11

1333 Words
Drew POV "Drew." Suara Mom memanggilku pelan. Seolah takut membangunkan wanita yang kini tertidur pulas dengan selang infus ditangannya. Aku berdiri dan mengajak Mom untuk berbicara diluar. Aku takut jika Gior bangun dan kembali histeris seperti kemarin. "Kami akan pulang karena dokter sudah memperbolehkan Aiden pulang. Kau akan mengantar Aiden atau menunggu Gior?" Aku mendesah, "Aku akan menunggu Gior sadar. Seseorang akan datang menjemput kalian, Mom." Mom mengangguk beberapa saat kemudian dia memelukku erat seperti tidak ingin terlepas. Aku balas memeluknya. Memberikan tumpuan agar dia tidak terjatuh. Beberapa saat kemudian aku mendengar suara isak tangis pilu yang muncul. "Mom... maafkan aku," lirihku. Tak kalah lirih dengan suara isakan yang dikeluarkannya. "Kenapa, Drew? Kenapa kau bersikap seperti itu pada Gior?" tanyanya di sela-sela isak tangis. Faktanya, aku tahu dia sangat kecewa terhadap sikapku kemarin. Aku akui sikapku memang keterlaluan. Membuat Gior menangis bahkan histeris hingga nyaris membahayakan nyawanya. Melemparkan gelas adalah bagian terparah. Ya, aku sangat sangat menyesal dengan sikapku kemarin. "Aku... tidak tahu, Mom. Aku begitu marah dan-" ucapanku terpotong begitu saja oleh Mom yang kembali berbicara panjang lebar. "Aku tak pernah mendidikmu melampiaskan kemarahan kepada seorang wanita. Lalu, apa yang kau lakukan padanya? Ini bukan kali pertama aku mendengar kau membentak Gior, Drew. Jika kau tak mencintainya, jangan mengajaknya bercinta atau bahkan tinggal bersama karena yang kau lakukan hanya membentak dan Memberikan amarah padanya," kata Mom dengan penekanan. Sejujurnya ini diluar kuasaku. Aku tak tahu jika Mom akan ikut campur pada kehidupanku saat ini. "Aku mencintainya," jawabku tegas. Menuduhku tidak mencintai Gior? Aku bahkan sangat mencintainya! Hanya saja aku takut, begitu takut untuk kehilangan Gior. Salahkah aku jika bersikap over protective kepada Gior? Aku tak ingin membuatnya terluka ataupun tergores dari dunia di luar sana. Melindunginya dari pada pencari berita yang hingga saat ini masih mencari-cari sosok Gior. Bahkan skandal video itu masih dibahas oleh beberapa media. Meskipun mereka menambahkan kata 'diduga' didepan nama Gyorintt Aiden. Dan tugasku adalah membersihkan nama gadisku dari liputan media. Aku tak bermaksud mengurungnya di rumah. Tetapi hukum masyarakat Amerika sangat menyakitkan. Pergunjingan yang dilakukan terang-terangan kepada para model atau pun aktris yang memiliki skandal seperti ini. Bukan salahku yang tak membiarkannya memiliki ponsel. Dia akan merasa sakit hati jika membaca komentar dari orang-orang yang mengatakan jika dirinya jalang atau bahkan menanyakan berapa biaya sewa permalam tubuh indah itu. Aku hanya melindungi gadisku. ∞∞∞ Aku kembali masuk ke dalam kamar. Betapa terkejutnya ketika melihat Gior sedang duduk sambil memeluk lututnya sendiri. Pandangannya kosong ke depan. Bahkan dia tidak melirik kearahku sama sekali. "Gior?" Dia diam. "Gyorintt?" Dia masih tetap diam dan berada pada posisi yang sama. Meringkuk sambil memeluk lututnya. Aku berjalan mendekati ranjang tempat dimana gadisku duduk. Lagi-lagi dia tak melirik ke arahku. Sedikit pun tidak. Dia melamun? "Gior?" Aku mengibaskan tangan tepat di depan wajahnya. Namun dia masih tak bergerak atau pun bicara. Tidak, ini sudah tidak benar! Aku menekan tombol yang berada dikepala ranjang Gior. Tak sampai dua menit, seorang dokter dan dua perawat masuk ke dalam ruangan. Beberapa kali dokter itu menghela nafasnya saat memeriksa Gior. Beberapa kali juga dua perawat itu mencoba membaringkan Gior namun selalu ditepis sambil berkata, "Jangan sentuh aku." Sejujurnya aku merasa geram dengan sikap Gior yang seperti ini. Biasanya aku akan membentak atau memarahi sikapnya yang kekanakan. Tapi sekarang ... "Sudah aku bilang, jangan sentuh aku!" teriaknya kembali pada dua orang perawat yang berhasil memegangi kedua lengannya. Sedangkan aku berdiri di sudut ruangan karena tak diizinkan untuk mendekat. Gior terus meronta sambil berteriak. Terus berteriak dan menangis hingga membuat hatiku ngilu tak terhingga. Sesaat aku ingin menangis melihat tubuh ringkih itu. Tubuh yang dulunya menjadi idaman semua laki-laki sekarang nyaris tak berisi. Bahkan aku tak pernah menyadarinya. Sedalam itukah aku menyakiti Gior hingga dia menangis dan berteriak pilu seperti itu? Aku pernah membaca jika di saat seperti ini dokter akan menyuntikkan obat penenang pada sang pasien. Namun apa yang dokter itu lakukan? Dia hanya diam sambil berusaha memegangi kedua kaki gadisku. Apa yang sebenarnya terjadi disini? "Berhenti! Apa yang kalian lakukan? Jangan sentuh anakku!" teriaknya sekali lagi yang membuatku meneteskan air mata secara tiba-tiba. Anakku. Anak kami. Itukah alasan Gior berteriak dan memaki dokter dan para perawat disini? Ini semua salahku. Salahku. "Tuan! Jangan mendekat ini sangat berbahaya," perintah sang dokter saat aku berlari mendekat. Tapi aku tak mengindahkan peringatan tersebut. Yang aku lakukan hanya berlari dan menyingkirkan semua orang. Aku mendekat Gior yang masih histeris. Dia terus meneriaki hal yang sama agar tidak menyentuh anaknya. Namun aku terus mendekapnya erat berharap agar Gior segera tenang. "Ini aku Drew! Tenanglah. Aku mencintaimu, tidak ada yang akan menyakiti anak kita." Namun dia terus berteriak. Aku frustasi sejujurnya. Bagaimana bisa aku membuat seorang Gior berubah menjadi seperti ini? Perlahan Gior mulai tenang. Kutangkup kedua pipinya. Dia terpejam. Wajahnya merah dan air mata itu masih terus mengalir. Sial. Aku ikut menangis dalam diam. Menempelkan kedua dahi kami dan menangis bersamaan. Harus aku akui jika Giorlah kelemahanku. Hanya bersama Gior aku bisa melakukan hal bodoh semacam ini. Tak lama kemudian, sekujur tubuh Gior melemah. Ketegangan didalam tubuhnya perlahan menghilang. Aku menyingkir dan membiarkan dokter memeriksa Gior untuk sementara waktu. "Tuan, anda berdarah ... " ujar salah seorang perawat sambil menutup mulutnya kaget. Ya, aku juga baru menyadari ketika rasa perih itu datang. ∞∞∞ "Nona Aiden mengalami depresi dan ketakutan yang berlebihan." Apa? "Sebetulnya depresi sering terjadi pada seorang ibu hamil. Namun yang dialami Nona Aiden terlalu awal karena biasanya depresi akan dialami jelang masa kelahiran. Dan juga, maaf jika saya harus mengatakan hal ini, Tuan." Aku mengangguk sebagai tanda agar dokter ini segera melanjutkan ceritanya. "Depresi yang dialami Nona Aiden menunjukkan tanda-tanda pada gangguan mental." "Apa?" Dokter itu mengangguk mengiyakan pernyataannya. Gangguan mental? Apa maksudnya gangguan jiwa? "Lalu apa yang harus saya lakukan, Dok?" tanyaku pelan. Mencoba menemukan suaraku, namun sedikit yang tersisa disana. "Jangan memberikan tekanan terus menerus pada kekasih anda, Tuan. Karena saat ini Nona Aiden sedang berada didalam tekanan dan rasa bersalah yang sangat besar," jelas dokter Gerald. Aku mencoba menetralkan suaraku dan kembali bertanya, "Kami tinggal bersama kedua orang tua dan keponakan. Apakah ini akan membahayakan?" tanyaku dengan hati-hati. Menjaga kekhawatiranku pada tempatnya. Dokter itu berdeham keras sebelum menjawab, "Menurut saya tidak membahayakan selama Nona Aiden tidak merasa risih dengan keadaan sekitar. Maksud saya adalah Nona Aiden tidak boleh diganggu atau dia akan kembali mengamuk seperti yang anda lihat tadi. Ada baiknya jauhkan Nona Aiden dari orang-orang yang mungkin akan mengajaknya berinteraksi atau memungkinkan menempatkan dia dalam bahaya. Tinggal terpisah adalah solusi yang baik menurut saya. Jika anda mau saya akan mengirim satu perawat untuk membantu anda mengurus semua keperluan Nona Aiden. Atau solusi lain, Nona Aiden bisa dititipkan untuk sementara dalam ruang isolasi." "Tidak! Saya akan mengurus Nona Aiden di rumah," sanggahku cepat saat dokter itu menyebutkan ruang isolasi. Bagaimana bisa aku menempatkan Gior disana? ∞∞∞ Siang ini aku pulang lebih awal dari kantor karena entah kenapa aku merasa sangat merindukan Gior di rumah sakit. Dengan senyum mengembang dan percaya diri, aku memasuki ruangan di mana Gior dirawat. Sambil membawa satu buah boneka anjing setinggi satu setengah meter berwarna cokelat. "Bagaimana kabarmu, G?" Aku mengecup dahinya sekilas. Dia tidak bereaksi seperti biasanya. Namun kata dokter keadaan Gior sudah membaik dan dalam mood yang sangat baik. Entah karena apa. Aku menempatkan diri tepat di sebelahnya. Dia bergerak dan menyandarkan diri pada bahuku. Awalnya aku tersentak. Namun segera kuenyahkan semua rasa kagetku saat ingat dokter mengatakan hal tersebut beberapa hari yang lalu. "Nona Aiden mungkin akan sedikit manja karena bawaan janin. Saya harap anda tidak memberi reaksi yang berlebihan. Bersikap biasa, anggap saja Nona Aiden sudah sangat akrab." Kami berdua duduk dalam diam. Sudah satu minggu seperti ini. Dokter bilang Gior belum boleh pulang karena pola makannya yang masih belum teratur. Terkadang menerima kadang juga menolak. "Kau merindukanku?" tanyaku memecah keheningan. Walaupun aku sudah tahu jawabannya. Dia tak akan pernah menjawab. Aku mengambil boneka anjing besar itu dan meletakkannya tepat di depan kami. "Kau bisa memeluknya saat merindukanku. Dia anjing yang baik sama seperti Joo dan Coo." Sekarang matanya berkedip beberapa kali. Ada kilatan binar yang muncul di sana. Setidaknya hal ini bisa membuatku menjadi tenang, dimana keadaan Gior sudah mulai membaik. "Kau bisa memanggil anjing itu dengan nama Drew. Sama denganku, orang yang mencintaimu." Aku mengecup bibirnya. Dan memindahkan boneka anjing itu ke dalam pangkuannya. Dia bereaksi dan langsung memeluk boneka anjing itu. "Aku mencintaimu, G. Selalu." Maafkan aku, G. ∞∞∞
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD