Menyimpan dendam pada orang yang kau cintai sama seperti kau menyimpan dendam
pada dirimu sendiri
~Angga Putra Wijaya~
Arsa berlari di lorong rumah sakit dengan raut wajah khawatir yang sangat kentara di wajah cantiknya, lalu langkah kaki Arsa terhenti di ruang rawat nomor 180.
Pembantu harian apartemennya menelepon Arsa dan mengatakan bahwa Lava tadi pingsan saat hendak berangkat kerja dan sudah dibawa ke rumah sakit, berikut dengan nomor ruang rawatnya. Tanpa basa-basi pun Arsa langsung ke rumah sakit yang dikatakan pembantu hariannya. Arsa sangat khawatir dan takut saat tahu Lava berada di rumah sakit, karena hanya Lava satu-satunya orang yang ia punya di Dunia ini.
Tanpa membuang waktu, Arsa langsung membuka pintu di depannya dan ia menemukan Lava sedang diam termenung dengan posisi tidur. Kening Arsa mengerut saat melihat Lava seperti raga tanpa jiwa, Arsa hendak masuk ke dalam namun terhenti saat mendengar sebuah suara mencegahnya.
"Tunggu Nona!"
Arsa menatap seorang dokter wanita yang berjalan ke arahnya, lalu menatap Lava sebelum menutup kembali ruang rawat Lava dan berjalan ke arah dokter itu. Arsa yakin pasti dokter ini adalah dokter yang memeriksa Lava tadi.
"Apa Anda keluarga dari pasien yang bernama Lavanya Darmianta Sevana?"
"Iya dokter, apa ada penyakit serius yang diderita Lava?"
Dokter itu menghela nafas sejenak lalu menjawab pertanyaan Arsa dengan lembut sedangkan Arsa hanya diam mendengarkan dan menutup mulutnya tak percaya mendengar ucapan dokter tersebut.
"Pasien sedang mengandung dan usia kandungannya adalah dua minggu, kondisi kandungan...
Arsa tak lagi mendengar ucapan dokter itu lalu masuk ke dalam ruang rawat Lava, meninggalkan dokter tersebut yang berusaha sabar menghadapi keluarga pasien yang kurang sopan.
"LAVA!"
Arsa terkejut saat masuk ke dalam ruang rawat Lava, ia menemukan Lava hendak loncat dari balkon rumah sakit, ruang rawat Lava adalah ruangan VIP yang memiliki balkon sendiri di setiap ruangan, Arsa buru-buru berlari ke arah balkon dan menggelengkan kepalanya saat Lava menoleh padanya.
"Jangan Lava, jangan, cuma kamu yang aku punya. Kamu engga bisa meninggalkan aku sendiri Lava, tolong jangan loncat Lava."
Lava menangis tersedu-sedu saat melihat sosok Arsa yang berada di belakangnya, ia tahu orang yang paling tersakiti saat ia meninggal nanti adalah Arsa namun ia tak mau sahabatnya itu menanggung malu akibat hasil pemerkosaan pria b******n itu.
"Arsa, lebih baik aku mati saja dari pada harus menanggung semua ini, kamu tahu kan Adimas berniat menikahi aku setelah kami bertunangan, tapi setelah tahu bahwa... Aku hamil, pasti Adimas akan meninggalkan aku hiks hiks."
Air mata mengalir deras di pipi Arsa dan Lava, Arsa tak akan membiarkan sahabatnya meninggalkannya dengan cara seperti ini dan Lava tak bisa membayangkan bagaimana menjadi orang tua tunggal karena ia yakin pasti ayah dari anak yang ia kandung menolak untuk bertanggung jawab.
Ucapan pria itu pada malam itu masih sangat jelas Lava ingat, bagaimana pria itu memintanya tutup mulut dan lagi pula Lava tak sanggup mengatakan kebenaran tentang pria itu pada Arsa.
"Lava, genggam tangan aku, jangan melakukan tindakan bodoh ini Lava! Kau adalah keluargaku satu-satunya, jika kau pergi maka aku tak bisa melanjutkan hidupku lagi."
"Arsa maafkan aku jika selama ini aku selalu menyusahkanmu dan memberikanmu berbagai masalah, kau adalah sahabat terbaikku, aku yakin di kehidupan sebelumnya pasti aku sudah melakukan kebaikan yang sangat besar hingga Tuhan mengirimmu untuk menemaniku di saat keterpurukanku."
"Lava ku mohon turun, jangan gila! Kalau kau tidak mau memikirkan aku, setidaknya pikirkan anakmu, dia tidak bersalah. Dia pantas untuk mendapat kesempatan melihat Dunia ini!"
Tubuh Lava diam mematung setelah mendengar ucapan Arsa, tangan Lava terulur untuk mengusap perutnya yang masih rata. Di perutnya terdapat nyawa lain yang menjadi tanggungannya, Lava tidak berpikir ke arah anaknya saat memutuskan bunuh diri, yang ia pikirkan adalah hinaan Masyarakat yang tahu jika ia hamil di luar nikah.
Arsa yang melihat Lava diam dan menatap kosong ke depan, akhirnya mendekat perlahan-lahan mendekat dan mengulurkan tangannya.
"Sekarang pegang tanganku, aku berjanji padamu pria itu pasti akan bertanggung jawab atas kehamilanmu."
Lava menoleh ke arah Arsa, menatap mata Arsa dan yang ia lihat adalah keyakinan di mata Arsa. Hal itu membuat Lava menerima uluran tangan Arsa, dan masuk kembali ke balkon.
Arsa langsung memeluk Lava dengan lembut, sedangkan Lava kembali menangis di pelukan Arsa dan membalas pelukan Arsa.
"Jangan tinggalkan aku Arsa, aku tak sanggup menghadapi Dunia sendirian setelah hari ini, aku butuh kau."
"Kau pikir aku bisa berpisah denganmu? Kau sudah ku anggap sebagai saudaraku sendiri jadi jangan pernah berpikir melakukan hal gila itu lagi!"
Lava hanya mengangguk lemah lalu mata Lava menatap sekitar ruangannya, hingga matanya tanpa sadar melihat seorang pria berpakaian rapi sedang berbicara dengan seorang dokter lewat jendela ruangannya.
"Siapa pria itu Lava?"
Lava tak menjawab pertanyaan Arsa, karena fokusnya sekarang pada pria yang berada di depan jendela sedang berbicara dengan dokter. Pria itu adalah pria yang sama dengan malam itu.
"Di... Dia pria itu Arsa."
Tubuh Arsa langsung diam mematung saat mendengar ucapan Lava, Arsa melepaskan pelukannya dan langsung menoleh ke belakang.
Mata Arsa melotot sempurna saat melihat Angga adalah pria itu, lalu Arsa menatap Lava dengan tatapan sendu. Arsa buru-buru menghapus air mata di pipinya agar Lava tak melihat air dan kesedihan yang terpancar di matanya.
"Angga pria itu?"