Dewi mendesah lega. Setelah seharian berkutat dengan desain dan layout resort klien, akhirnya dia bisa mandi dan beristirahat di kamar hotel yang nyaman. Dia berencana memesan makanan lewat room service saja. Malam ini, Dewi ingin merampungkan pengerjaan desain untuk Pak Akbar.
Siang tadi Benny mengirimkan pesan singkat yang sebenarnya membuat Dewi enggan melanjutkan pekerjaan itu. Bayangkan, sketsa yang Dewi kirimkan hanya dibalas dengan dua huruf saja, “Ok” tanpa tanda titik. Dewi ingin sekali mundur dari proyek ini. Namun, di hatinya, dia tak ingin mengecewakan Benny dan menambah beban pikiran suaminya.
Tangannya meraih gawai yang tadi dia letakkan di nakas samping tempat tidur. Ada pesan baru. Bukan dari Benny, tapi Ryan. Mata Dewi memelotot melihat gambar yang Ryan kirimkan.
“Gila nih orang. Masa kirim ke aku gambar beginian.” Dewi mengomel sendiri, matanya melihat foto lingerie berwarna merah yang teramat tipis dan lebih mirip pakaian dalam ketimbang gaun tidur.
Di bawah gambar itu ada pesan yang dituliskan Ryan.
“Aku niatnya beliin calon istriku buat honeymoon. Terus keingat misiku membantu kamu. Nanti kukirim ke alamatmu.”
Jantung Dewi langsung beraksi, menggedor tulang dadanya. Perut bagian bawah Dewi berkedut. Dia tak pernah membayangkan harus mengenakan lingerie semacam ini di hadapan Benny. Terusan satin pemberian Benny adalah satu-satunya gaun tidur yang dia miliki; sangat berbeda dan kontras dengan piyama yang biasa Dewi kenakan. Saat ini saja, Dewi sudah nyaman mengenakan kaus oblong dan celana pendek.
Debar di d**a Dewi bertambah kuat mengingat ada laki-laki lain, yang bukan suaminya, membelikan lingerie untuk dirinya. Memang Ryan sudah berjanji akan menolong Dewi mendapatkan kembali perhatian Benny. Tapi, bagaimana pun, Ryan juga laki-laki. Dan dia mantan pacar Dewi belasan tahun lalu.
Dewi bergidik. Dia tak bisa membayangkan diri mengenakan lingerie itu. Bukannya mendapat perhatian Benny, bisa-bisa Dewi berakhir dengan garis-garis kerokan di punggung bila mengenakan lingerie yang gambarnya Ryan kirim.
Cepat-cepat, jari Dewi mengetik.
“Buat calonmu aja. Aku enggak usah.”
Hanya beberapa detik setelah Dewi mengirimkan pesan itu, ada panggilan masuk dari Ryan.
“Katanya mau usaha?”
“Enggak harus pakai itu, Yan. Ada cara lain kan?” Dewi mencoba menawar.
“Wi,” panggil Ryan, diikuti dengan hela napas keras laki-laki itu. “Laki-laki itu makhluk visual. Benny enggak mungkin enggak merasa apa-apa kalau kamu pakai itu.”
Dewi menggigit bibirnya sendiri. Teringat minggu lalu, Benny terang-terangan menolaknya. Padahal Dewi sudah mengenakan gaun satin pemberian suaminya.
“Aku udah coba, Yan. Benny malah marah.”
Ryan berdecak. “Kurang,” respons laki-laki itu singkat. “Berapa lingerie yang kamu punya?”
Pertanyaan itu tak perlu dijawab. Dewi tak mau menjawab. Dia menduga Ryan akan memakai jawabannya sebagai senjata agar Dewi mengikuti rencana gila laki-laki itu.
“Enggak punya?” Ryan bertanya lagi.
“Enak aja! Punya ya!” Dewi menjawab tak terima.
“Berapa? Dua? Satu?” Kali ini Ryan tak menunggu. Dia mencecar Dewi dengan tebakannya sendiri. “Punya lagi enggak masalah, Wi. Kudu diniatin usahanya.”
Mata Dewi menjelajahi kamar hotel itu, merasa tak bisa menyalurkan kegugupan akibat cecaran Ryan. “Emangnya enggak ada cara lain, Yan?”
“Ada.” Sesaat setelah mengatakan itu, Ryan terdiam. Keheningan itu membuat Dewi makin bingung dan makin gugup.
“Apa?”
“Pasang susuk!” Kemudian tawa Ryan pecah, sehingga Dewi harus menjauhkan gawainya dari telinga. Dengan suara tawa Ryan yang masih terdengar jelas walau berjarak, Dewi menatap gawainya dengan dahi berkerut, jengah mendengar jawaban Ryan yang jauh dari kata serius, juga tawa lantang laki-laki itu.
Dewi menunggu sesaat lagi, sebelum akhirnya tawa Ryan mereda dan dia dapat dengan aman menempelkan kembali gawai itu ke telinganya. “Udah?” tanya Dewi galak. “Enggak lucu ya, Yan. Kalo enggak serius begini, batal aja.”
“Eh, jangan dong, Wi! Kamu rela pisah dari si Om?”
Dewi yang sedari tadi bersandar di headboard tempat tidur menegakkan punggungnya dan duduk bersila. “Kasih saran yang bener, Yan. Temen bingung malah kamunya ngawur. Bantu ya bantu, jangan setengah-setengah.”
“Iya, Wi, iya. Tujuan kita sekarang, tunjukin si Om apa yang sudah dia lewatkan selama ini.”
“Ya gimana caranya?”
“Tunggu paket dari aku.”
–
“Akhirnya Tante Dewi yang super sibuk ini bisa datang juga.” Paramita, istri dari Rama duduk di sebelah Dewi, yang sedang menikmati taman di tengah rumah kakaknya itu.
“Maaf ya, Kak. Padahal aku udah janji lama sama Grazie.” Dari tempatnya duduk, Dewi bisa melihat Grazie, putri sulung Rama dan Mita yang hari ini berusia 7 tahun.
Mita menepuk paha Dewi dan berkata, “Kamu datang aja dia udah senang banget, Wi. Enggak bermaksud membebani kamu ya, tapi kayaknya bisa gondok setahun kalo kamu enggak datang hari ini.”
Dewi tersenyum. Dia mengamati taman ini, dari sudut ke sudut. “Aku selalu suka duduk di sini. Sejak awal, Mas Rama beli rumah ini karena ada taman di tengah.”
“Dan kamu bikin taman ini persis seperti yang Rama dan aku bayangin. Taman ini selalu jadi tempat favorit.”
“Buat aku juga,” kata Dewi sembari tersenyum pada kakak iparnya.
Sejenak, dua perempuan itu duduk berdampingan dalam hening. Menikmati suasana yang menenangkan, juga saling menikmati kehadiran masing-masing tanpa harus berkata-kata. Tak lama, dari dalam rumah, terdengar teriakan anak kecil dan suara tawa orang-orang dewasa.
“Wi, masuk yuk. Kayaknya Grazie mulai buka kado tuh,” ajak Mita.
Dewi tertawa kecil lalu mengikuti langkah kakak iparnya itu ke dalam rumah. Papa, Mas Rama, dan Benny sedang mengobrol di meja makan. Di hadapan mereka masing-masing ada sebuah cangkir. Dewi menebak cangkir-cangkir itu berisi kopi dari coffee machine baru yang tadi Mas Rama pamerkan.
Mama sedang duduk di sofa ruang keluarga, memangku Garry, si bontot yang berusia 3 tahun. Sementara itu, Grazie dan Glenn, si tengah yang berusia 5 tahun, duduk di lantai dikelilingi banyak hadiah. Mita menggamit lengan Dewi dan mengajaknya duduk di dekat Mama dan Garry.
“Garry, turun yuk, duduk sendiri. Oma capek tuh, kamu udah berat,” kata Mita melihat Mama memangku Garry yang memang cukup besar untuk anak seusianya.
“Atau mau sama Tante?” usul Dewi pada Garry.
Bocah berpipi gembil itu segera turun dari pangkuan Mama dan mendekati Dewi.
“Aduh, Garry-nya Tante ini udah besar amat yak?” kata Dewi gemas sambil memeluk Garry yang kini sudah anteng di pangkuannya.
“Kamu gimana, Wi? Sudah sempat bicara sama Benny soal anak?” Mama menatap Dewi dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran.
Dewi menghela napas, lalu memeluk tubuh Garry lebih erat. Sejujurnya dia juga menginginkan kehadiran seorang anak, tetapi dengan kondisi rumah tangga seperti sekarang ini, dia malah khawatir. Alih-alih menjadi kebahagiaan dan menyembuhkan luka, kehadiran anak bisa jadi membawa luka baru. Dan bisa saja anak yang ada di tengah mereka menjadi korban.
“Sabar sedikit ya, Ma. Kalau proyek yang dipegang Benny sekarang selesai, masalah perusahaan lebih ringan sedikit.” Dewi menatap ke arah Grazie dan Glenn yang sekarang sudah berada di tengah lautan kertas kado dari berbagai hadiah yang sudah dibuka.
“Kalau tunggu proyek selesai, enggak akan ada habisnya, Wi. Papa kalian tuh, janji dari kapan lalu mau ajak Mama liburan. ‘Habis proyek ini selesai, ya.’” Mama merendahkan suaranya seakan ingin meniru suara Papa. “Tapi habis itu datang proyek baru. Kapan jadi liburannya?”
Dewi tertawa. Dan dia mendengar Mita yang duduk di sampingnya juga tertawa.
“Nanti Mita usul sama Rama untuk kasih hadiah 2 tiket PP sekalian paket travel ke Raja Ampat buat ulang tahun Papa bulan depan ya, Ma? Kita paksa Papa bawa Mama liburan.”
Tiga perempuan itu tertawa bersama. Mama mengacungkan ibu jarinya pada Mita. Dewi yang berada di antara Mama dan Mita tersenyum lebar sambil sesekali mencuri cium pipi gembil Garry. Dan di tengah tawa itu, Dewi tiba-tiba teringat panggilan telepon dari Mami dua hari yang lalu.