“Mah ...!” Sasmita masih mengamuk, tetap dengan keputusannya; balas dendam. Bahkan jika bisa, nyawa dibayar nyawa. Tak peduli siapa pelaku perenggut janinnya, bahkan meski itu Sarnia. Sementara itu, Suci menyerah, pasrah. Ia melangkah hati-hati mengingat lantai di sana tak hanya dihiasi serakan properti, sebab pecahan kaca baik dari bingkai foto maupun vas yang awalnya turut menghiasi ruang keluarga, juga berbahaya jika sampai mengenai tubuh bahkan sekadar telapak kaki. Akan tetapi, apa yang Suci takutkan kiranya tidak berlaku untuk Sasmita. Karena sepertinya, amarah yang menguasai Sasmita telah membuat wanita muda itu mati rasa. Suci beranggapan begitu dikarenakan kedua tangan apalagi kedua kaki Sasmita, sudah dihiasi darah segar. “Ta ... kamu enggak boleh gini. Kalau pun pada kenyat