brianna, pasangan suami istri. Lucas Spencer Blaxton, sepupu dari Helena, dan juga seorang pemimpin di sebuah organisasi tempat Heros bertugas sebagai seorang Detective yang ulung.
"Bukan kah tadi itu mobil kekasihnya Helena, sayang?" tanya Brianna pada Lucas, suaminya.
Lucas mengangguk seraya menjawab, "Ya, kamu tidak salah lihat. Itu memang dia."
"Perasaan tadi saat aku menghubungi Helen, dia bilang tidak ada janji dengan siapapun," gumam Brianna sambil mendesah pelan. "Ya sudah, kalau begitu, kami turun dulu. Kamu hati-hati di jalan," ucapnya pada suaminya, sambil melirik putrinya, Sexyana, yang duduk di kursi belakang.
"Kabari aku kalau kamu sudah selesai," ujar Lucas.
"Aku pulang bersama Caroline saja, nanti kamu tidak usah menjemputku," kata Brianna menolak, tahu bahwa suaminya pasti akan sibuk bekerja.
"Baiklah," gumam Lucas.
Brianna hendak memberikan ciuman perpisahan pada suaminya, tapi tiba-tiba... "Mommy, jangan cium Daddy!" pekik Sexyana sambil menjauhkan Ibunya dari Ayahnya.
Brianna meringis, sementara Lucas tertawa pelan. "Ya Tuhan, sayang, mengapa kamu posesif sekali? Daddy suaminya Mommy, masa tidak boleh cium?" protes Brianna.
Saat ini, Sexyana bergelayut di leher kekar sang Ayah. Sang gadis kecil nan mungil itu menggeleng cepat. "Tidak boleh! Mommy tidak boleh cium Daddynya Sexy!" tegasnya. Kemudian ia menempelkan jari-jarinya mungil di permukaan bibir sang Ayah, lalu diarahkan ke bibir sang Ibu dan menempelkannya di sana. "Sudah. Daddy L sudah cium Mommy, jangan minta-minta lagi ya, Mommy!"
Kali ini, Lucas melepas gelak tawa sementara Brianna mendengus sambil membuka seatbeltnya. "Ayo kita turun. Kita temui Aunty Helen dan biarkan Daddy langsung berangkat," ujar Brianna kepada sang putri.
"Daddy, nanti pulangnya jangan lama-lama ya? Sexy tunggu di Mansion!" pesan Sexyana pada sang Ayah.
Lucas tersenyum lebar, lalu ia mengecup gemas pipi gembul sang putri sebelum menjawab, "Oke, princess. Daddy tidak akan pulang terlambat. Doakan Daddy supaya pekerjaan Daddy cepat selesai, oke?"
Dengan antusias, Sexyana mengangguk, "Oke, Daddy!"
Lucas turun dari mobil dan dengan lembut menuntun sang putri keluar. Ia mengantarkan istri dan anaknya hingga ke pintu depan cafe. Setelah Brianna dan Sexyana memasuki kafe, Lucas bergegas menuju mobilnya dan meninggalkan area cafe.
•
Di ruang kerja, Helena duduk di kursi kerjanya. Meskipun layar laptop masih terang di depannya, Helena tidak lagi fokus pada pekerjaannya.
Dengan wajah tertunduk, Helena menekan sisi pelipisnya dengan tangannya. Dalam hatinya, Helena bertanya-tanya, "Apakah mungkin dia berselingkuh karena selama ini aku menolak sentuhannya?" — merujuk pada Fernan, kekasihnya.
Helena mendesah kasar dan mengangkat wajahnya yang tertunduk. Dengan frustrasi yang membuncah, ia menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.
‘Demi apapun, aku harus mendapatkan bukti jika dia benar-benar berselingkuh. Aku harus mendapatkannya sebelum aku menikahinya,’ Helena bermonolog dalam hatinya dengan tekad yang bulat.
Di tengah kegelisahan, tiba-tiba pintu ruang kerjanya diketuk oleh seseorang.
Tok! Tok! Tok!
Helena menatap pintu dengan tajam sejenak sebelum akhirnya memberikan izin, "Masuk!" dengan suara tegas pada orang di luar sana.
Tak berapa lama kemudian, pintu terbuka lebar. Helena segera tersenyum lebar begitu melihat seorang gadis kecil berdiri di ambang pintu dengan wajah ceria.
"Onty Helen!" pekik sang gadis kecil sambil berlari menuju meja kerja Helena.
Helena memutar kursinya, merendahkan punggungnya, dan mengulurkan kedua tangan untuk menyambut sang gadis kecil ke dalam pelukannya. Dengan lembut, Helena mengangkat tubuh mungil gadis kecil tersebut ke dalam gendongannya.
"Katanya tadi Sexy tidak mau datang, bohong ya sama onty?" tanya Helena dengan nada menantang.
Sexyana tertawa sambil memeluk leher Helena dengan posesif. "Tadi Sexy bertengkar sama Oscar, lalu Grandma Cell minta Sexy ikut dengan Mommy supaya tidak bertengkar lagi dengan Oscar," jelas Sexyana panjang lebar.
Helena tertawa pelan sambil melangkah menuju sofa. Ia menyapa sang kakak ipar Brianna sebelum keduanya duduk bersama di sana. Sementara itu, Sexyana tetap bergelayut manja dalam gendongannya.
"Caroline belum datang?" tanya Brianna kepada Helena.
Helena menarik pandangannya dari Sexyana, beralih ke arah Brianna, dan menggelengkan kepala sambil menjawab pertanyaan wanita itu, "Aku rasa belum. Kalau dia sudah sampai, pasti sudah ramai di sini."
Brianna tertawa. Caroline adalah adik ipar Brianna dan sepupu Helena. Wanita beranak dua ini memang agak berbeda dari Helena dan Brianna. Caroline cenderung ceria seperti kakak iparnya, Maureen.
"Mungkin dia bersama kak Maureen," tambah Helena sambil menatap Brianna. "Kak Maureen tidak menghubungimu?" tanyanya pada sang kakak ipar.
Brianna menggeleng pelan dan menjawab, "Tidak. Mungkin kamu benar, mereka datang bersama."
"Mommy, bolehkah Sexy bermain?" tanya Sexyana tiba-tiba.
Sejenak, Brianna beralih menatap sang putri. Ia tersenyum dan kemudian mengangguk pelan, “Boleh, sayang,” jawab Brianna. Sementara itu, Helena dengan cepat memanggil salah satu pegawainya yang ia kenal dengan baik, meminta wanita tersebut untuk datang ke ruang kerjanya.
Tak berselang lama, sang pegawai tiba di ruang kerja Helena. Helena meminta bantuan agar pegawai tersebut menemani Sexyana dan menjaga gadis kecil itu selama bermain di lantai dasar. Kebetulan, cafe milik Helena dilengkapi dengan playground tempat anak-anak bermain.
Setelah itu, Sexyana pergi bersama pegawai tersebut meninggalkan sang Ibu dan Auntynya di ruangan tersebut.
"Oh iya, Helen, tadi saat di depan, aku dan Lucas tidak sengaja melihat mobil Fernan. Dia habis bertemu denganmu ya?" tanya Brianna akhirnya, menuntaskan rasa penasarannya.
Sejenak Helena menatap Brianna sebelum akhirnya mengangguk dan menjawab, "Iya, dia baru saja dari sini." Ekspresi wajahnya berubah tiba-tiba, membuat Brianna langsung menyadari adanya kejanggalan yang terjadi.
"Kalian bertengkar?" tanya Brianna.
Helena mendesah kasar sebelum menarik pandangan dari Brianna. Ia menatap lurus ke depan, sambil melipat kedua tangan di depan d**a. "Hem," jawabnya singkat.
Brianna menatap tajam dari samping. Sementara itu, Helena melanjutkan, "Dia tidak pernah berubah," gumamnya.
"Artinya masih permasalahan yang sama?" tanya Brianna.
Sebelum menjawab, Helena memalingkan wajahnya pada Brianna, lalu menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Ya. Dan aku benar-benar muak," ucapnya dengan tegas.
“Tapi bagaimana kalian akan menikah sebentar lagi. Apakah kamu yakin?” tanya Brianna.
Helena mengedikkan bahu. "Entahlah, aku semakin bingung," ucapnya.
“Itu artinya kamu meragukannya,” tangkas Brianna.
Helena mengangguk pelan. “Aku meragukannya semenjak Willem mengatakan sesuatu padaku tentang Fernan,” Helena menjeda sebentar sebelum akhirnya melanjutkan, karena melihat Brianna diam dan terus menatap serius padanya. “Willem pernah melihat Fernan bersama seorang wanita asing. Katanya, mereka tampak mesra.”
Brianna tetap diam. Wanita itu bingung mau berkata apa lagi. Sejak awal, ia memang kurang suka dengan Fernan. Entahlah, Brianna sulit menjelaskan mengapa ia bisa memiliki perasaan seperti itu terhadap pria itu.
“Tapi … aku akan cari tahu sendiri kebenarannya sebelum kami menikah,” tambah Helena.
Brianna mendesah gusar, kemudian mengangguk pelan. "Ya, sebaiknya memang begitu. Kamu harus tahu kebenarannya sebelum kalian melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Lebih baik kamu sakit dan kecewa sekarang daripada nanti ketika kamu sudah terikat dengannya," ujar Brianna, sambil diangguk pelan oleh Helena sebagai tanda setuju.
Kemudian, Helena menarik pandangan dari Brianna dan bergumam dalam hati sambil menatap jauh, ‘Pasti tidak mudah untuk menyelidikinya. Aku membutuhkan bantuan, tapi siapa yang cocok untuk membantuku?’ Suaranya penuh dengan kekhawatiran yang dalam, mencerminkan keraguan yang memperumit situasi yang sedang dihadapinya. Dalam kebimbangan, Helena pun mulai merenung siapa yang paling tepat untuk membantunya dalam menghadapi permasalahan ini.
***