PART 36 - PULANG KE APARTEMEN

1130 Words
"Bik, bikinin saya orange juice. Saya ga suka s**u, buat bibi aja tuh," pinta Lisa pada bik Sari. "Baik nyonya," ucap Bik Sari sedikit menunduk, lalu beranjak pergi meninggalkan ruang makan. Lisa dan Daniel saling duduk berhadapan. Sarapan telah tersaji sempurna di atas meja. Ada roti, mentega, cokelat mesis, selai cokelat, selai kacang, selai stroberi, dan dua s**u putih. Tapi karena Lisa tidak menyukai s**u, ia meminta ganti dengan orange juice. Lisa mengoleskan selai stroberi di atas rotinya, "Kabar kamu selama mama ga ada gimana?" Daniel yang sedang menyuapkan roti dengan selai kacang mengangguk, "Baik." "Masih berhubungan sama Davina?" Lisa menyuapkan rotinya. Daniel terdiam. "Hah," Lisa menghela nafas panjang, "Kamu udah berapa kali sih mama bilangin, Davina itu ga sederajat sama kita. Tapi kamu malah milih dia. Padahal banyak cewek yang derajatnya sama seperti kita." "Udahlah ma ga usah dibahas." "Tapi ya udahlah. Udah terlanjur juga. Mau kamu pacaran sama dia, mau nikah. Intinya mama tetap ga ngerestuin kamu," ucap Lisa menyuapkan rotinya. Mendadak mood Daniel turun. Entah kenapa hatinya begitu sensitif jika nama Davina disebut. "Mama ga tau Davina karena mama ga pernah buka hati buat dia." "Apa spesialnya Davina? Cuma gadis miskin. Paling cuma morotin kekayaan kamu doang." "Kalau Davina beneran morotin Daniel ma, harusnya Daniel udah miskin hari ini," ucap Daniel menohok. "Hah … terserah kamu aja lah. Intinya mama ga suka Davina. Bahkan jika kamu nikah pun mama ga mau hadir." Menikah? Daniel tersenyum perih. Mengingat kata menikah, membuat hatinya sakit. Bagaimana ia mau menikahi gadis itu, jika gadis itu saja hilang entah kemana. Dan kalaupun gadis itu masih ada, Daniel juga tidak bisa menjamin apakah gadis itu mau kembali menerimanya. Setelah skandalnya dengan Chika. "Ini orange juice nya nyonya." Bik Sari meletakan satu gelas orange juice di atas meja. "Oh makasih bik. Bawa aja sekalian susunya … buat bibi aja." "Oke nya," Bik Sari mengambil gelas s**u di atas meja, lalu beranjak pergi. Ponsel Daniel bergetar, ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Daniel menggeser layarnya, mengangkat telepon. "Halo." "……" "Benarkah?!" ucap Daniel terkejut. Reaksi Daniel tak luput dari pengawasan Lisa. Ia memperhatikan Daniel sambil memakan rotinya. "….." "Oke-oke saya kesana." Pip! Daniel mematikan sambungannya. Senyumnya merekah setelah mendengar suatu keajaiban. Akhirnya hari yang ia tunggu-tunggu datang juga. Setelah beberapa hari ini ia tidak nyenyak tidur, dan tidak nafsu makan. "Kenapa kamu senyum-senyum gitu?" "Ma Daniel pergi dulu." Daniel beranjak dari duduknya membawa roti yang ia makan tadi. "Loh? Kok mama ditinggal sendirian?" "Daniel ada urusan," ucap Daniel melenggang pergi. "Hah," Lisa menghela nafasnya memperhatikan punggung Daniel yang kian menjauh. ***** "Hari ini tuan Dion boleh pulang, tapi tolong jaga kesehatannya ya," ucap dokter setelah mengecek kesehatan Dion yang sudah membaik. Dion yang tidur di atas ranjang mengangguk, "Makasih banyak Dok." "Iya sama-sama," ucap dokter itu lalu melenggang pergi bersama seorang suster. Mario dan Sena yang berdiri di sisi ranjang Dion, menghela lega. "Akhirnya pulang juga," ucap Dion lega. "Iya pulang. Tapi inget ya jangan macem-macem sama bebep Sena kalau di rumah." Sena tertawa kecil. "Ga macem-macem kok. Paling satu macem aja." Buk..! "Aw, gila lu ya. Gue baru sembuh ini," protes Dion kesakitan saat Mario memukul bahunya. "Masih gue pantau, belum aja gue selepet." ***** Daniel menghentikan mobilnya, dari dalam mobil terlihat 2 orang berjas hitam tengah berdiri di lokasi yang dipasang garis kuning. Daniel keluar dari mobil, dan menutup pintunya terburu-buru. Lalu berlari kecil menuju pria itu berdiri. "Mana yang kalian temukan?" tanya Daniel tidak sabar. "Ini tuan," ucap pria berjas memakai kacamata hitam. Daniel menatap garis kuning yang menjulur panjang, melindungi TKP. Ia ingat percakapannya dengan anak buahnya di telepon. "Halo." "Halo tuan Daniel saya sudah menemukan tempat dimana nyonya Davina menghilang." "Benarkah?!" "Benar tuan, tolong datang ke alamat yang saya kirimkan di pesan." "Oke-oke saya segera kesana." Dan akhirnya Daniel sampai di sini. Setelah 15 menit mengebut di jalan raya demi menemukan jejak Davina. Ia berharap Davina segera ditemukan, dengan begitu ia akan mengembalikan Davina ke pelukannya lagi. Dan menebus dosa-dosanya. Daniel menatap jalan yang dilingkari garis kuning kepolisian, terlihat bercak-bercak darah yang mengering. "Ini ... ini Davina?" ucap Daniel masih tidak percaya, "Maksud kamu ... Davina?" Sang kepercayaan Daniel mengangguk, "Benar tuan, seperti yang tuan Daniel lihat. Nona Davina mengalami kecelakaan." Daniel menutup mulutnya, terkejut. Ia seperti disambar petir di siang bolong mendapatkan info mengejutkan dari dua detektifnya. "Ga-ga- ga mungkin. Tolong bilang, ini salah, kan?" Detektif tanpa kacamata, menggeleng, "Tidak tuan Daniel. Kami telah melakukan penyidikan berhari-hari. Ini murni kecelakaan. Bahkan polisi pun juga berkata sama di media, ini murni kecelakaan bukan pembunuhan. Bahkan berita tentang kecelakaan ini telah menyebar di media Indonesia." Daniel mendadak lemas, lututnya tidak bisa ditopang lagi, Daniel terduduk di aspal dengan perasan shock. "Terus-" air mata Daniel tiba-tiba mengalir, "Dimana Davina? Dimana gadis-ku?!" teriak Daniel memenuhi jalan. Detektif berkacamata hitam angkat bicara, "Sampai sekarang jasad nona Davina belum ditemukan. Dugaan sementara nona Davina meninggal dunia." Bumm..! Air mata Daniel mengalir deras, mendengar penyataan yang menyakitkan. Belum sempat ia membayar semua dosa-dosanya, gadis itu telah pergi. Daniel berdiri dengan sisa-sisa tenaganya, lalu mencengkeram kerah detektif berkacamata, "Bilang padaku itu bohong, kan?! Davina masih hidup, kan?! Tolong jawab!" "Jawab aku!" Detektif yang lain mencoba memisahkan Daniel, "Tuan Daniel tolong tenang ... ini baru dugaan." Daniel melepaskan cengkeramannya dengan perasaan berkecamuk. Hatinya benar-benar hancur. "Dugaan?! Kenapa jawaban kalian hanya dugaan setelah berhari-hari melakukan penyidikan?! Saya minta jawaban pasti. Davina masih hidup, saya yakin dia masih hidup hiks ... dia ga mungkin ninggalin saya!" "Tuan Daniel, tentu saja ada kemungkinan nona Davina masih hidup. Tapi sampai sekarang jasadnya belum ditemukan," jawab detektif tanpa kacamata. "Ini baru dugaan sementara," lanjutnya. "Saya minta jawaban yang pasti! Gadisku belum mati. Gadisku masih hidup! Masih hidup! Aku yakin dia masih hidup." "Iya tuan Daniel tolong tenang," jawab detektif berkacamata. "Meskipun nona Davina belum ditemukan, tapi kami sudah menemukan bukti yang lain," ucap detektif tak berkacamata. Daniel menatap keduanya dengan mata memerah, "Apa?" Cklek..! Pintu apartemen terbuka lebar. Terlihat Sena memapah Dion pelan-pelan memasuki apartemen, dan Mario yang mengekor di belakang membawa banyak barang. 4 kantong plastik jumbo yang berisi makanan, dan 2 tas jinjing; tas rumah sakit Dion, dan tas baju-baju Sena. Dan juga ia memakai tas sekolah Sena di pundaknya. Ia tak membiarkan Sena membawa barang satupun. Sena membuka pintu kamar Dion, dan mendudukan pria itu perlahan-lahan di atas ranjang. Mario meletakan semua barang-barangnya di bawah lantai. "Hah?!" Mario bernafas lega, lalu memegang pinggangnya yang sedikit remuk, membawa banyak barang-barang. Dari rumah sakit sampai ke lantai 21. "Makasih ya udah ngerawat," ucap Dion tersenyum. "Makasih ke siapa?" tanya Mario. "Ke kalian berdua." "Ooh," ucap Mario mengangguk, "Sama-sama. Ga usah terima kasih, udah tugas gue sebagai teman yang baik, tidak sombong, dan rajin menabung untuk membantu sesama manusia lainnya,," ucap Mario mulai percaya diri lagi. "Iya Dion sama-sama," jawab Sena.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD