Part 44 - 52 telah selesai di revisi:) selamat membaca :)
"SURPRISE!" teriak Mario membalikan badannya, tersenyum selebar mungkin. Ala-ala kejutan.
Namun senyumannya luntur setelah melihat siapa di depannya, "Loh kok wujudnya begini?"
Mira mendengus kesal, "Anj*r wujudnya begini?! Emangnya gue apaan," Mira mengusap-usap d*danya, berusaha sabar dengan makhluk di depannya. Kalau kalian mau tahu, mereka Ini musuh bebuyutan. Dengan prinsip hidup no calm, no life. Ribut mulu setiap ketemu.
Berbeda sekali jika Mira bertemu Dion. Dari tutur bahasanya saja berbeda. Antara ia berbicara dengan Dion dan Mario. Kalem jika dekat Dion, dan beringas jika dekat Mario.
Mario menatap Mira dari ujung kepala hingga ujung kaki, "Kok bukan Sena yang keluar, tapi … bidadari?" ucap Mario masih sempat-sempatnya gombal.
"Moon maap nih pak ga ada recehan."
"Idih, enak aja, muka tampan kayak Lee Min Ho gini dibilang minta recehan."
"Lagi tiba-tiba dateng ke rumah orang teriak surprise, bukannya assalamu'alaikum, mana surprise nya ga ada. Tangan kosong doang."
"Ada kok surprise-nya?"
Mira melipat lengannya di depan d*da, "Mana?"
"Ini," ucap Mario menunjuk dirinya sendiri.
"Mana?"
"Aku sayang," jawab Mario menaikturunkan alisnya.
Bam…!
"Lah kok ditutup?"
Tok tok tok
"Mbak. Hello paket nih!" teriak Mario ala-ala mas-mas kurir.
"Woy paket Woy!"
"Woy Mira bayar ga utang lu! Kalau gak kita nikah! Sekarang!"
Mira masuk dengan perasaan kesal, "Sumpah ya kok bisa ada manusia yang ga punya urat malu kayak Mario."
Sena yang sedang belajar menatap ke arah Mira yang bergumam sendirian, "Kenapa guru?"
Mira menarik nafas, "Gapapa. Cuma sakit kepala aja."
"Sakit kepala? Emang yang di luar siapa?"
"Ga tau tuh, orang gila kayaknya," jawab Mira berlalu pergi.
Sena mengernyitkan dahi, bingung, "Orang gila?"
Mira melangkah menuju dapur, menuju wastafel, cucian piring. Semua piring sudah bersih, tapi rasanya ia ingin memakan semua piring-piring disana.
"Kenapa ngejaga Sena harus sama Mario Bross si!" ucapnya sebal.
"Bisa mati berdiri lama-lama."
Sena meninggalkan belajarnya, dan melangkah menuju pintu. Belum satu meter di depan pintu, suara berisik di luar membuatnya mengernyitkan dahi.
"Mira
Dimana kau berada?
Hatiku sudah, rindu kepadamu
Mira, jangan kau tinggalkan diriku
Mira, sunyi tanpa kau di sisiku."
Mario menyenandungkan lagu dangdut berjudul Maya karyanya Muchsin Alatas. Mario mengganti lirik Maya, menjadi Mira. Siapapun yang mendengar suaranya, halal untuk ditabok.
"Siapa sih yang karaoke di luar?" Sena melangkahkan kakinya ke depan pintu.
"Aku tak rela berpindah tangan
Aku tak rela putar haluan
Karena aku masih menyayangimu
Sampai mati pun kuingat kepadamu
Sampai mati pun kuingat kepadamu
Mira, jangan kau tinggalkan diriku."
Cklek..!
Buk..! Bam..!
"Aduh," ringis Mario kesakitan memegang boko*gnya yang baru saja mencium lantai.
"Aduh ... Mario maaf ya Sena ga tau Mario di depan pintu," ucap gadis itu panik saat ia membuka pintu Mario sudah terguling-guling di lantai.
Karma untuk Mario yang tidak bisa diam di rumah orang. Udah karaoke, berisik, teriak-teriak sambil sandaran di depan pintu. Alhasil saat Sena membuka pintu, Mario terjerembab ke lantai.
"Aduh maaf ya Mario, sakit ya?"
"Engga kok Sena, ini rasanya sehat."
"Yeee Mario, udah bangun sendiri," ucap Sena sebal. Kok ia lama-lama jadi sebal ya.
Mario mengerucutkan bibirnya, cemberut manja, "Bangunin."
"Hadeuh, yaudah deh," Sena mengulurkan tangannya membantu pria itu. Tapi ya Mario tetaplah Mario, bukan Mario namanya jika tidak mencari kesempatan dalam kesempitan.
"Aduh Mario badannya berat tau ga sih, masa dari tadi ga berdiri," ucap Sena sebal padahal ia telah mengerahkan seluruh tenaganya.
Ya bagaimana Mario mau bangun, jika ia terus sengaja menempelkan bok*ngnya di lantai.
*****
"Yon Yon."
Tepukan di bahunya berkali-kali membuat Dion terbangun. Ia membuka matanya perlahan-lahan, menatap seseorang yang menepuk bahunya.
"Oh Glenn."
Dion mengusap-usap matanya. Menatap pria di sebelahnya.
"Lu mau turun gak? Bis lagi berhenti."
"Oh engga, gue disini aja kayaknya."
"Oh yaudah, gue keluar dulu."
Dion mengangguk, lalu berdiri dari kursinya memberikan jalan untuk Glenn keluar. Saat itu di bis sepi, hanya dirinya saja. Bis berhenti di pom bensin sebentar.
Glenn turun dari mobil meninggalkannya sendiri.
"Hah kok ngantuk banget ya, gimana nanti acaranya," keluh Dion mengusap-usap matanya.
Dion mengeluarkan ponselnya di balik almamater, tidak ada pesan masuk dari Mira.
"Syukurlah kalau udah dibaca. Seengganya Mira bilang ke Sena," ucap Dion menatap pesan chatnya yang hanya centang biru.
Dion menatap wallpapernya saat selfie berdua dengan Sena, "Kangen," gumam Dion pelan, menatap wajah innocent yang selalu memenuhi pikirannya.
Dion melihat-lihat galeri. Banyak sekali foto-foto selfie Sena sendirian. Dion tersenyum cerah, setidaknya semangatnya kembali lagi menatap wajah gadis itu. Dion mengganti walpapernya dengan foto selfie Sena sendirian.
"Hah, baru beberapa jam kangen-nya udah kayak gini, gimana kalau beberapa hari."
Dion memasukan ponselnya di balik saku almamater, "Beli kopi dulu lah," gumam Dion memutuskan untuk turun, setidaknya ia tidak boleh loyo saat acara nanti. Meskipun matanya benar-benar mengantuk berat.
Saat akan turun, ia berpapasan dengan Chika yang baru naik ke bis.
"Kak Dion," sapa gadis itu.
"Oh-oh iya," ucap Dion menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Mendadak ia canggung dan merasa tidak enak soal kejadian tadi. Tapi sepertinya gadis itu bersikap biasa saja.
"Kak Dion mau kemana?" tanya Chika dengan senyuman manisnya.
"Turun."
"Mau ngapain?"
"Beli kopi," jawab Dion seadanya.
"Aku ikut ya. Ada Indimaret disini."
"Oh yaudah," ucap Dion mengizinkan, lagipula sudah terlanjur. Ia tidak enak, jika harus menolak yang kedua kali.
Chika turun duluan dari bis, disusul Dion. Mereka jalan beriringan. Tidak lebih tepatnya, Chika menyamai langkahnya dengan langkah Dion.
"Kak Dion pasti tadi kecapekan ya?" tanya gadis itu.
"Iya nih," jawab Dion seadanya. Sebenernya menurut Dion gadis itu ramah, tapi ia ingat Sena di rumah. Apalagi hubungannya dengan Sena masih menggantung, antara putus atau tidak. Pikirannya benar-benar dipenuhi gadis itu, ia selalu bertanya-tanya apa yang dilakukan Sena hari ini. Apakah gadis itu masih menangis.
Dion dan Chika masuk ke Indimaret terlihat rak-rak yang berisi jajanan tersusun rapi.
"Kamu mau beli apa? Ambil aja."
Mata Chika berbinar senang, "Kak Dion traktir aku?"
Dion tersenyum, "Iya ambil aja yang kamu suka."
"Oke," ucap Chika lalu pergi menuju rak anack. Sedangkan Dion pergi ke freezer, mencari kopi. Karena ia hanya membutuhkan itu.
Dion membuka freezer, dan meraih dua kaleng kopi favoritnya, untuk mengganjal mata biar tidak mengantuk. Apalagi perjalanan sedikit lagi sampai.
"Kak Dion aku mau ini."
Dion menutup pintu kulkas, dan menatap Chika yang memegang dua bungkus snack, "Cuma dua chiki aja?"
Chika mengangguk, "Iya, kan satunya buat kak Dion. Chiki ini enak tau. Chika suka."