“Aku bilang, aku baru tahu kalau di sebelah kamarku itu kamar mandi,” jawabku cepat.
Joseph melipat kedua tangannya di depan dadanya. “Bukan itu. Tadi lu manggil gue dengan sebutan 'kak' lagi. Sudah gue bilang, gue bukan kakak lu.”
“Tapi, kenapa memangnya aku nggak boleh manggil Kakak dengan sebutan 'Kak'?” tanyaku keras kepala. “Kakak umur berapa memangnya?”
“Gue? 22 tahun ini. Kenapa?”
“Berarti Kakak 4 tahun di atas aku. Rasanya nggak sopan kalau aku panggil cuma pake nama depan aja.” Tiba-tiba.... “Aduhhh! Sakit, Kak!” Joseph sudah menarik tanganku dan menyeretku masuk ke kamarnya. Dia lalu mendesakku ke temboknya dan mengurungku dengan kedua tangannya.
“Gue cuma bakal bilang ini sekali aja. Bagi gue, lu bukan adik gue. Nggak akan pernah bakal jadi adik gue. Kalau lu panggil gue 'kakak' lagi, nanti lu bakal tahu akibatnya,” ancamnya.
“Memangnya kenapa?” tanyaku bingung.
Joseph tidak menjawab, tapi malah mendekatkan wajahnya ke wajahku.
“Kak? Kamu mau apa?” tanyaku panik.
“Lagi-lagi lu panggil gue 'kak'. Oke gue akan tunjukkin akibatnya. Setiap kali lu panggil gue kakak, ini yang akan gue lakukan.” Dengan cepat Joseph, menaruh jarinya di daguku dan mengecup bibirku.
Aku yang terlalu kaget tidak bisa bergerak. Dia bukannya berhenti, malah makin bersemangat menciumku sambil tangan satunya memelukku erat. Pikiranku kacau. Aku tidak bisa berpikir apa-apa dan malah balik membalas ciumannya.
Joseph membelai pinggangku. Tiba-tiba terdengar bunyi 'krak'. Dengan bingung kulihat ke lantai. Ternyata figura dari meja belajar Joseph jatuh ke lantai. Aku tersadar setelah membeku beberapa saat, lalu mendorong Joseph. “Kamu... kamu gila!”
Joseph hanya tersenyum ke arahku. “Inget yang gue sudah bilang. Tiap kali lu panggil gue 'kak', itu yang akan gue lakukan. Paham?”
Aku hanya mengangguk, lalu lari dengan cepat keluar dari kamarnya. Buru-buru aku masuk ke kamarku dan mengunci pintunya. Dengan berdebar-debar dan napas tersengal-sengal, aku terduduk di lantai.
Kusentuh bibirku dengan jari gemetar. Ciuman pertamaku! Oleh kakakku sendiri. Eh, ralat... bukan kakakku. Maksudku, yah begitulah.
Aku bingung memikirkan kejadian barusan. Setidaknya satu yang sudah pasti. Jangan sampai aku salah memanggilnya dengan sebutan kakakku lagi. Dia bukan kakakku!
Waktu makan malam Mama memanggilku untuk turun ke ruang makan. “Alice, ayo turun sini. Kita makan sama-sama.”
“Iya, Ma. Sebentar lagi beres-beres buku.” Aku memang sedang merapikan beberapa buku novelku yang kubawa juga ke sini. Aku sangat suka membaca n****+. Jadi tidak mungkin kalau aku tinggalkan mereka di rumah lamaku.
“Alice, nanti aja beres-beres bukunya. Papa dan Kak Joe sudah nunggu, Sayang.”
“Iya, Ma. Alice turun.” Buru-buru aku turun ke ruang makan. “Pa, sudah pulang?" sapaku. "Biasa pulang jam berapa, Pa?”
Papa tersenyum padaku. "Iya, biasa sih jam 7, tapi ini kan anak Papa ada di rumah pas hari pertama. Jadi Papa buru-buru pulang deh. Oh ya, kamu sudah kenal Joseph? Papa dan Mama biasa panggil dia Joe. Dia di atas kamu 4 tahun. Jadi kamu panggil dia kakak ya?"
Aku terdiam sesaat. Tersadar kalau Papa menunggu jawabanku, aku buru-buru mengangguk. Dengan enggan kusapa dia. "Kak Joe."
Joseph hanya memandangku beberapa detik, lalu mengangguk dan membuang muka ke arah lain.
Mama yang memperhatikan kelakuan Joseph yang kurang sopan hanya menghela napas. "Alice, kamu duduk di sini sebelah kakak kamu. Biar kamu bisa ngobrol-ngobrol."
Aku cuma mengerutkan kening tanda tidak suka, tapi mau bagaimana lagi? Mama yang menyuruh. Jadi lagi-lagi dengan malas, aku pindah duduk dari sebelah Papa ke sebelah Joseph.
"Joe, gimana kerjaan kamu di tempat baru?" tanya Papa.
"Hm.. ya biasa, Pa. Cuma ya aku suka soalnya selain gajinya lebih besar ketimbang di perusahaan sebelumnya, fasilitasnya juga banyak. Ini aku juga dapat cuti seminggu. Atasanku nggak banyak ribut soal kehadiran, yang penting kerjaan beres dan bagus."
Papa mengangguk-angguk. "Kalau misalnya nanti Alicia harus kuliah di sana, kamu siap jagain adik kamu, Joe?"
"Apa?" tanyaku dan Joseph bersamaan.
"Aku kuliah di sini aja, Pa. Aku keluar dari Bandung aja nggak pernah, masa harus pergi ke luar negeri?" Tak urung aku penasaran juga, jadi kutanyakan juga ke Papa. "Di mana memang Kak Joe tinggal, Pa?"
"Di Sydney,” jawab Joseph cepat. “Pa, Papa yakin mau kirim Alice kuliah ke Sydney? Biayanya lumayan lho, Pa. Lagipula Joe nggak tiap saat bisa merhatiin Alice. Kalau dia bandel, nanti Papa dan Mama yang pusing juga, kan?" papar Joseph panjang lebar.
Kucibirkan bibirku ke arah Joseph. “Enak aja aku bandel. Aku nggak bandel, kamu tuh yang bandel!" omelku sebal. Tiba-tiba... "Aduh! Jangan main tarik aja! Sakit tahu!" Joseph sudah menarik tanganku dan mengajakku ke teras samping.
"Joe, Alice, kalian mau ke mana? Ini kita sudah mau mulai makan," panggil Mama kebingungan.
"Sebentar, Ma. Joe mau ngomong sebentar sama adikku ini." Kata 'adikku' diberi Joseph penekanan yang lain.
"Ma, Kak Joe nih jahat. Tangan Alice sakit, Ma," aduku ke Mama.
"Joe, jangan kasar sama Alice!"
Joseph tidak menyahut. Dia terus menarik tanganku. Dibukanya pintu teras samping dan ditariknya aku masuk. Sesudah aku masuk, segera ditutupnya dan dihalanginya pintu itu dengan tubuhnya.
"Kamu apa-apaan sih, Joe? Mau ngomong ya ngomong aja. Nggak usah tarik-tarik segala. Emangnya aku tali ditarik-tarik?"
Joseph menatap wajahku lekat-lekat, membuatku salah tingkah. "Apaan sih lihat-lihat?" gerutuku.
"Gue... minta maaf."
"Hah? Apa kamu bilang?"
Joseph berteriak, "Gue bilang, gue minta maaf. Budeg, ya?"
"Heh! Kalau minta maaf yang tulus dong!" omelku tidak terima.
Joseph hanya menggumam tidak jelas. "Terserah."
"Jadi, tadi itu ini yang kamu mau obrolin?"
Joseph menggeleng. "Bukan. Gue cuma mau bilang... kalau memang lu mau kuliah di Sydney, jangan ditolak hanya karena takut sama gue."
"Takut? Siapa juga yang takut?" tantangku sambil bersedekap.
Tiba-tiba sorot mata Joseph terlihat aneh. Dia mendekatiku sambil terus menatapku tajam. Aku yang kaget tanpa sadar melangkah mundur sampai badanku terhalang tembok. Joseph menghalangi tubuhku lagi dengan kedua tangannya ke tembok.
"Masih nggak takut?" tantangnya lagi.
Aku mencibir. "Enggak!"
"Cih! Sok berani, padahal sudah mengkeret mundur-mundur dari tadi."
Aku membelalakkan mataku. "Maumu apa sih?"
Seperti deja vu, Joseph lagi-lagi mendekatkan wajahnya pada wajahku. Aku memejamkan mataku, tapi ternyata kali ini dia tidak mengecup bibirku.Waktu kubuka mataku, kulihat Joseph memandangiku dengan aneh. Wajahku langsung terasa panas.
"Ini bukan tempat dan waktu yang tepat, Sayang. Nanti, pada waktu dan tempatnya gue bakal kabulkan kemauan lu."
Aku memandanginya dengan tak percaya. Manusia arogan satu itu! "Heh! Mimpi!"
Joseph tersenyum kecil, lalu dengan cepat mengecup keningku. Dibisikkannya sesuatu padaku, "Satu hari nanti, lu bakal jadi milik gue. Inget itu."
Baru saja aku akan protes, tiba-tiba kudengar suara Mama. "Joseph! Alicia! Kalian apa-apaan?"
Wajahku kembali memanas. Seakan-akan aku seperti maling yang tertangkap basah. "Eh, aku... aku..."
Joseph malah bertindak seperti tidak ada kejadian apa-apa. Dia malah merangkul pinggangku dengan santai. "Aku cuma ngajak Alice ngobrol santai, Ma. Bicara dari hati ke hati antara kakak dan adik. Iya kan, Dik?" Lagi-lagi dia menekankan kata 'dik' itu.
Mama masih terlihat agak cemas. Aku buru-buru mengangguk. "Iya, Ma. Tadi Kak Joe cuma bilang kalau aku memang mau kuliah di Sydney, ya jangan nolak."
"Bener, Joe?" tanya Mama dengan ekspresi heran.
"Iya, Ma. Aku ngerasa nggak enak karena sudah berprangka jelek sama Alice. Makanya tadi Joe minta maaf ke Alice. Mama tenang aja, Joe bakal jaga Alice kok kalau memang Papa dan Mama putusin buat kuliahin Alice di sana."
Mama tersenyum lebar lalu menepuk-nepuk lengan Joseph. "Ini baru Joe yang Mama kenal. Makasih, Sayang. Mama jadi lega kalau gitu. Ayo, Alice kita makan dulu. Joe, ayo!"
Aku berjalan di sebelah Mama, masih bingung dengan perubahan sikap Joseph yang terlalu cepat. Sebentar dia baik, sebentar lagi dia jahat. Mungkin dia iblis yang menyamar sebagai malaikat. Membingungkan!
Waktu aku menoleh ke belakang, kulihat Joseph tengah memperhatikanku. Salah tingkah karena kedapatan curi pandang ke arahnya, wajahku memanas.
Sebelum sempat aku mengalihkan pandangan, Joseph sudah mengalihkan pandangannya lebih dulu. Pandangan matanya tadi begitu lembut. Sebenarnya apa mau Joseph padaku?
Papa menunggu kami di ruang makan sambil mengangkat alisnya begitu melihat kami datang. "Kalian ngapain, Joe, Alice? Lama amat, perut Papa sampai keroncongan nih."
"Eh.. itu..." Aku kebingungan untuk menjawab pertanyaan Papa.
Joseph menjawab dengan santai, "Cuma ngobrol sedikit sama Alice, Pa. Tadi Joe sudah bilang ke dia kalau memang mau kuliah di Sydney ya sudah. Joe setuju dan bakal jagain."
Papa sampai melongo. "Lho, bukannya tadi kamu bilang nggak bisa jagain tiap saat?"
Joseph terbatuk kecil. "Iya, Pa. Cuma sesudah dipikir-pikir lagi, nggak adil buat Alice kalau Joe ngehalangin dia buat kuliah di sana. Toh dulu Papa dan Mama malah kasih Joe kesempatan yang sama juga. Memang nggak mungkin sih kalau aku harus jagain dia tiap saat, tapi Alice juga bukan anak kecil lagi. Jadi mestinya dia ngerti yang boleh dan enggak dia lakuin."
Papa tidak menjawab, hanya menepuk pelan bahu Joseph sambil mengangguk-angguk. "Alice, jadi gimana menurut kamu?"
Aku terdiam. Kalau aku bisa kuliah ke luar negeri, mungkin itu akan baik bagi masa depanku. Setidaknya aku bisa belajar mandiri, walaupun harus jauh dari Papa dan Mama yang baru saja kutemukan. Seperti kata Joseph tadi, aku bukan anak kecil lagi. Tidak selamanya aku akan bersama Papa dan Mama. Jadi ini sepertinya kesempatan bagus yang sayang kalau aku tolak.
"Hm..., Alice setuju aja, Pa. Itu juga kalau Papa dan Mama nggak keberatan. Biayanya kan pasti mahal." jawabku pelan.
Mama merangkul bahuku. "Masalah biaya nggak usah dipikirin, Sayang. Papa dan Mama masih mampu kok nyekolahin kamu. Apalagi kalau Joe sudah bersedia jaga kamu, Mama jadi lebih tenang."
Papa juga mengangguk-angguk. "Nanti kamu tanya-tanya ke Joe tentang prosedur mencari universitas di Sydney, ya Alice. Sebentar lagi kamu kan ujian akhir juga. Jadi pas banget waktunya memang."
"Iya, Pa."
Suasana makan malam terasa menyenangkan. Joseph seperti berubah 180 derajat jadi malaikat. Dia memperlakukan aku seperti adiknya.
"Alice, nanti seudah makan ke kamar gue, ya? Tar gue jelasin masalah cari universitas."
"Ng... iya, Kak. Kakak dulu kuliah di mana?"
"Dulu gue kuliah di University of New South Wales (UNSW). Apa lu mau kuliah di situ juga?"
"Aku sebenernya masih bingung, Kak. Nggak tahu mau ambil kuliah jurusan apa? Nanti aku tanya-tanya ke Kakak lagi, ya?"
"Ya, harus dari sekarang lu pikir baik-baik. Jangan sampai salah jurusan. Temen gue ada yang salah jurusan. Akibatnya fatal, tuh! Sampe-sampe akhirnya kuliahnya nggak dilanjutin lagi. Lu jangan sampe kayak gitu, Alice. Kakak nggak mau kalau lu sampai putus kuliah."
Papa menyela obrolanku dengan Joseph. "Joe, nanti kalau Alice jadi kuliah di UNSW juga, apa dia dimasukkin ke asrama aja?"
Joseph menggeleng dengan cepat. "Jangan, Pa. Kasian dia kalau dimasukkin ke asrama. Bisa homesick ntar. Biar dia tinggal di apartemen bareng Joe aja. Jadi aku bisa lihatin dan jagain dia, Pa."
"Bagus juga ide kamu. Papa jadi tenang kalau gitu."
Aku mengangguk. Dalam hati aku bingung. Sikap Joseph itu benar-benar aneh. Di depan Papa dan Mama dia bisa baik sekali, tapi kalau hanya berdua saja denganku sikapnya lain. Aku jadi agak was-was, apa betul aku bisa aman di Sydney? Lagipula kata-katanya waktu tadi di kamarnya.... Tanpa sadar aku menggeleng.
Mama yang melihatku seperti yang heran. "Kenapa, Alice? Kok geleng-geleng kepala?"
"Eh? Ng... itu... Alice masih mikir mau ambil jurusan apa, Ma. Pusing mikirnya," kilahku cepat.
"Oh, Mama kira kenapa kamu geleng-geleng. Ya sudah, nanti seudah makan, kamu tanya ke Kak Joe ya, Sayang?" kata Mama dengan lembut.
"I-iya, Ma."
Saat Papa dan Mama asyik mengobrol, kulihat Joseph menatapku aneh lagi sambil tersenyum kecil. "Sudah selesai makannya? Yuk, sekarang aja ke kamar gue. Gue tunjukkin website UNSW-nya sekarang."
Dengan enggan dan was-was aku berdiri dan mengikuti Joseph ke arah kamarnya. Kali ini, Joseph malah menggandeng tanganku. Aku yang kebingungan akhirnya membiarkan saja tanganku digandengnya.
"Yuk, masuk. Kok berdiri aja di pintu?"
"Ng.. i-iya, Joe."
"Sini, duduk di sebelah gue." Joseph menepuk-nepuk tempat di sebelahnya di ranjang, sambil segera membuka laptopnya. "Ini tampak luar UNSW. Lu dari sekarang pikirin mau masuk jurusan mana, Alice?"
Aku mengangguk. "Aku sendiri juga bingung, Joe. Soalnya semua mata pelajaran aku suka."
Joseph tampak berpikir. "Gimana kalau lu masuk ke Industrial Engineering aja? Setahu gue di sana itu banyak banget cabang ilmu yang dipake. Jadi pas banget kalau lu emang suka segala macem mata pelajaran."
"Industrial Engineering ya, Kak? Boleh juga tuh."
Tiba-tiba Joseph menutup laptopnya dengan cepat, menyimpannya ke mejanya lalu dengan cepat memegang kedua tanganku sambil menatapku tajam. "Tadi bilang apa?"
Aku yang tidak sadar dengan yang kuucapkan barusan, tiba-tiba sadar. "Aduh, aku nggak sengaja. Maaf..."
Joseph malah tersenyum kecil. "Tandanya adik gue pengen dicium nih. Sini!"
"Joe, aduh... bukan gitu."