Sangat Mengejutkan

1559 Words
Malam ini aku menyantap makan malamku seorang diri. Aku suka memasak, hanya saja aku kurang rapi dalam beberes. Namun, semenjak tinggal bersama Ardika, mau tidak mau aku harus beberes sendiri. Selalunya di apartemenku aku diurus oleh … sudahlah lupakan. Saat menyendiri aku selalu mengingatnya. Aku benar-benar kesepian, apa sebaiknya aku tinggal di paviliun rumah sakit saja? Toh di sini juga aku ada, tapi seperti tidak ada. Aku tidak masalah jika harus bekerja dua puluh empat jam penuh. Secinta itu aku pada pekerjaanku. Mama yang memilih profesi ini untukku. Tiba-tiba saja air mataku jatuh. Mama, sudah lama aku tidak mendengar suara beliau. Aku sering mengirim pesan dan menghubunginya, tapi beliau selalu sibuk. Aku memahami itu, Mama adalah wakil direktur di perusahaan Kakek yang bergerak dibidang alat kesehatan. “Mau makan atau mau menangis?” Aku mengangkat pandanganku mendapati Ardika yang duduk di kursi dekat kitchen island menegak habis minumannya. Cepat aku mengusap wajahku dan menghabiskan makan malamku lalu mencuci piring bekas makan. “Mana makan malam untukku?” Aku menerjap saat Ardika meraih lenganku guna menahan langkahku. “Bukannya kamu selalu tidak mau menyentuh makanan yang aku masak?” Aku selalu menyiapkan makanan untuk dua porsi, tapi Ardika tak pernah menyentuhnya. Ini pertama kalinya aku tidak menyiapkan makan untuknya karena percuma, selalu mubazir. “Dasar tidak becus!” kesalnya, melepas genggamannya dengan mengempasku. “Kalau kamu mau, aku bisa buatkan—” “Sudah, tidak perlu. Masakanmu juga belum tentu bisa aku telan. Bukankah kamu hanya anak manja yang apa-apa diatur dan fasilitasi oleh orang tuamu? Atau haruskah aku juga menyiapkan koki khusus—” “Sebenarnya kamu ini kenapa sih? Salah aku itu apa? Sudah baik aku mau menerima permintaanmu untuk menggantikan Kak Feeya,” kesalku. “Oh, merasa paling berjasa? Menyelamatkan kedua keluarga dari sikap kekanak-kanakan kakakmu itu?” balasnya tak mau kalah. Aku mengembuskan panas panjang dan berakhir meninggalkannya. Kalau dilanjutkan pun rasanya percuma saja, buang-buang energi. “Saya belum selesai bicara, Asya!” Aku terus berlalu masuk ke dalam kamar, naik ke atas kasur dan menutupi seluruh tubuhku dengan selimut mengabaikan omelannya yang seperti ibu-ibu komplek. *** “Sya, bangun. Asya!” Perlahan aku membuka mataku dan mendapati Ardika dengan wajah khawatirnya. “Sya, buka matamu,” pintanya menarik paksaku untuk duduk. “Ada apa?” Aku mengerutkan keningku saat Ardika menarik selimut dan membungkus tubuhku seperti kepompong. “Ardika!” protesku. “Jangan bergerak. Dengar, cepat bangun, cuci mukamu, kita ke rumah Papa. Beliau kumat, Sya,” jelas Ardika memintaku untuk segera bersiap. Ardika menahanku saat aku akan melepas selimut. “Sepuluh menit, waktu untuk kamu bersiap hanya sepuluh menit.” Ardika mendorong tubuhku hingga kembali terbaring ke kasur lalu dia segera keluar kamar. “Mas …!” Apa-apaan sih? Kesalku. Aku segera keluar dari selimut untuk bersiap, saat aku melewati cermin rias mataku bulat sempurna saat menyadari aku mengenakan piama tidur bertali spaghetti dan satu talinya jatuh kelenganku membuat sebelah dadaku menyembul. “Mama …,” rengekku malu. *** Saat ini pukul sebelas malam, begitu kami tiba Papa sudah lebih tenang meski sebelah tubuhnya kaku. Ini kali pertama aku melihat secara langsung wanita yang selalu melarikan diri ke dalam kamar tiap aku dan Ardika datang. “Maaf mengganggu waktu kamu, Ar,” ujarnya tapi Ardika hanya diam saja. Aku meminta semuanya keluar termasuk Ardika, sebelumnya dia menolak. Namun pada akhirnya menurut. Papa sudah lebih baik dari sebelumnya. Begitu aku keluar kamar Ardika langsung mendatangiku. “Bagaimana?” tanyanya tampak khawatir. “Sudah lebih baik, sekarang Papa sedang tidur.” Ardika mengangguk paham. “Ar, Mommy sudah siapkan kamar kamu. Menginaplah di sini—” Ardika acuh, cepat menarik tanganku dan menuntunku ke sebuah kamar di lantai dua. Sebelumnya aku sempat mengangguk hormat pada wanita itu, kulihat dia masuk ke dalam kamar Papa. “Mas—” “Sudah aku bilang kamu jangan banyak bertanya ‘kan!” ujarnya penuh penekanan kemudian memintaku masuk ke dalam kamar. Aku menelisik seisi kamar tidak ada sofa hanya meja kerja di sudut kamar dan bean bag di lantai. “Kasurnya besar, harusnya muat. Kecuali kamu mau tidur di lantai, silahkan,” ujarnya menatapku, dan aku memicingkan mataku padanya. Aku merebahkan tubuhku perlahan sementara Ardika sudah terlelap. Aku terpaksa mengenakan kaos Ardika yang kebesaran di tubuhku. Ini kali pertamanya aku tidur satu ranjang dengan Ardika dan jantungku berdetak kencang. Aku sampai tidak bisa tidur saking takutnya. “Saya tidak akan menerkam kamu.” Aku menerjap mendengar suaranya menyapa. Aku miringkan kepalaku menolehnya dan dia masih dalam posisinya—memejamkan matanya. Setelahnya aku ikut terlelap. *** Suara gemericik air menyadarkanku, aku baru ingat kalau semalam berbagi kasur dengan Ardika, tapi syukurnya pagi ini aku masih berpakaian lengkap. Baru saja duduk, aku kembali berbaring dan menutup seluruh tubuhku dengan selimut karena Ardika keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk yang melingkar di pinggangnya. Perutnya rata, tidak, perutnya kotak-kotak dan dadanya…. Aku memukul kepalaku yang isinya langsung terkontaminasi oleh sempurna tubuh Ardika. “Saya tahu kamu sudah bangun,” ujarnya dan aku meringis menurunkan selimut hingga dibawah mataku. “Pagi, Mas.” Aku merutuki diriku yang malah menyapanya dan dia acuh. “Hari ini dan selama seminggu ke depan, saya akan melakukan perjalanan bisnis ke Jepang. Kamu ambil pakaian dan keperluan kamu di apartemen dan bawa ke sini. Selama saya di Jepang, tolong lihatkan Papa saat kamu pulang dari rumah sakit,” pintanya. Tidak ada nada ketus tapi tidak juga lembut. Ardika juga mengatakan akan ada supir yang dia tugaskan mengantar jemputku bekerja. “Mas, kalau aku mengemudi sendiri boleh? Mobilku ada di rumah Mama,” lirihku. Ardika yang sedang mengikat dasinya berhenti dan menatapku sinis. Aku pun menunduk dan mengatakan tidak masalah jika dia tidak mengizinkan. Aku tetap akan mengikuti perintahnya, ucapku dengan nada sendu. “Tidak perlu ambil mobil di rumah Mama, jauh. Aku akan menyediakan mobil di sini untukmu.” Mataku melebar dan senyumku merekah mendengar kalimatnya, tapi dia tetap saja menatapku sinis. “Benar?” tanyaku tidak percaya. “Tidak jadi kalau begitu—” “Mas! Please! Iya, iya, aku paham. Terima kasih Mas Ar,” ucapku sumringah. Aku lupa satu hal, Ardika tidak suka mengulang kalimatnya jadi aku harus mendengarkan apa yang dia ucapkan dengan seksama dan menurutinya. Pagi ini setelah mengecek keadaan Papa, aku meninggalkan beliau. Ardika setuju aku menyewa satu perawat khusus seharian mengawasi Papa. “Ingat, di rumah Papa tidak boleh— ” “Banyak bertanya …,” sambungku dan dia menangguk setuju. Saat ini kami sudah berada di depan rumah sakit. “Setelah pekerjaanku selesai, kita kembali ke apartemen,” ujarnya dan kini giliranku menangguk paham. *** Aku pulang lebih cepat karena jam dinasku sudah berakhir. Aku melihat supir di parkiran rumah sakit mengangguk hormat padaku. Ardika bilang pagi tadi, aku akan dijemput supir dan mulai besok berkendara sendiri. Begitu masuk ke dalam rumah hal pertama yang aku lakukan adalah membersihkan diri dan memeriksa kondisi Papa Prastyo. “Gimana Sus?” tanyaku pada perawat yang aku percayai untuk menjaga Papa mulai hari ini, seorang perawat juga terapis. “Semakin membaik, Dok.” Aku mengangguk paham, kulihat dari cela pintu Papa sedang tidur. Aku pun turun ke lantai satu untuk mengecek mobil Ardika di garasi. Dia memintaku memilih koleksi mobilnya yang aku minati. Saat turun, aku melihat wanita yang semalam menyebut dirinya Mommy menghindariku, tapi dengan cepat aku menahannya. Di rumah ini tidak ada satu pun foto dirinya, sebenarnya aku penasaran tapi aku memilih diam saja. “Ada apa, Asya?” tanyanya terdengar hati-hati. “Maaf kalau lancang, tapi aku merasa Tante menghindariku,” ujarnya to the point. Dia terlihat gugup dan bingung. “Apa Ardika yang melarang—” “Tidak! Ardika tidak melarang. Mommy, eh, Tante yang takut Ardika tidak senang atau kalian merasa terganggu.” Aku menangkup tangan wanita dihadapanku. “It’s ok, Tante, saya tidak merasa terganggu.” “Benarkah?” tanyanya antusias dan aku mengangguk membenarkan. Tante Yura tampak senang, dengan semangat dia mengenalkan dirinya. Tante Yura adalah istri kedua Papa Prastyo. Aku baru mengetahui fakta ini dan Mama Ajeng, beliau tidak tinggal di sini, tapi tinggal di rumahnya sendiri yang tidak jauh dari sini. *** Dua hari tinggal di sini, aku merasa nyaman. Baik Mommy Yura dan Papa Prastyo sama ramahnya menyambutku. Aku terbangun setelah ketiduran di ruang tengah dan televisi masih dalam keadaan menyala. Aku merutuki diriku yang semena-mena di sini. Sekalipun mereka baik padaku, tapi aku tidak boleh berkepala besar. Aku singgah ke dapur untuk mengambil minum sebelum naik ke kamar. Jantungku berdegup kencang saat mendengar suara pintu dibuka paksa, tapi seolah suaranya diredam agar tidak menimbulkan kebisingan ditengah malam begini. “Tidak mungkin maling, keamanan perumahan saja terjaga, lantas itu suara apa?” tanyaku seorang diri. Aku menggelengkan kepalaku dan berjalan cepat naik ke lantai dua menuju kamar, jantungku rasanya akan melompat saat melihat bayangan seseorang masuk ke rumah dalam kegelapan hingga kakiku seolah terpaku sulit untuk melangkah. Aku berjongkok di sudut tangga menutup mulutku agar tidak mengeluarkan suara. Kini tubuhku bergetar saat tahu seseorang itu mengendap naik ke lantai atas, aku tak tahan lagi dan berdiri lalu berteriak dan si maling tampak terkejut. “Malinngghmpp—” Aku memberontak saat maling menutup mulutku. “Diam,” bisiknya tidak begitu jelas karena dia mengenakan masker belum lagi tidak ada cahaya lampu—sengaja dipadamkan di malam hari. Aku berteriak meski mulutku dibekap dan tanganku meraih maskernya hingga terlepas. “F—farhan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD