Keluar Dari Kelas.

1112 Words
“Aw!” Alexa mengaduh karena spidol itu justru jatuh tepat mengenai keningnya. Ayu dan Putri merapatkan bibir menahan tawa sementara yang lain riuh menyoraki. “Kalian mau belajar atau cuma mau bergosip? Keluar saja dari kelas saya!” tukas Darren dengan nada dingin. Alexa, Putri dan Ayu pun saling pandang sambil tertunduk dalam. Alexa tak mau mengganggu sesi belajar orang lain, sadar dia sendiri hanya sedang ‘bermain-main’ menjalankan misi dan tidak benar-benar kuliah, maka dia pun mengalah keluar dari kelas. “Saya saja yang keluar, maaf, Pak!” ucapnya seraya membereskan bukunya lagi. “Zahwa!” Ayu menatap dengan rasa bersalah, merasa jika keributan barusan karena ulahnya dan Putri juga. “Nggak apa-apa,” bisik Alexa, dia lalu mengerling pada Putri. “Aku tunggu di luar, ya!” katanya. Putri tersenyum sambil mengangguk mengiyakan. Alexa berjalan melewati teman-temannya, beberapa di antaranya malah menggodanya. “Zahwa mau aku temenin nggak? Aku rela kok dihukum bareng kamu!” ujar salah satu dari cowok itu yang langsung disoraki teman-temannya. Alexa tersenyum geli menanggapinya, dia menoleh pada Darren yang mana lelaki itu malah menunduk seolah sedang memeriksa materi pelajarannya. “Awas kamu!” gumam Alexa menyipitkan matanya dengan kesal. Dia buru-buru memalingkan wajahnya ketika Darren menoleh ke arahnya. Alexa keluar dari kelas, bertepatan dengan itu datang seorang pria setengah baya yang merupakan rektor baru di sana, dan dia mengenali Alexa. “Nona!” Alexa kaget dan seketika berdesis meminta agar orang itu tak menyebut namanya. “Sstt!” desisnya sambil meletakkan telunjuk di bibir, serta wajahnya langsung panik. “Bapak jangan manggil saya begitu, nanti orang pada tahu, gimana?” bisiknya. Rektor baru itu tersenyum kikuk sambil garuk-garuk kepala, dia hanya reflek saja tadi karena jarang-jarang bisa bertemu muka dengan anggota keluarga Ryuzaki di hari-hari biasa. “Maaf, Bapak keceplosan!” katanya sambil mengangguk sopan. Merasa jika situasinya tidak akan bagus, ditambah rektor itu juga malah keki dan canggung untuk bersikap santai. Siapa yang tidak segan menghadapi anak dari pemilik universitas yang jadi ladang tempatnya bekerja itu. “Saya permisi dulu, Pak. Nanti kalau ada kabar lain, tolong kasih tahu saya, ya!” pinta Alexa sebelum kemudian pamit dari sana. Alexa bergegas pergi, dia menunggu Putri untuk membicarakan masalah ‘pekerjaan’ itu. Tak sabar untuk segera menciduk bersih semua kuman dan biangnya yang sudah membuat nama universitas mereka tercoreng. “Tapi, memang jelas, sih. Risih lihatnya!” gumamnya memperhatikan adanya beberapa mahasiswi yang memang berdandan berlebihan. “Paham mana yang kaya beneran, mana yang baru ngerasain banyak uang,” hembusnya lagi. Alexa menggeleng melihat tingkah para mahasiswi yang berkumpul membuat sirkel mereka sendiri, dengan gaya pakaian yang minim dan bertabur barang mewah. “Tapi demi misi, aku juga harus berdandan kayak mereka!” dengusnya pelan. “Zahwa!” Alexa menoleh, dia termangu melihat Putri yang melambai riang ke arahnya sambil berjalan tergesa-gesa menghampirinya. Otaknya bekerja lambat jika menyangkut nama samarannya sendiri. Sejenak dia menggeleng sambil mengumpat pelan. “Astaga, masih saja lemot kalau soal nama itu. Harusnya aku pake nama asli saja, toh nggak akan ada yang benar-benar mengenali aku di sini!” hembusnya pelan. Alexa cepat menarik senyuman riang di wajahnya sambil menunggu Putri tiba di hadapannya. “Kok keluar? Kena lempar spidol juga?” ujar Alexa terkekeh. Putri tergelak, “Kalau spidol tinta putih milik Pak Darren, sih, aku mau-mau saja!” katanya sambil tertawa renyah. Alis Alexa terangkat tinggi sebelum akhirnya dia tertawa juga dengan wajah merah padam tersipu sendiri, begitu tahu arti di balik kata-kata Putri itu. “Ih, vulgar bener!” dengusnya tertawa. Putri lalu menggandeng Alexa dan mengajaknya untuk berjalan bersama. “Aku kepikiran soal ibu kamu itu, Za. Kalau memang keadaannya genting, harus cepat-cepat operasi!” katanya. “Iya, tapi kamu tahu sendiri, darimana aku dapat uang sebanyak itu dalam waktu dekat!” keluh Alexa dengan nada sendu, dia melirik diam-diam pada Putri dan memperhatikan reaksinya. Putri tampak terdiam seolah sedang berpikir, dia lalu memutar tubuh menghadap Alexa. “Aku memang ada kerjaan, gajinya besar dan aku yakin dengan penampilan kamu, kamu bisa mendapatkan uang itu hanya dalam beberapa hari!” katanya sambil memegang kedua bahu Alexa. Alexa merasa jantungnya berdebar, sebentar lagi dia bisa mengungkap semuanya dan membersihkan nama baik kampus. Tapi dia tidak boleh terlalu antusias, dia harus memainkan perannya sebagai gadis miskin yang polos dan serba takut. “Ta-tapi … apa kerjaannya?” tanyanya. Putri termangu sebentar, “Heum, itu bisa aku jelaskan nanti, ya. Yang penting sekarang kamu harus segera mengobati ibu kamu dulu, Za!” ucapnya, “aku ada uang segitu, itu bisa kamu pakai dulu!” Alexa menggeleng, “Tapi itu uang kamu, pastinya kamu juga butuh uang itu, Put!” tolaknya, sedikit tarik-ulur. Putri tersenyum, “Nggak, aku masih ada tabungan sedikit dan sudah aku kirim ke kampung. Jadi itu tinggal cadangan biaya hidup aku di sini. Lagipula, dengan adanya pekerjaan itu, aku nggak perlu cemas lagi soal uang. Jadi aku yakin kamu juga pasti bisa mengubah keadaan kayak aku, Za!” tuturnya ceria. Alexa tertegun, sekilas dia melihat adanya ketulusan di sorot mata Putri, di balik sikap centil dan ketusnya. “Iya, makasih sebelumnya. Tapi–” “Nggak usah banyak tapi-tapian! Kalau memang kamu masih ragu soal kerjaan itu, nggak apa-apa. Sekarang yang penting kamu pake dulu uang aku buat biaya operasi ibu kamu, oke!” potong Putri, dia lalu menarik Alexa untuk mengikutinya. Alexa pun terpaksa menurut saja, yang mana rupanya Putri mengajaknya menuju ke kantor bank terdekat untuk menarik uang. “Nih, aku kasih tunai saja biar kamu nggak ribet!” ujarnya seraya meletakkan amplop coklat tebal ke tangan Alexa. Alexa tertegun diam melihat amplop itu, merasa sedikit sungkan dan bisa dibilang tersentuh dengan kebaikan Putri. Dia tahu uang itu bisa saja merupakan hasil dari pekerjaan rahasianya Putri, tapi di balik itu semua entah kenapa justru orang-orang seperti mereka lah yang lebih peduli pada masalah orang lain daripada orang yang hidupnya lurus. “Kenapa kamu mau-mau saja kasih uang ini sama aku, Put? Ini ‘kan hasil kerja keras kamu dan entah kapan aku bisa mengembalikannya!” ucap Alexa. Putri tersenyum sendu, “Nggak apa-apa, aku tahu gimana rasanya berada di situasi sulit yang mana kita nggak punya pilihan, dan nggak ada orang yang peduli sama keadaan kita!” ungkapnya. Alexa terdiam, tak menyangka jika dibalik sikap sombong dan ketusnya Putri, dia masih memiliki hati nurani dan kepedulian pada orang lain. “Perkara kerjaan itu, silakan kamu pikir-pikir dulu. Sekarang fokus sama kesembuhan ibu dulu, baru kita omongin lagi soal itu, gimana?” kata Putri lagi. Alexa menggenggam amplop itu di tangannya, perlahan dia mengangguk mengiyakan. “Makasih banyak, ya, Put. Semoga dengan kebaikan kamu ini, kerjaan kamu tambah lancar dan rejekinya makin deras!” ucapnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD