Episode 8

2021 Words
              Cukup banyak juga yang diundang di pesta ulang tahun Dessy. Ruang pestanya sudah dihias dengan bunga-bunga mawar pink dan putih. Sebuah kue tart dengan bentuk Hello Kitty terpajang manis.               Begitu sampai, kedatanganku yang ditemani Joseph menjadi pusat perhatian banyak temanku. Ada beberapa yang menyenggolku sambil berbisik, "Datang sama siapa, Lice? Ganteng banget! Pacar lu?"               Anthony waktu melihatku datang, segera menyalamiku juga Joseph. "Makasih sudah datang, Alice." Ditatapnya Joseph dan aku bergantian.               Tersadar, aku segera mengenalkan mereka berdua. "Ini kakakku, Joseph. Joe, ini Anthony, kakak yang adiknya ulang tahun."               Joseph mengangguk kecil pada Anthony. Anthony masih di situ beberapa saat, memandangiku dengan canggung sambil tersenyum kecil. Belum sempat aku mengobrol lebih lanjut dengan Anthony, Joseph menarik lenganku.               "Kami lihat-lihat ke sekeliling dulu, Anthony. Pasti kamu juga mau menyapa tamu yang lain. Mari!" pamitnya sambil mengajakku ke arah Dessy.               Anthony terpaku di tempat. Waktu aku meliriknya, dia masih memperhatikanku dan Joseph. Joseph mengencangkan genggamannya pada lenganku, membuat aku berhenti melirik Anthony dari jauh.               "Ayo kita selamatin dulu yang ulang tahun. Sudah itu langsung makan, ya? Aku lapar nih," bisik Joseph di telingaku.               Kami menyalami Dessy yang terlihat sangat manis malam ini, juga menyalami kedua orangtuanya. Sesudah itu, aku mengikuti Joseph untuk mulai mengambil makanan.               "Joe, aku mau siomay, tapi mau steak juga."               "Ya sudah, kamu ngantri siomay aja. Aku ambil steak. Nanti ketemu di tengah, ya?"               Sesudah mengantri, kucari Joseph. Ternyata antriannya cukup panjang, dia belum selesai mengantri. Bahuku ditepuk perlahan dari belakang. Kukira Joseph, ternyata Anthony. "Alice, gimana enak makanannya?"               "Eh, aku belum coba sih, tapi kayaknya enak. Makasih ya sudah undang aku. Ramai juga, ya? Berapa banyak yang diundang?"               "Sekitar 500 orang. Yah, soalnya kalau ada yang nggak diundang nggak enak. Tadi itu kakak kamu? Kok aku baru tahu kalau kamu punya kakak, ya?"               "Iya. Aku baru tinggal dengan ayah kandungku sepeninggal ibu. Jadi aku sekarang punya kakak."               Anthony tidak berkomentar. Waktu aku menoleh ke arahnya, dia malah tengah menatapku juga. Begitu pandangan kami bersirobok, wajahnya mememerah dan segera mengalihkan tatapannya ke arah lain. Baru aku mau bertanya, Joseph sudah mendekati kami.               "Pesta yang ramai, Anthony."               "Yah, begitulah, Kak. Selamat menikmati makanannya." Anthony meninggalkan kami berdua untuk menyapa tamu-tamu lainnya.               "Nih, steak-nya. Aku sudah minta potongin supaya kamu gampang makannya."               Aku menyunggingkan senyumku yang paling cerah. "Wah, asyik! Aku paling suka steak yang sudah dipotongin. Makasih, Joe!"               Joseph tidak menjawab, hanya menyentuh pipi kananku dengan jempolnya. Sedetik saja, tapi sentuhannya membuat pipiku seperti terbakar. Bibir Joseph kembali melengkung indah melihat reaksiku. "Ayo kita makan!"               Aku segera menyantap siomay dan steak-ku bergantian sambil berpikir mau mencari makanan yang lain lagi sesudah ini.               Di tengah-tengah keasyikan makan, Joseph mengejutkanku. "Suapin aku steak-nya, Alice."               Ucapannya datar, tapi sorot matanya memerintah dengan pasti. Aku otomatis mengikuti kata-katanya dan menyuapkannya steak. Joseph terus menatapku sambil mengunyah, membuat aku makin salah tingkah.               Kami masih berputar-putar beberapa kali lagi. Sup asparagus, kambing guling, sate ayam, juga sajian prasmanan semua kami nikmati. Terakhir aku masih sempat menyantap es putar, puding, dan es krim.               Joseph sudah berhenti dari tadi. Dia menemaniku berputar untuk mengambil makanan yang aku inginkan. "Ternyata kecil-kecil tangki kamu gede juga, ya?"               Aku terkikik. Buru-buru kututup mulutku yang masih mengunyah makanan. Baru sesudah kutelan, kubalas omongannya. "Biar kecil-kecil, jagoan nih!"               Joseph mengacak pelan rambutku. "Masih mau keliling lagi? Aku sudah kenyang dari tadi. Lihat kamu makan aja bikin kenyang."               Aku tergelak-gelak mendengarnya. Sambil tangan kiriku menepuk pelan perutku, tangan kananku menggamit lengannya. "Aku sudah kenyang. Kayaknya sudah nggak sanggup makan lagi. Eh, sudah ini ada slow dance. Mau ikutan?"               Joseph mengangguk mantap. "Pasti, aku pingin tahu apa kamu bisa dance enggak?"               Aku memukul lengannya dengan main-main. "Huuu, meledek. Bisa tahu!"               Waktu MC mengumumkan sesi slow dance, pertama-tama Dessy mengajak Anthony dan ayahnya, lalu pacarnya. Sesudah itu, MC mengajak semua tamu ikut bergabung.               Joseph segera meraih tanganku untuk melantai. Dilingkarkannya lengannya di pinggangku. Kupegang bahunya sambil mulai menari. Lagu A Thousand Years mengiringi langkah kaki kami. Tiba-tiba aku teringat Viria, lalu aku berbisik pada Joseph. "Joe, Viria suka kamu sepertinya. Menurut kamu gimana?"               Joseph mengangkat bahu. "Aku cuma menganggapnya teman kamu. Itu aja."               Tanpa sadar, bibirku menyunggingkan senyum kecil. Joseph melihat itu dan ikut tersenyum. Lagi-lagi Joseph menatapku dengan tatapan misteriusnya. Wajahku perlahan merona. Joseph merapatkan pelukannya, membuat kepalaku menyandar di dadanya.               Sepertinya ini momen terbaik yang pernah kualami selama 18 tahun hidupku. Sayang, tidak bertahan lama. Begitu lagu selesai, seseorang mendekat dan membuat Joseph memegang bahuku dan membuat jarak di antara kami.               "Boleh giliran?" sela Anthony menatap Joseph.               Joseph terdiam beberapa saat, lalu berbalik ke samping, memberi kesempatan aku berdansa dengan Anthony. Kali ini kembali aku berdansa lagi. Sayang, momen magis itu sudah hilang. Rasanya beda sekali waktu berdansa dengan Joseph tadi.               Anthony berbisik di tengah-tengah kami melantai. "Kamu cantik banget, Alice."               "Makasih."               Ternyata Anthony belum selesai. Sama sekali tak menduga, dia menjatuhkan bomnya. "Mau jadi pacarku?"               Aku menghentikan langkahku dan nyaris saja Anthony menginjak kakiku. "Apa kata kamu, Ton?"               Anthony menelan ludahnya. "Aku.... aku suka kamu. Mau jadi pacarku?"               Mataku mengerjap, tak percaya dengan yang kudengar. Ternyata Mama benar! Bingung, aku hanya menatapnya. Kami terdiam beberapa saat, sampai akhirnya pundakku disentuh. Joseph.               "Sudah selesai? Kita harus pulang sepertinya. Sudah setengah sebelas."               Aku mengangguk, rasanya seperti dibebaskan dari hukuman mati. Kutatap Anthony yang lagi-lagi memandangku dan Joseph dengan tatapan anehnya yang sama seperti sebelumnya. "Aku akan telepon kamu nanti, Tony. Aku harus pulang sekarang."               Joseph menyalami Anthony lalu menggandengku ke arah parkir mobil. Beberapa temanku lagi-lagi mengisengiku sambil bersiul ke arah kami, ada juga yang mengerling ke arahku dengan tatapan tahu sama tahu. Tak kuhiraukan semua itu. Pikiranku terlalu penuh dengan perkataan Anthony tadi. Sampai di mobil, Joseph menggenggam tanganku lagi, membuatku menatapnya.               "Baik-baik aja, Lice? Kamu kayak yang bingung."               Aku menggeleng, lalu mengangguk. "Engga apa-apa kok. Ayo pulang!"               Joseph masih menatapku beberapa saat. Baru dilepaskannya genggamannya dan melajukan mobil menuju rumah kami.              Sebulan sesudah pesta Dessy, aku masih belum juga menelepon Anthony. Terlalu banyak yang aku pikirkan, juga proses penerimaan di UNSW ternyata membutuhkan rekomendasi dari beberapa orang guru, juga tes IELTS yang harus kupersiapkan sebagai salah satu syarat untuk melengkapi aplikasiku. Belum lagi persiapan ujian akhir yang semakin dekat, membuatku tidak siap memberi jawaban pada Anthony.               Joseph tidak pernah menanyakan apapun tentang Anthony, tapi beberapa kali dia menatapku beberapa lama dengan sorot mata seperti yang menyelidik. Sekali dua kali kutanya, dia selalu menggeleng, mengulas senyum kecil, lalu berlalu. Selalu seperti itu.               Aku sebenarnya ingin bercerita padanya, tapi tiap kali kuurungkan niatku. Dia memang kakak angkatku, tapi kami tidak terlalu dekat. Di luar pujiannya yang waktu itu, Joseph tidak pernah menunjukkan tanda-tanda menyukaiku sebagai seorang perempuan.               Di persimpangan, mungkin itu tepatnya yang menyatakan situasiku saat ini. Di satu sisi, ada Anthony yang menyukaiku dan menginginkanku sebagai kekasihnya. Di sisi lain, secara jujur saat meneliti hatiku, aku tahu dengan pasti. Tidak ada perasaan lain pada Anthony, selain sebagai teman. Lebih lanjut, kalau benar-benar jujur sepenuhnya dengan diri sendiri, aku menyukai Joseph. Bukan sebagai adik pada kakaknya.               Ada kalanya aku ingin melompati begitu saja pagar yang ada antara aku dan Joseph. Lagi-lagi setiap kali aku ingin menerobos, aku teringat Papa dan Mama. Beberapa kali juga terbayang Ibu. Aku tidak bisa membayangkan reaksi mereka kalau mengetahui yang kurasakan pada Joseph. Jadi aku hanya bisa memendam. Dalam diam. Resah. Kalut.               Joseph sendiri sudah kembali ke Sydney tidak lama sesudah pesta ulang tahun Dessy. Tinggal aku sendiri yang kebingungan, memikirkan seseorang yang nun jauh di sana, yang tidak jelas perasaannya padaku.               Sementara itu, Anthony tidak pernah mendesakku. Dia tahu aku sedang sibuk dengan proses aplikasi kuliah di UNSW. Belakangan aku tahu, dia juga mengajukan aplikasi yang sama. Itu artinya kalau kami diterima, selama setidaknya empat tahun, kami akan kuliah bersama. Di tempat yang sama, di jurusan yang sama. Kebetulan? Tidak.... Aku mengetahui itu satu kali waktu bertemu dengannya di sekolah.               "Alice, gimana proses aplikasi kamu ke UNSW? Industrial Engineering, kan?"               "Iya. Kok kamu tahu?" Kumiringkan kepalaku sedikit, tanda aku penasaran dan heran.               Anthony menggaruk kepalanya, tersenyum kecil, menggaruk kepalanya lagi. Ditatapnya aku dengan malu-malu. Baru akhirnya mengaku, "Aku mendengar pembicaraan kamu dengan wali kelas kamu. Aku juga mendaftar ke jurusan yang sama di UNSW. Jadi kalau kita keterima, kita bakal sama-sama terus."               "Uh..., ehm...." Aku teringat pernyataan Anthony. "Uhm..., tentang yang waktu itu, aku...."               Anthony meraih tanganku, membuatku menghentikan bicaraku. "Aku tahu, mungkin waktu itu terlalu terburu-buru. Tapi aku serius dengan perkataanku, Alice."               "Aku....."               Anthony menggeleng pelan. Lagi-lagi menghentikan kata-kataku. "Mungkin memang belum waktunya kamu jawab, Lice. Biar waktu berjalan. Kalau kita keterima di UNSW, nanti kamu pikirkan lagi, ya? Kalau salah satu dari kita nggak keterima, sepertinya sulit juga kalau harus pacaran jarak jauh."               Aku mengangguk pelan. Diam-diam kuembuskan napas lega. Di luar dugaanku, Anthony ternyata sangat baik. Dia tidak mendesakku untuk segera menjawab pertanyaannya.               "Jadi, ayo kita sama-sama berusaha. Semangat!"               "Semangat!" Kusunggingkan senyum cerahku yang terbaik.               Dia tampak tertegun beberapa saat, sebelum akhirnya tersenyum. Matanya mengecil membentuk seperti bulan sabit. Tanda menyunggingkan senyum sungguh-sungguh.               Baru saja aku mau pulang, aku bertemu Viria. Dia tidak sendiri, ada David di sebelahnya. Lho, sepertinya ada yang lain dengan mereka berdua.               Viria melihatku, lalu buru-buru menarik tanganku menjauh. "Nanti gue cerita. Gue baru jadian sama David."               "Hah?"               Viria tidak sempat bercerita karena David sudah mendekati kami. "Kalian ngobrol apa, sih? Pakai sembunyi-sembunyi segala?"               "Nggak ada kok," kataku dan Viria berbarengan. Kami saling pandang, lalu tertawa bersamaan.               David mencubit pelan tangan Viria. "Mulai main rahasia-rahasiaan, ya? Ayo pulang?"               Viria mengangguk-angguk dengan semangat, anting-anting panjangnya bergoyang-goyang seiring dengan gerakan kepalanya. "Ayo! Nanti gue telepon, ya Lice?"               Aku mengacungkan jempol tangan kananku sambil berseru, "Sip! Jangan lupa traktirannya. Gue tunggu lho!"               David balas mengacungkan jempol ke arahku dengan tawa lebar penuh kemenangan. "Tenang, gue traktir ntar. Dahh, Alice." Dia berbalik sambil merangkul bahu Viria. Viria melambai, berlalu dalam rangkulan David.               Tinggal aku yang menatap punggung David dan Viria yang semakin menjauh. Tanpa sadar, aku menghela napas dalam. Satu persoalan selesai dengan sendirinya. Tanpa perlu kukatakan mengenai perasaan Joseph pada Viria. Ternyata Viria sudah menemukan cintanya. Syukurlah!               Entah perasaan Viria pada Joseph hanya kekaguman atau memang perasaan itu mudah berubah, aku sendiri juga tidak mengerti. Membuatku kembali termenung.               Apa aku lebih baik menerima Anthony? Bisakah aku belajar menyayangi Anthony? Mungkinkah dengan menerima Anthony, aku bisa melupakan perasaanku pada Joseph?               Minggu-minggu Ujian Akhir Nasional akhirnya tiba juga. Proses penerimaan di UNSW sudah ada konfirmasi kalau aku diterima. Dengan catatan, aku harus lulus ujian akhir tentunya. Anthony juga diterima. Pada acara perpisahan, diumumkan kalau Anthony juara sekolah dengan nilai tertinggi. Aku nomor dua. Papa dan Mama bangga sekali padaku. Joseph, khusus pulang ke Bandung untuk menghadiri acara wisudaku, ikut bertepuk tangan dan berdiri waktu namaku dipanggil sebagai juara dua.               Di atas panggung, Anthony menyalamiku. Di tengah gelembung-gelembung kebahagiaan yang bermunculan di hatiku, Anthony berbisik, "Sekarang kamu bisa mikir lagi, karena aku masih nunggu jawaban kamu."               Aku terdiam beberapa saat. Kupaksakan diriku mengangguk kecil. Tidak ada lagi pembicaraan selanjutnya karena kami harus bersalaman dengan kepala sekolah dan wali kelas, juga guru-guru kami. Mereka tampak bangga, juga senang karena kami bisa berprestasi. Sebenarnya Anthony juga diterima di perguruan tinggi negeri terkenal di Bandung. Tapi Anthony sepertinya akan melepas itu, ya dia memilih kuliah di Sydney bersamaku.               Sedikit banyak, ada rasa tidak enak dalam hatiku. Memang kalau aku menolak Anthony, itu hakku. Tapi dia begitu baik, begitu pintar, begitu pantas, aku tahu yang menyukainya juga banyak. Masalah hati memang pelik. Bagaimana lagi kalau hatiku sudah memilih Joseph?               Begitu kami masuk ke mobil menuju ke rumah, Mama tidak henti-hentinya memujiku. "Anak Mama memang hebat! Mama bangga banget!"               "Lho, kok anak Mama aja? Anak Papa juga dong?" balas Papa tidak mau kalah.               "Iya iya, anak kita. Huuu, Papa nih, gitu aja protes," bantah Mama sambil mencubit sayang Papa.               Aku dan Joseph yang duduk di belakang mereka hanya bertukar senyum saja melihat kelakuan orangtua kami.               Belum sempat aku berkomentar, Mama sudah mencerocos lagi. "Nanti Alice ikut Joseph ke Sydney, kita pasti sepi deh, Pa."               "Ma, jangan gitu. Alice pasti sering-sering telepon kok. Janji!" Kupeluk bahu Mama dari belakang.               "Telepon kan nggak sama dengan ketemu langsung. Anak perempuan Mama bakal pergi jauh. Pa, Mama sedih deh. Gimana kalau ada apa-apa, sakit, atau kangen Mama? Mama kan nggak bisa di samping Alice." Papa menepuk-nepuk tangan Mama. "Yah, namanya juga jadi orangtua, Ma. Ya, begitu itu risikonya. Toh, Alice kan di sana sama Joe. Jadi nggak sendirianlah, Ma."               "Iya, Ma. Mama tenang aja. Ada Joe, kok. Lagipula Alice kan bukan anak kecil lagi," ujar Joseph mendukung kata-kata Papa.              Mama menghela napas panjang. Lalu tiba-tiba Mama berbalik dan menatap Joseph. "Joe, kapan kamu nikah? Kok belum pernah kenalin pacar kamu sama Mama Papa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD