Dilema Darren

1045 Words
Sumi menarik napas dalam setelah mendengar cerita Alexa yang begitu rumit untuknya. Dia kira orang kaya, orang yang sukses seperti keluarga Ryuzaki bisa tenang menjalani hidup dan lepas dari segala macam masalah. Akan tetapi, nyatanya semakin kaya orang itu maka semakin banyak masalahnya. Tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan uang segitu mudahnya. "Si Mbok mah gak keberatan kalau Non Lexa mau tinggal di sini, kamar tamu ada, rumah ini juga terlalu besar untuk Mbok saat ini. Tapi apakah tuan dan nyonya tahu?” tutur Sumi begitu bijaksana. Dia tidak ingin anak asuhnya mengambil keputusan yang tidak disetujui oleh mantan majikannya. "Papa sama bunda sudah tahu rencana aku, tapi belum tahu kalau aku akan tinggal di sini," jawab Alexa disertai cengengesan. Sumi mencebik kesal dengan putri bungsu Sekar itu. "Non Lexa lebih baik bicarakan dulu sama tuan Raiden dan nyonya Sekar," saran sang pengasuh. Sejenak Alexa memikirkan saran dari Sumi. Wanita paruh baya itu selalu benar dalam memberikan nasehat. Putri bungsu Sekar dan Raiden itu langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi ibunya. Tiga kali nada tunggu berbunyi baru ada jawaban dari seberang sana. Hampir saja Alexa mengurungkan niatnya, biar ayah dan ibunya kelabakan mencari dirinya, pikirnya iseng. "Bunda, kok lama banget sih jawab telpon dari aku?” Belum mengucap salam dan mendengar sahutan dari seberang sana, Alexa langsung mencecar sang bunda. "Lexa, biasakan beri salam dulu, dan dengar alasan kenapa Bunda lama jawab panggilan dari kamu,” ucap Sekar, menasehati sang putri. "Maaf, Bun. Soalnya aku khawatir, tumben soalnya kalau Bunda lama jawab telpon, biasanya kan ponsel selalu ditangan. Kalau ada telpon langsung gercep jawab," cerocos Alexa. Terdengar helaan nafas panjang di seberang sana. Alexa yang ngoceh panjang, tapi Sekar yang merasa kekurangan oksigen. "Bunda lagi siapin keperluan papa kamu tadi, jadi gak pengang ponsel," sahut Sekar memberi tahu sang putri kegiatannya di sana. "Memangnya papa mau kemana?” tanya Alexa, dia lupa dengan tujuan awalnya. "Papa mau kembali ke Jepang dulu karena ada beberapa pekerjaan yang harus dia handle langsung." "Lama? Bunda ikut?” "Sepertinya iya, selain pekerjaan papa, bunda juga harus bantu mempersiapkan pesta pernikahan untuk mas dan mbak mu di sana. Opah Yuza dan Omah Tiara juga tidak sabar ingin bertemu dengan Ryu." Selagi Revan dan Feeya berbulan madu, Raiden dan Sekar berencana membawa Ryu ke Jepang untuk di perkenalkan ke keluarga besarnya, keluarga dimana Ryu seharusnya berada, menjadi penerus keturunan Ryuzaki. Anak itu harus mengenal Opah buyut, Omah buyut serta leluhur mereka yang sudah tiada. Meski tidak pernah bertemu setidaknya Ryu melihat foto serta makam Ken, Elvan, Zea dan juga Pandu. Para leluhur Ryuzaki yang sudah berpulang kePenciptanya. "Kamu gak apa kan di sini sendiri?” tanya Sekar memastikan kalau putrinya akan baik-baik saja tanpa kedua orangtuanya. "Bunda, aku sudah besar loh!” "Tetap saja Bunda khawatir, Sayang." "Jam berapa berangkatnya?" "Malam ini, beberapa jam lagi." "Oke, nanti aku langsung ke bandara aja ya." "Kamu di mana sekarang?" "Heum, aku lagi di rumah yang aman. Ya sudah, Bund. Sampai bertemu nanti. Bye." Alexa mematikan panggilan itu sepihak. Dia takut kalau ibunya akan bertanya lebih banyak lagi. Sumi yang masih berada di sana dan mendengar percakapan ibu dan anak itu sampai geleng kepala. Sedangkan Alexa hanya membalasnya dengan senyum manisnya. "Papa dan bunda berangkat ke Jepang dalam waktu yang lama, aku rasa mereka tidak perlu tahu aku tinggal di sini, nanti aku akan bilang sama para pelayan di rumah kalau papa atau bunda tanya keberadaan aku maka mereka harus bilang kalau aku tinggal di sana dengan baik," tutur Alexa, tersenyum miring dengan banyak ide-ide random di kepalanya. *** Sementara itu di Rumah Sakit, Darren sedang termenung sembari menatap putri kesayangannya yang sedang asik dengan boneka kesayangannya, masih dengan masker oksigen di wajah mungilnya. Gadis mungil itu masih harus memakai alat tersebut karena nafasnya yang masih tidak lancar. Sesekali Youra mengajak sang ayah berinteraksi dengan boneka yang cantiknya sama dengan dirinya. Tidak lama usai bermain, Youra kembali tertidur. Ruang rawat itu kembali sunyi. Saking sunyinya sampai membuat Darren ikut tertidur bersama Youra ranjang pasien. "Sayang, Mas Darren.” Suara lembut seorang wanita berhasil membangunkan Darren yang baru saja memejamkan mata. Dia melihat siluet seorang wanita yang lambat laun semakin jelas karena mendekat ke arah ranjang yang dia tiduri bersama Youra. Di lihatnya Youra masih pulas tertidur seperti malaikat kecil. "Ae-ri?” cicit Darren tertahan ketika jelas wajah siapa yang muncul dihadapannya. Dengan bibir tipisnya, ibu satu anak itu mengulas senyum manis menyahut panggilan sang suami kemudian dia menatap putri kesayangannya yang sudah beranjak besar. Namun, kondisinya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Darren mengikuti tatapan Ae-ri. "Dia putri kita, Sayang. Wajahnya mirip sekali sama kamu," ucap Darren. "Apa kamu tidak merindukan dia? Tidak ingin kembali lagi?” Ae-ri beralih menatap Darren dengan sendu. Andai saja dia bisa, hatinya ingin sekali kembali pada suami dan putrinya. Tapi saat ini kondisinya sudah berbeda. Mereka sudah tidak bisa bersatu. "Kenapa kamu melayangkan pertanyaan itu, Mas?” sahut Ae-ri, lirih. Sejujurnya hati Darren masih tidak dapat menerima sampai saat ini kalau istrinya pergi untuk selamanya. "Sayang, apa yang mama katakan itu benar. Kamu seharusnya sudah mencari penggantiku. Kamu dan Youra membutuhkan seseorang yang mendampingi," sambung Ae-ri. "Tidak segampang itu, Sayang," balas Darren. Cinta Darren begitu besar untuk Ae-ri, hingga sulit untuk dia move on dari masa lalunya. Tidak segampang itu menemukan sosok pengganti sang istri di hatinya dan kehidupannya. "Bisa, Mas. Kamu bisa, aku akan selalu ada di hati kamu dan Youra meski kita sudah tidak bersama. Kamu harus realistis dan terus menjalani hidup ini. Kamu harus bangkit, Mas." Ae-ri menggenggam tangan Darren, pria itu menunduk dan menangis, sesenggukan. "Darren, bangun, Nak." Darren tersentak dan mengerjap. Antara mimpi dan nyata, merasa tadi dia menggenggam tangan Ae-ri dan dia menangis di atas tumpukan tangan keduanya. Nyatanya ketika dia terbangun saat ini hanya tersisa air mata yang membasahi matanya di atas bantal. "Kamu kenapa?" tanya Widi, bingung. Buru-buru Darren mengusap air matanya dan beranjak duduk. "Aku tadi tertidur dan mimpi Ae-ri, Ma," aku Darren dengan suara serak. "Ck! Makanya tidur jangan pas Magrib seperti ini,” ucap Widi mengomel. Sontak Darren menatap jam tangannya. Benar saja, Magrib. Meski begitu Darren tidak merasa takut sedikitpun, dia malah senang karena setelah sekian lama mendiang istrinya itu mampir dalam mimpinya. Dalam hati dan pikirannya saat ini dia berencana besok akan datang ke makam Ae-ri.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD