“Shafeeya itu sedang mengejar cita-citanya, Mas. Kamu tega merenggut sesuatu yang sudah lama diimpikan anak kita?”
“Asya juga anak kita, Anisa!”
“Iya, aku tahu. Aku juga tidak mungkin menjerumuskan anak-anakku. Harusnya kamu mikir, aku udah sebaik ini loh—”
“Sebaiknya kita tolak saja permintaan ayahmu—”
Lamunanku tentang percakapan kemarin antara Mama dan Papa buyar saat dering ponselku menyapa pendengaranku. Aku segera mengangkatnya setelah melihat siapa yang menghubungiku.
“Pagi, Sayang,” sapa Mama dari seberang sana. Suaranya sumringah. Aku ikut menyapa Mama. Boleh aku tebak beliau pasti ingin menyampaikan sesuatu tentang Kak Feeya.
“Sayang, mulai hari ini pulang ke rumah, ya. Besok kakakmu pulang. Ada acara di rumah beberapa hari ke depan jadi kamu tidur di sini. Nanti berangkat dan pulang rumah sakit pakai supir Mama saja biar kamu tidak kelelahan,” saran Mama.
Tuh ‘kan benar, Mama hanya bisa sumringah begini jika sedang membicarakan Kak Feeya. Aku tidak pernah tidak menuruti permintaan Mama, selagi tidak menganggu jadwal dinasku. Mama juga pengertian, beliau paham sepak terjang pekerjaanku dan tidak pernah mengusik jam kerjaku.
Kalau akhir pekan, aku selalu menginap di rumah keluargaku. Saat weekday, aku kembali ke apartemen karena lebih dekat dengan rumah sakit. Kapan saja dibutuhkan, aku bisa segera tiba di rumah sakit.
Aku menawarkan diri untuk menjemput Kak Feeya di Bandara, tapi Mama menolak. Katanya Kak Feeya akan dijemput oleh Papa. Aku mengangguk paham sekalipun Mama tidak melihatku.
Panggilan pun berakhir setelah Mama mengucapkan salam perpisahan dan mengecupku dari kejauhan.
“Mama, ya?” tanya Farhan seraya menyuapiku nasi goreng dari piringnya. Aku melahapnya seraya mengangguk, membenarkan pertanyaannya.
“Beberapa hari ke depan aku akan menginap di rumah, ada acara keluarga kata Mama,” jelasku pada Farhan.
“Ya … kalau aku rindu bagaimana, Sayang?” rajuknya membuat aku menjelingkan mataku jengah.
Namaku Asya Tunggasabda, dokter spesialis bedah saraf di salah satu rumah sakit terkemuka di Bandung. Farhan Rafqi Al Farraz, lelaki yang memanggilku tadi, adalah sahabatku sejak kami menempuh PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis). Jujur saja, aku sudah lama menaruh hati padanya, tetapi dia hanya menganggapku sebagai sahabat. Friendzone, itulah gambaran yang tepat untuk hubungan kami.
Aku baru saja kembali setelah ditugaskan dari wilayah timur Indonesia. Sejak aku kembali, Farhan mulai menunjukkan sikap seolah dia mencintaiku, tapi aku tidak percaya. Semudah itu dia mengatakan cinta? Padahal aku tahu bagaimana perasaannya dulu pada sang mantan kesayangannya itu. Aku selalu menjadi tempat curhatnya saat dia putus bahkan saat mereka kembali bersama.
***
“Pa, Asya mau lanjut kuliah di Yogyakarta. Asya mau ambil ilmu pendidikan, boleh, ya?” pintaku penuh semangat pada Papa.
“Mau jadi guru?” tanya Mama, terkejut.
“Pengennya jadi dosen, tapi—”
Aku tidak melanjutkan kalimatku karena Mama tiba-tiba duduk di sampingku, mengusap lembut punggungku. Mama menjelaskan bahwa Kakek menginginkan salah satu cucunya menjadi dokter. Kakek, Ayah Mama, memiliki bisnis di bidang alat kesehatan.
“Bukannya Kak Feeya yang—”
Mama mengatakan bahwa Kak Feeya akan mengejar cita-citanya sebagai dosen dan sudah diterima di universitas ternama di Amerika Serikat, fakultas pendidikan. Aku menatap Papa sendu dan beliau hanya diam. Mama mengungkapkan bahwa dengan kepintaranku, dunia kedokteran adalah pilihan yang cocok.
“Asya pikir dulu, ya, Ma,” jawabku lesu.
Lagi-lagi aku harus mengalah demi Kak Feeya. Aku tersenyum kecut mengingat semua yang sudah aku korbankan untuk Kak Feeya sejak kecil. Aku anak bungsu, tapi berbeda dari stereotip manja dan selalu dituruti. Aku harus menuruti semua keinginan Kak Feeya, atau lebih tepatnya, dipaksa menggantikan semua yang Kak Feeya tidak suka.
“Aku tidak mau tahu, Asya tidak boleh mengambil bidang yang sama dengan Feeya. Bagaimana aku harus menjelaskan pada ayahku, Mas? Feeya tidak mau cita-citanya diusik, sedangkan Asya ‘kan masih ada waktu setahun lagi sampai lulus sekolah. Aku tidak sembarangan memilih untuk masa depan anak-anakku, Mas. Jadi dokter itu juga sama mulia dan menjanjikan loh!”
Aku terdiam di balik dinding. Aku selalu mendengar perdebatan Mama dan Papa tentang aku dan Kak Feeya. Bahkan saat marah, Mama selalu meminta Papa menceraikan beliau.
“Ceraikan saja aku, Mas!”
Aku tersentak—terengah-engah kesulitan mengatur napas. Ketika merasa bersalah, aku selalu memimpikan hal itu. Aku takut jika tidak menuruti Mama dan Papa akan berpisah.
“Syukurlah hanya mimpi,” ujarku, mengelus d**a bernapas lega menyadari aku tertidur di ruangan dokter.
Memang benar, jadi dokter tidak seburuk itu. Aku bahagia dengan profesiku saat ini.
“Mama benar, beliau tidak akan sembarangan memilih yang terbaik untuk masa depanku,” lirihku. “Mama pasti menyayangiku sama seperti beliau menyayangi Kak Feeya ‘kan?” tanyaku seorang diri.
***
Sejak kepulangannya, Kak Feeya selalu mengurung diri di kamar. Biasanya, dia paling bising meminta ini dan itu, ingin pergi ke sana dan ke sini. Setelah lulus sekolah, Kak Feeya melanjutkan kuliah S1 di luar negeri, kemudian menyelesaikan pascasarjana di negara yang sama. Dia menetap di sana saat dipercaya menjadi asisten dosen.
“Feeya, ayo makan dulu, Nak,” panggil Mama sambil mengetuk pintu kamar Kak Feeya. “Feeya, jangan begini, Nak.”
Aku mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Saat ini aku sedang duduk di ruang tengah bersama Papa, baru saja selesai makan malam bersama Mama dan Papa, tanpa kehadiran Kak Feeya. Aku mendengar suara tangisan Kak Feeya yang memohon kepada Mama untuk membatalkan perjodohannya.
Kak Feeya dijodohkan? pikirku.
Aku tidak jelas mendengar jawaban Mama, lalu terdengar suara pintu yang ditutup dengan keras. Mama turun dari lantai dua dan duduk di sampingku setelah berbicara di telepon.
“Kakek akan datang ke sini,” ujar Mama. Aku mengangguk paham dan kembali menatap layar televisi.
“Papa akan bicara dengan Kakek mengenai hal ini,” lanjut Papa.
Mama menolak, mengatakan tidak mungkin menolak titah Kakek. “Kamu tahu ini sudah direncanakan sejak lama, Mas,” tekan Mama.
Papa menolak membahasnya sekarang seolah mengkhawatirkan keberadaanku.
Mama bersikeras mengatakan ini urusan keluarga, jadi tidak masalah jika aku mengetahuinya. Sedikit banyak aku paham perbedaan pendapat Papa dan Mama. Papa tidak setuju Kak Feeya dijodohkan dengan cucu rekan bisnis Kakek, sedangkan Mama tidak ingin membantah titah Kakek, ayah kandungnya.
Benar saja, dalam sekejap Kakek tiba dan Papa memintaku untuk naik ke kamarku di lantai dua.
***
Sepertinya pendapat Papa semalam tidak diterima. Kak Feeya akan tetap dijodohkan dengan Ardika Jayendra, anak dan cucu dari pebisnis tersohor di Bandung yang bahkan merambah ke kancah internasional. Dan besok akan diadakan acara pertunangan mereka.
Kak Feeya sama sekali tidak keluar dari kamar seharian. Papa memanggil Kak Feeya keluar untuk makan karena sejak semalam tiba di rumah, dia sama sekali belum mengisi perutnya. Akhirnya Kak Feeya menurut. Kulihat wajah Kak Feeya sembab, matanya membengkak. Dia pasti menangis semalaman karena tidak setuju dengan perjodohan ini, tapi tidak bisa menolak.
Setelah makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah.
Kak Feeya mengaku sudah mendaftar S3 di universitas pilihannya membuat Mama dan Papa terkejut karena dia tidak berdiskusi dengan keduanya. Mataku membola saat Kak Feeya bersujud di kaki Mama. Dia memohon—mengatakan tidak ingin dinikahkan dengan lelaki yang tidak dia cintai.
Kak Feeya kembali duduk di samping Mama, memeluk beliau menangis tersedu-sedu setelah Mama menariknya. Kak Feeya menggeleng tidak setuju—kembali memohon saat Mama menjelaskan kalau beliau tidak mungkin asal menerima perjodohan ini tanpa mencari tahu seperti apa lelaki yang akan disandingkan dengan anaknya.
“Ardika itu lelaki berpendidikan dan bertanggung jawab—”
“Besok adalah hari pertunanganmu. Setelah hari itu, cobalah untuk mengenal Ardika,” ujar Papa. “Jika setelah mengenalnya kamu tetap tidak bisa menerimanya, Papa akan menuruti keinginanmu—”
“Mas!” protes Mama tidak setuju.
Terlihat secercah harapan bagi Kak Feeya, dia lebih tenang dan mendekat ke arah Papa, memeluk beliau seraya berterima kasih. Sedangkan Mama menggeleng tidak setuju dengan apa yang baru saja Papa ucapkan.
***
“Hari ini kamu masih menginap di rumah?” tanya Farhan sambil membuka onigiri dan memberikannya padaku. Aku mengangguk dan menerima pemberiannya lalu melahapnya. Aku sangat kelaparan setelah lima jam bergelut di ruang operasi. “Kapan pulang ke apartemen? Aku sudah rindu masakanmu,” rajuknya.
Aku mengedikkan bahu acuh dan mengatakan kalau acaranya panjang, tidak tahu kapan aku akan kembali ke apartemen. Farhan mengembuskan napas panjang dan terlihat murung.
Aku menyantap onigiri sambil merapikan barang bawaanku dan segera pulang karena aku sedikit terlambat pulang dari janjiku dengan Mama. Acara pertunangan ini terbilang dadakan hingga aku tidak mendapat izin cuti, tapi Mama tidak mempermasalahkannya.
Setiba di rumah sudah ramai, dekorasi memanjakan mata sedemikian rupa cantiknya.
Begitu melihatku, Mama langsung memberi isyarat untuk segera mengganti pakaian. Pandanganku tidak sengaja jatuh pada lelaki yang sedang menatapku sinis. Aku menerjap lalu mengangguk sopan ke arahnya, bagaimana pun juga jelas dia sedang menatapku. Bukannya menyapa atau membalasku, lelaki itu membuang pandangannya ke arah lain, mengacuhkanku.
Diakah Ardika Jayendra? batinku.
Aku mengedikkan bahu acuh lalu naik ke lantai dua untuk mengganti pakaianku. Karena ini bukan acaraku, aku tidak berias, tapi tetap berpenampilan pantas, Mama yang menyiapkannya.
Begitu aku keluar dari kamar menuju halaman samping rumah tempat pertemuan berlangsung, suasana mendadak ricuh juga tegang bersamaan. Mama terlihat panik, sibuk dengan ponsel di tangannya, begitu juga Papa. Kedatanganku menjadi pusat perhatian semua yang berada di taman, membuat aku membeku saat semua mata tertuju padaku.
“Siapa dia?” tanya lelaki yang aku kira dia adalah Ardika Jeyendra dengan tatapan sinis.
Mama menarikku mendekat ke arahnya dan merangkulku—memperkenalkanku kepada semua orang.
“Ini anak bungsu Tante, Ar. Asya, adik Shafeeya. Mbak Ajeng, Mas Prastyo mohon bersabar, ya. Kami masih mencoba menghubungi Feeya.” Suara Mama terdengar bergetar.
Ada apa ini? Aku juga bingung dengan keadaan ini.
“Kalau begitu, Asya saja yang menggantikan Feeya.” Aku mengerutkan kening mendengar lelaki berwajah sinis itu bicara. Apa maksudnya menggantikan? Lelaki itu bangkit dari duduknya dan mendekat ke arahku. “Apa kamu menjalin hubungan dengan seseorang?”
Aku sempat melihat ke arah kiri dan kanan memastikan kalau tidak ada orang lain yang dia ajak bicara lalu menggeleng.
Dia mengangguk lalu berkata, “Bagus. Gantikan Feeya dan menikahlah dengan saya.”
Heh, apa-apaan dia ini?