Kepekaan seseorang

2072 Words
Juan tidak bisa beraktivitas normal karena Raisa belum pulang, yang mana membuatnya terus menunggu di sofa. Dan sialnya, apa yang dia khawatirkan itu menular pada Kenzo. Anak itu ikut bertanya tanya, “Mana ya Tante? Kok lama?” Padahal ini baru pukul delapan, Raisa baru berangkat dua jam yang lalu. Harusnya di saat seperti ini, Juan menghabiskan waktunya untuk bekerja dan menyelesaikan beberapa urusan. Namun dia malah diam sambil menonton televise dengan pikiran yang melayang. “Pah?” “Kan tadi berangkat, Kenzo emang gak liat?” “Ih liat, tapi lama amat. Kenzo mau bobo.” “Kan kata Tante juga tadi harus tidur duluan, Tantenya pulangnya malam.” Kenzo mengerucutkan bibirnya. “Gak ngantuk.” Dan kerewelan Kenzo itu malah membuat Juan semakin pusing. Karena sekarang anaknya naik ke pangkuan Juan kemudian memeluknya dengan erat. “Papa…” Menghela napasnya dalam. “Mau apa?” “Bosen, mau bobo tapi gak mau bobo.” Juan menggendong sang anak dan membawanya ke dalam kamar. Menepuk patat Kenzo berulang kali kemudian menidurkannya di atas ranjang. “Ngantuk kan? Ayok Papa tidurin.” Kenzo mengerutkan keningnya, dia tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh papanya. Jadi hal itu membuat Kenzo berontak dan malah hendak turun dari ranjang. Namun tubuh besar Juan menghimpitnya hingga anak itu kembali berbaring di atas ranjang kemudian dipeluk hingga terkurung oleh tangan Juan. “Ihh Papa.” “Udah tidur, katanya ngantuk.” Karena jika Kenzo malah membuat kekhawatirannya bertambah, Juan tidak bisa mengontrol diri. Anak itu menghembuskan napas berat dan memejamkan mata, tapi bulu matanya terus saja bergerak. “Tidur, bukan pura pura tidur.” “Ih orang gak bisa.” karena Kenzo terbiasa ditidurkan oleh pengasuh pengasuhnya. Papanya terlalu sibuk sebelumnya. “Mau jalan jalan aja yuk. Siapa tau ketemu Tante Ica.” Kalimat yang dikatakan Kenzo itu memberikan Juan ide. Namun untuk menutupinya, Juan berdehem dan berkata, “Jalan jalan aja yuk, jangan nyari Tante Ica. Kan dia lagi sama temen temennya.” Padahal ada niatan Juan untuk pergi ke café tempat Raisa berada sekarang. Sayangnya Juan tidak tahu, jadi dia harus stalking dulu pada i********: Arum yang merupakan pemilik café. “Sana pake jaket, siap siap ya. papa juga mau.” Memanfaatkan moment untuk mencarinya. Juan memiliki i********: yang isinya hasil foto foto aestetik. Pria itu memiliki hobby memotret dan tidak ada yang tau kalau tukang foto pada pemandangan bagus itu adalah sang dekan fakultas hukum. “Papa ayok!” “Bentar.” Senyuman Juan mengembang ketika dia mendapatkan alamat tersebut. langsung keluar dan menggendong sang anak. “Kenzo mau kemana emangnya?” “Kenzo gak papa kan bobonya malem?” “Gak papa, kan besok kita ke Bandung. Ketemu sama Eyang. Seneng gak?” Mengangguk antusias. Mana mungkin tidak senang, apalagi orang orang di kota itu selalu memanjakannya. “Jadi Kenzo mau kemana?” “Mau jajan ice cream. Mau ke mall.” “Jangan ke mall lah. Kita cari tempat yang rame aja gimana? Café misalnya?” Kenzo mengangguk dan mengatakan. “Gak papa ayok. Tante Ica juga di café ya, Pa? nanti kalau ketemu, mau Kenzo peluk ah.” Senyuman Juan seketika luntur. Kalau mereka datang ke sana dan bertemu, kemudian anaknya dilihat oleh anak anak kampus…. Tidak tidak, Juan lebih senang kehidupan privacy nya terlindungi. Jadi, mungkin hanya memata matai dari luar café saja. *** Pembukaan café itu didatangi oleh orang orang terdekat dan para pelanggan. Dengan menyediakan live music dan juga makanan yang diskon. Untuk orang orang yang diundang, mereka memiliki aula khusus dengan makanan prasmanan berjajar di sana. Tempatnya outdoor, menyatu dengan alam hingga membuat Raisa merasa begitu segar merasakannya. Dia duduk sambil meminum mojito miliknya, mendengarkan Live music sambil sesekali mengedarkan pandangannya. “Ca! bantuin gue kalau lu gak ada kerjaan.” Raisa memutar bola matanya malas, baru saja dia duduk dan menikmati kesendiriannya. Karena sedari tadi, dia membantu Arum menyambut orang orang yang datang. “Ngapain lagi?” “Bantuin gue gorengin kentang. Banyak banget pelanggan. Gue gak nyangka bakalan sebanayak ini.” “Gue males,” ucapnya hendak menyandarkan kepala paha tiang. Namun Arum lebih dulu mendekat dan menarik tangan Raisa, memaksanya masuk ke dapur dan membantu untuk menggoreng kentang. “Makanya, karyawannya yang banyak.” “Gue gak tau bakalan sebanyak ini, dodol,” ucap Arum kesal. Untungnya dari bagian dapur, mereka masih bisa mendengarkan live music. Hingga sebuah suara yang tidak asing bagi Raisa, apalagi ada yang mengatakan dengan lantang dari microphone, “Kali ini ada seseorang yang special yang bakalan nyanyi buat kita. Si pangeran fakultas teknik. Mas Mahen! Tepuk tangannya dong.” Hal itu berhasil membuat Raisa berhenti menggoreng dan mematung ketika mendengar lagu yang terlantun oleh pria kelahiran Medan tersebut. raisa baru tersadarkan oleh teriakan, “Raisa! Itu nanti kentangnya gosong!” Arum terlihat emosi. “Lu undang Mahen juga ke sini?” “Kagak, tapikan penyanyi live music gue temennya si Mahen, kayaknya dia yang ngajak.” “Cih.” Raisa malas jika sudah seperti ini. “Lagian emangnya kenapa? kalian kan udah mantanan.” “Itu masalahnya, dia mantan gue yang paling gue benci.” “Yang paling lu benci atau masih lu cinta?” tanya Arum menggoda. “Lu masih stalking dia kan? Kayaknya dia udah putus deh sama pacarnya yang dari fakultas kedokteran itu.” “Iya?” tanya Raisa dengan mata yang antusias. Ketika tatapannya beradu dengan Arum yang menyeringai, buru buru Raisa mengubah raut wajahnya. “Oh, bukan urusan gue.” “Gamon lu, kasian banget sih. padahal udah mau dua tahun ya kalian putus?” “Berisik ah. Nih udah beres. Gue mau nyari angin. Di sini bau minyak.” Dari dapur ke halaman depan café harus melewati halaman belakang yang dipenuhi pelanggan, juga Mahen yang sedang bernyanyi. Raisa enggan menatap mantannya itu, dia tetap berjalan sampai akhirnya bisa berada di halaman depan yang lebih sepi. Mengambil duduk di dekat kolam ikan dan meminum soda yang tadi dia ambil dari dalam kulkas. Sayangnya dari arah sana, Raisa masih bisa mendengar nyanyian Mahen. Dia agak tidak suka. “Akhirnya berhenti nyanyi juga tuh orang,” ucap Raisa merasa tenang. Dia akhirnya tidak mendengar lagi lagu yang selalu mantannya nyanyikan untuk dirinya. Namun, sekarang malah lebih mengerikan. Karena Raisa merasakan seseorang yang berdiri di sampingnya. Ketika Raisa menoleh, dia kaget itu adalah Mahen. “Boleh duduk di sini gak?” “Hah?” “Di dalem banyak orang, jadi mau di sini aja.” Raisa tersenyum kaku dan menggeser tubuhnya. Matanya focus pada mobil yang lewat di depan. Karena pagarnya terbuat dari tumbuhan sebatas pinggang, jadi Raisa masih bisa melihat ke sana. “Ca?” Haduh, kuping Raisa sudah panas mendengarnya, dia ingin kabur saja! *** Dua kali Juan berputar ke jalan yang sama untuk melewati Café milik Arum. Sayangnya di sana terlihat ramai, bahkan parkirannya penuh. Jadi berdalih akan membeli ice cream dan makanan sejenisnya supaya sang anak tidak banyak bertanya. “Kok ke sini lagi sih?!” tanya Kenzo yang mulai bosan. “Kenzo, maakan ice cream nya yang betul ya. kan Papa udah bilang kalau Papa nyari toko buku. Sebelum pulang Papa mau beli buku itu.” “Kan bisa ke jalan lain, Pa.” “Mau pancake yang tadi ada di perempatan gak?” “Nggak ah.” Anaknya sedang memakan makanan yang tadi dibeli. Mereka hanya sebentar pergi ke alun alun dan segera masuk lagi ke mobil. Juan bukan tipikal orang yang menyukai keramaian, sebisa mungkin dia menghindarinya. Jika saja bukan karena Raisa, Juan tidak akan melakukan ini. mana sekarang jam sudah menunjukan pukul setengah sepuluh, pesan Juan tidak dibalas juga. “Kalau dia udah di apartemen, pasti ngirim pesan nanyain kemana Kenzo,” ucapnya begitu dikarenakan nomor Raisa aktif. “Papa bilang apa… Hoaammmm.” Anak itu menguap dengan lebar dan menatap sang Papa dengan manik berkaca kaca. “Mau pulang, Paaaa.” Kasihan dengan sang anak, akhirnya Juan mengangguk. “Sini ice creamnya dimpen di sini. kenzo duduknya yang enak.” Bahkan Juan membenarkan kursinya. “Nanti Papa pindahin kalau udah nyampe di apartemen.” “Mau bobo di kamar, gak mau di sini,” gumamnya sambil memejamkan mata. Harusnya Juan langsung pulang. Namun, sekali lagi dia memutar ke jalan yang sama. Penasaran apakah akan melihat Raisa atau tidak. Dan ketika dirinya melihat Raisa di sana sedang duduk dengan pria seumuran dengannya, Juan langsung kaget. Benar kan! Anak itu masih di sana. mana sekarang jam sudah larut. Dan dengan pria? Juan tidak bisa membiarkannya, dia memutar balik mobil dan berhenti di bahu jalan yang berlawanan dengan café, namun masih satu jalur dengan café tersebut hingga dari dalam mobil, Juan bisa melihat apa yang sedang dilakukan oleh Raisa. Perempuan itu tertawa dan terlihat malu malu di samping pria itu. menyebalkan! Untungnya sang anak sudah tidur, jadi dia tidak akan complain. Sedang mengintai, Juan malah dikagetkan dengan telpon yang masuk. Dia berdecak dan melihat kalau itu dari wakil dekan III bagian kemahasiswaan. “Mau apa di jam segini?” tanya Juan kesal. “Pacar bukan, kerjaan mulu.” Mendumal sejenak sebelum membenarkan letak kacamata dan mengangkatnya. “Hallo, bagaimana, Pak?” “Pak Juan, mohon maaf mengganggu waktunya. Saya ingin memberitahukan bahwa ada salah satu mahasiswa kita yang membuat masalah. Dia minum alcohol di fakultas ekonomi dengan mengajak maahasiswa ekonomi juga. Lembaga di sana menahannya dan akan memperkarakannya karena itu merupakan paksaan. Sekarang saya menuju ke kampus, di sana sudah banyak orang katanya.” Juan menarik napasnya dalam. Mahasiswa fakultas hukum melakukan pelanggaran? Sebagai dekan, tentu saja para mahasiswa itu ada di bawah tanggung jawabnya juga secara keseluruhan. “Kondisikan saja dan beritahu saja saya terkait kondisi berikutnya. Saya akan meminta teman saya untuk ke sana juga untuk membantu. Mohon maaf saya sedang berada di luar, ada urusan.” “Iya, Pak. Tidak apa apa. Saya hanya ingin menyampaikan itu karena takut akan menjadi masalah besar. Mohon maaf sekali lagi, Pak.” Ketika panggilan berakhir, Juan menatap ponselnya. “Gak dimaafkan buat mahasiswa yang mencoreng nama baik fakultas hukum.” Kemudian matanya kembali focus pada Raisa. “Eh, ngapain mereka?” tanya Juan kesal. Dia membersihkan kacamatanya untuk melihat lebih jelas lagi. *** Raisa mengobrol dengan Mahen dalam situasi terpaksa. Namun senang ketika Mahen tidak membahas perihal hubungan di masa lalu tentang mereka, hanya focus pada hal hal random tentang kehidupan. Namun itu yang membuat Raisa malah semakin merindukan pria yang pernah meninggalkannya ini. Sampai… “Itu ada laba laba di rambut kamu?” “Hah? Jangan bercanda deh,” ucap Raisa dengan tatapan yang kesal. “Nih liat aja.” Mahen mengambilnya kemudian memperlihatkan pada Raisa kalau dia tidak bohong. “Iyuh,” ucap Raisa jijik dengan laba laba kecil yang sudah mati di tangan mantannya. Tiba tiba saja… TIINNNN! Raisa dan Mahen sama sama kaget, mereka menoleh pada mobil yang ada di sebrang jalan yang melakukannya. “Kenapa sih itu?” gumam Mahen merasa terganggu. Berbeda dengan Raisa yang mengenal mobil tersebut, dia menelan salivanya kasar dan menarik napasnya dalam. Dia sadar akan apa yang dia hadapi, itu adalah Juan. “Um, aku pulang duluan ya. itu gocar pesenan aku,” ucap Raisa. Khawatir jika Juan ke sini dan melakukan hal bodoh. “Loh, ini acaranya belum selesai loh.” “Aku ada kerjaan di rumah. mau pamitan dulu sama Arum ya. bye.” Masuk ke dalam lagi, Raisa mendapatkan banyak pesan terror dari Juan yang menanyakan apa yang sedang dia lakukan. “Maaf banget, lu sendiri tau gue jadi pengasuh. Ini anaknya gak bisa gue tinggal, maunya sama gue mulu. Sorry ya, pokoknya lu ter the best deh.” “Hati hati di jalan, Ca!” teriak Arum. Raisa juga berpamitan pada teman temannya yang lain. Mengabaikan Mahen yang masih ada di sana, focus Raisa hanya pada mobil. Dia mengetuk kaca mobil pada sisi yang tidak bisa dilihat oleh Juan. “Pak! Saya tau ini bapak!” akhirnya Juan menurunkan kaca mobil. “Buka kuncinya, saya mau masuk.” “Di depan?” “Itu anaknya tidur.” Raisa menatap Kenzo yang tidur dengan penutup telinga. Juan akhirnya mengizinkan Raisa duduk di belakang, perempuan itu terlihat kesal. “Bapak ngapain ke sini? sejak kapan di sini?” “Ke sini kemana? Saya lagi jalan jalan sama Kenzo, terus berhenti dulu di sini. eh kamu tiba tiba datang.” “Halah, saya yakin kalau bapak sengaja berhenti buat mata matain saya kan?” Juan terkekeh mendengarnya. “Itu kamu peka. Tapi kenapa perihal perasaan saya, kamu gak peka Raisa?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD