“Drew,” panggilku pada pria yang memandangiku sedari tadi.
Drew diam, pria itu justru menatapku semakin intens. Bukannya malah tergoda, yang aku lakukan saat ini adalah memukul kepalanya. Dan seperti biasa, pria itu tak memiliki kesiapan yang cukup untuk mengelak dari pukulanku.
Sekali lagi, aku menang melawannya—suami pintarku.
Aku terkekeh saat pria itu meringis sambil memegangi kepalanya. Bukannya aku tak merasa kasihan. Tapi, Drew biasanya lebih kejam dalam melakukan pembalasan sehingga mampu membuatku menjerit-jerit tak karuan.
Apa lagi yang akan dia lakukan kalau bukan menggelitik bagian perutku. Sesungguhnya, itu bagian paling sensitif yang pernah kumiliki.
“Astaga, Drew!” pekikku keras. “Berhentilah menggelitikiku atau anak kita akan lahir sebelum waktunya!”
Drew berhenti sekejap. “Kau tahu, tidak ada bayi yang akan lahir hanya karena ibunya mendapatkan sedikit rangsangan pada bagian perut.”
“Itu konyol.” Dia terkekeh. “Tapi sungguh, kau akan membuatku keram jika terus melakukannya. Jika kau lupa, aku sudah mengandung anakmu selama tiga puluh tujuh minggu. Tidakkah seharusnya kau memperlakukanku seperti wanita normal?”
“Wanita normal macam apa?” Tanya Drew tak terima. “Gyorintt Aiden bukan golongan wanita normal. Aku tak bisa membiarkan seseorang menganggapmu wanita normal, Gior. Kau seorang bidadari, ibu peri, dan timun suri.”
Mataku menyipit dan tanganku berlomba untuk mencari perut berototnya dan menembakkan cubitan tanpa ampun. “Aku tak mengerti apa yang terjadi denganmu, Drew. Tapi, itu benar-benar tidak lucu.”
Drew menghindar. Pria itu memberikanku seringaian licik ketika berhasil bangun dari tempat tidur tanpa harus menerima cubitan. Hal itu cukup membuatku geram dan langsung membuat gerakan bangkit tiba-tiba.
Sialnya, aku gagal.
“Astaga,” kataku seraya memegangi perut.
“Kau mencoba menipuku, Gior. Aku tahu betapa liciknya dirimu.”
Aku menggeleng cepat. “Apa kau mendengar jika baru saja ada sesuatu berbunyi? Seperti suara terkoyak.”
“Jangan bercanda,” ingatnya yang langsung menampilkan wajah panik. “Okay, okay, katakan apa kau merasakan sesuatu yang aneh?” Drew mendekat ke arah kasur dan memeriksa keadaanku.
Mau tak mau, aku kembali memanfaatkan kesempatan dengan mencubiti tubuhnya hingga Drew berteriak. Kukira beberapa kali kuku runcingku tertancap pada tubuhnya.
Anehnya, Drew selalu tertipu dengan trik konyol yang kuberikan. Meskipun di luar nalar, Drew yang pintar akan selalu berlaku bodoh ketika berhubungan dengan cerita mengada-ada milikku.
Seperti saat ini. Dia kembali termakan oleh tipuan.
“Astaga!!!” Drew memekik. “Gior kau ini gila atau apa? Bagaimana bisa kau berubah menjadi singa di saat-saat sedang hamil tua? Tidak, mungkin kau bukan singa. Maksudku, kau lebih brutal dari pada seekor singa betina genit.”
“Well, kau sudah tahu ketika kau menikahiku.”
“Nah. Aku sedikit menyesal.”
Aku mengumpat berkali-kali. Drew balas mendelik padaku sambil meraih kaos yang terletak di atas kursi. Kemudian, dia mengenakannya sebelum akhirnya keluar melangkah menuju pintu.
Tiba-tiba saja, aku merasa air deras yang mengalir s**********n. Awalnya, kukira aku buang air kecil.
Kalau saja aku tak hamil, mungkin aku tak akan ingat.
“Drew?” panggilku yang membuat pria itu langsung berbalik.
Mengingat dia agaknya kurang setuju dengan kehamilan ini, ada baiknya aku berhati-hati. “Kau tahu, kukira aku baru saja mengeluarkan air yang banyak.”
Pria itu menatapku bingung. “Maksudmu semacam buang air kecil atau keringat?”
“Mungkin,” aku menatap tak yakin padanya sebelum melanjutkan. “Air ketubannya pecah.”
Saat itulah kulihat matanya melebar sangat besar, benar-benar besar tanpa kacamatanya. Drew bergegas melangkah ke arahku dan menyibak selimut dengan cepat. Matanya menjadi lebih besar lagi saat melihat air bercampur darah telah menyebar di atas seprai.
Waktu terasa berhenti saat Drew tak henti-hentinya menatap ke arah darah tersebut dengan nanar. Meskipun kenyataannya aku tak kalah panik, Drew yang lebih luar biasa bodoh. Aku hanya mencoba membuatnya lebih tenang, tapi pria itu benar-benar di luar dari ekspektasi. Dia hanya diam, tak ada respon lebih.
Tenang, Gior, bisikku di dalam hati.
“Drew, bukankah kau harus membawaku ke rumah sakit?” Drew berbalik menatapku, akhirnya aku melihat kilat mata paniknya.
Perlahan Drew mundur dan menghembuskan napas pelan. “Okay, jadi kita ke rumah sakit?”
Tidak, bodoh.
“Ya, kita harus ke sana,” kataku pelan nyaris berupa bisikan. “Jangan panik, Drew, aku tidak apa-apa.”
Dia menggeleng dan memutari ranjang. “Aku tidak terlalu panik, Hon. Hanya saja … kau tahu kalau kita belum menyiapkan pakaian yang akan dibawa ke rumah sakit dan ini membingungkan ketika kau melahirkan di saat yang tidak tepat.”
“Apa kau merasa sakit?” tanyanya seraya menarikku ke dalam dekapannya.
Aku menggeleng. “Sebenarnya, aku tidak merasa sakit. Hanya saja, aku sedikit terkejut dengan air ketuban yang mengalir deras. Rasanya seperti buang air kecil yang dahsyat.”
“Kukira kita sedang dalam mode serius.” Wajahnya berubah menjadi datar. “Sialan.”
“Berhentilah bersikap b******k dan terus mengumpat, Drew. Thomas sebentar lagi akan lahir dan aku tak ingin dia berubah menjadi b******n sepertimu. Maksudku, setidaknya jangan mengumpat di saat-saat yang tidak sesuai.”
Perlahan, kukira kami merasa sedikit kendur. Drew melupakan kepanikannya karena sejak mengangkatku hingga masuk ke dalam mobil, kami terus membicarakan hal-hal yang tidak penting.
Drew yang b******k sebentar lagi akan memiliki anak.
Sebuah fakta baru yang harus bumi terima.
“Bagaimana kabar Smart?” tanyaku lagi saat dia mulai menjalankan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.
“Sungguh kau tidak merasa sakit?” balasnya saat mendapati aku masih menanyakan pertanyaan bodoh. “Kau sama sekali tidak panik dan kesakitan.”
Aku juga berpikir demikian. Tapi sungguh, mungkin rasa sakitku hilang karena sugesti yang kuberikan untuk Drew. Dalam hati aku hanya berkata, aku tak ingin Drew panik. Semua akan menjadi buruk kalau dia panik.
∞∞∞
Aku mengintip ketika matahari mulai tenggelam. Cahaya kemerahan menembus tirai tipis yang ada di dalam ruangan ini. Sesaat aku merasakan dingin yang tak terkira dan membuat kakiku kram. Bahkan mataku terlalu sulit untuk dibuka karena terlalu berat.
Tapi, aku merasakan tanganku digenggam. Meski belum bisa membuka mata secara lebar, aku tahu jika dia adalah Drew. Cincin pernikahan kami yang membuatku langsung mengingat siapa pemilik tangan tersebut—ukiran lembut yang membentuk tiga cabang.
“Drew,” bisikku dengan suara serak. “Mataku sulit terbuka.”
“Sabar, G,” balasnya dengan suara parau yang sulit kukenali. Namun, aku sangat yakin jika dia adalah suamiku.
“Kau menangis?” Mataku langsung membulat tiba-tiba. “Astaga, Drew. Jangan panik, aku tidak merasa sakit.”
“Aku tahu.”
“Jadi kenapa masih menangis?” tanyaku lagi. Kali ini dengan suara yang sama. Aku takut jika terjadi sesuatu selama aku tidur.
“Aku hanya merasa senang karena kau telah menjalani operasi dengan lancar.”
“Apa?” Jantungku tiba-tiba terasa seperti melompat. “Aku sudah melahirkan?”
Drew menatapku bingung sekilas sebelum akhirnya mengangguk cepat. “Ya, kau baru saja selesai menjalani operasi beberapa jam yang lalu.”
Perlahan aku menatap perutku sendiri dan menyadari jika tidak ada lagi benjolan besar pembukus bayi tersebut. “Tapi bagaimana? Bagaimana kalau aku tidak tahu kalau sebenarnya aku sudah melahirkan? Maksudku, tidak ada rasanya.”
“Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya, Gior. Semuanya terjadi begitu saja. Kepanikan berawal saat kau pingsan di mobil, lalu kemudian kita sampai di rumah sakit. Tak butuh waktu lama, mereka langsung menjadwalkan operasi.”
“Kau panik?”
Pria itu menggeleng. “Aku sudah mengikuti prenatal class bersamamu. Seorang calon ayah siaga tidak akan panik dengan mudah. Kau tahu, bukan hanya calon ibu yang diajarkan bagaimana caranya bernapas dengan baik saat melahirkan, kami juga.”
Dalam hati aku terkikik mendengar penjelasan Drew.
Beberapa bulan yang lalu, aku dan Drew mulai aktif mengikuti prenatal class atau kelas yang diikuti menjelang kelahiran. Kelas yang diisi oleh yoga hingga latihan pernapasan tersebut juga menyertakan sang calon ayah.
Sejujurnya, aku tidak pernah menyangka Drew mengingat setiap detail yang dijelaskan oleh instruktur. Kukira selama masa aktif prenatal class, Drew hanya datang lima sampai enam kali pertemuan. Sisanya, aku hanya pergi sendiri karena Drew sibuk dengan urusan Smart.
“Kau ternyata benar-benar pintar, aku tidak menyangka.”
Dia mendelik seraya menggiring jarinya melewati rambut. “Tentu saja. Aku Andrew Smart, semua orang tahu kalau genetik kami sangat bagus. Beruntungnya dirimu memiliki aku, G.”
“b******n bodoh.”
“Hanya di hadapanmu.”
Sedetik kemudian, aku menyadari sesuatu yang amat sangat penting.
“Di mana anak kita?”
“Dia di sana,” tunjuk Drew pada tempat tidur kecil tak jauh dari kami. “Kau mau aku mengambilnya?”
“Tentu.”
Perlahan, Drew melepaskan genggaman tangannya. Saat berbalik, aku bisa melihat dia mengelap mata dengan kaos yang dipakainya. Hal itu membuatku menghangat seketika. Ditambah lagi, Drew dengan mantap mengangkat Thomas ke dalam gendongannya.
“Namanya Thomas, kan?” tanyaku memastikan.Aku takut jika prediksi yang dokter berikan salah dan ternyata kami memiliki bayi perempuan.
Rasanya sedikit ambigu ketika bayi perempuan kami bernama Thomas.
Atau Thomasia.
“Thomas Gideon Smart,” jawab Drew dengan mantap.
Dahiku mengkerut memikirkan nama tersebut. Sebelumnya, kami belum pernah memikirkan ataupun menyinggung masalah ‘Gideon’ yang ada di sana.
Drew menyerahkan Thomas padaku, aku sedikit curiga dari mana dia bisa tahu cara menggendong bayi dengan benar. Prenatal class yang kami datangi benar-benar berguna.
“Nama Gideon berasal dari n****+ yang pernah kau baca. Aku tak sengaja melihat nama tersebut dan langsung menyukainya,” jelasnya saat raut bingung masih melekat di wajahku.
Aku mengangguk paham lalu memperhatikan wajah bayi kami. Dia memiliki hidung dan bibir mirip seperti Drew. Bola matanya yang benar-benar membuatku penasaran. Mata Thomas terpejam sehingga aku tak bisa melihat warna retina pada matanya.
“Well, aku harus berterima kasih pada Sylvia Day karena nama Gideonnya. Dan, aku harus berterima kasih padamu karena bayi kita tampan. Sepertimu.”
“Ya.” Suamiku ikut memperhatikan Thomas yang terlelap di dalam gendonganku. “Sayang sekali, dia sepertinya tidak mewarisi wajahmu sama sekali. Dan, aku juga tidak berharap dia memiliki sifatmu.”
Aku cemberut seketika. Tanpa sengaja aku mencetuskan ide gila yang membuatnya seperti terbakar.
“Ayo kita membuat anak lagi. Kali ini harus mirip denganku.”
Saat itulah Drew langsung menyentil telingaku keras sambil berkata, “Aku setuju dengan proses membuat anak terus-terusan. Tapi untuk memiliki satu lagi, aku belum ingin. Sungguh. Kau harus tahu kalau aku nyaris botak ketika melihatmu melahirkan.”
Well, prenatal class ternyata tidak begitu berhasil.
∞∞∞