PART 135 - PESAN MARIO

1043 Words
"Jangan! Kan gue bilang jangan!" "Ngapa si emangnya?" ucap Mario mengernyitkan dahi. "Jangan! Sena sama Dion itu lagi-" Bruak..! Belum selesai Mira bicara, Mario mendorong pintu. Dan alhasil pemandangan di depan mereka, membuat mereka mati kutu. "Anjirr," ucap Mario kaget. Sontak Mario menutup mata Mira sebelum pikiran gadis itu tercemar. "Ihh Mario kok ditutup sih? Kan pengen liat." Bagaimana mereka berdua tidak terkejut, kalau saat buka pintu ternyata Dion dan Sena b******u di atas bangsal. Kalau tahu begitu, Mario lebih baik tidak buka pintu. "Udah selesai belom?" "Ma-ma-masih," jawab Mario terbata-bata. Pemandangan itu tidak baik bagi jiwanya. Jiwa jomblonya meronta-ronta sekarang. Dion melepaskan kecupannya di bibir Sena. Itu hanya kecupan ringan saja. Ia mengusap-usap pipi Sena yang memerah. Sampai akhirnya Dion menoleh ke arah pintu. "Astaga!" ucap Dion terkejut. Ia dan Sena terkejut setengah mati. Sena pun menunduk malu. ***** Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, cobalah beberapa saat lagi. "Sial," rutuk Daniel lalu melempar ponselnya ke jok sebelah. Hari ini sepertinya ia akan gila karena Mira. Dari kemarin gadis itu tidak bisa dihubungi. Bukan hanya itu, bahkan w******p dan Line-nya diblokir. "Kalo kayak gini terus, hubunganku sama Mira bisa rusak." Daniel mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia membuat kesalahan besar sekarang. Kepercayaan Mira padanya runtuh. "Kamu kemana sih, Mir?" Sudah dua jam ia menunggu tidak jauh dari rumah Mira. Tapi Mira tak kunjung terlihat, semua tempat telah Daniel cari. Dari taman kanak-kanak, tempat Mira bekerja. Kafe, tempat biasanya mereka berkencan. Dan kafe kopi, tempat pertama kali mereka bertemu. Daniel melirik arlojinya, pukul dua siang. "Hah," Daniel menyandarkan punggungnya yang lelah. "Tunggu deh sebentar lagi." Daniel tetap kekeuh pada pendiriannya. Ia memutuskan menunggu Mira. 10 menit, 15 menit, 30 menit, batang hidung Mira tak juga terlihat. Tapi Daniel tidak menyerah. Satu jam, dua jam, empat jam telah berlalu. Daniel masih setia menunggu di mobil. Menatap lurus ke depan. Meskipun hari telah menggelap. Lima jam, enam jam, tujuh jam, delapan jam. Akhirnya orang yang ia tunggu tiba juga. Ia melihat Mira yang baru saja turun dari ojek online. Tanpa berlama-lama, Daniel keluar dari mobilnya. "Mira." Mira yang merasa namanya dipanggil menoleh. Matanya membulat, saat melihat seseorang yang ingin ia hindari. "Ambil aja bang kembaliannya," ucap Mira tergesa-gesa memberikan uang pecahan 50. "Serius neng?" "Iya." "Makasih neng." Setelah membayar ojek, Mira jalan terburu-buru menuju rumahnya. Dan tukang ojek pun menghilang dari pekarangan rumah. "Mir." Daniel berlari menghampiri Mira yang seperti sengaja menjauhinya. Saat Mira ingin membuka pintu, Daniel mencegat tangannya. "Kamu abis darimana?" Suara lembut yang mengalun indah di telinganya, membuat Mira sedikit bergetar. Ia rindu pada suara ini. Tapi ia juga tidak bisa. Mira menoleh, menatap sosok pria jangkung itu, "Bukan urusan kamu." Daniel tersentak. Firasatnya benar, Mira memang sengaja menjauhinya. "Kamu masih marah soal kejadian itu?" Mira menghempaskan tangan Daniel, hingga genggaman itu terlepas. "Kamu pikir aja sendiri!" "Aku tau aku salah Mir, tapi kan aku udah minta maaf." "Apa kamu pikir minta maaf masih ada gunanya? Kalau kamu sendiri ga merasa bersalah? Gimana seandainya kalo Mario kenapa-kenapa waktu itu, apa kamu bisa mengganti nyawanya?!" Daniel tersentak. "Kamu benci sama aku gara-gara itu?" "Aku ga benci, aku cuman marah." Daniel menunduk, "Aku udah mengakui aku salah, aku juga udah minta maaf. Kayak gimana lagi aku bisa dapet pengampunan kamu?" Mira hanya terdiam, kemudian masuk. Meninggalkan Daniel seorang diri. Bam…! "Kamu pulang aja, Dan. Aku lagi pengen sendiri. "Mir, aku udah nunggu kamu dari siang. Aku pengen ngomongin masalah kita, biar selesai," ucap Daniel nanar menatap pintu yang tertutup. "Buka dulu, Mir." Tuk tuk tuk Daniel mengetuk pintu, namun tetap saja Mira tidak akan membukakannya. "Aku mau tenangin diri dulu." "Aku ga akan pergi sebelum kamu maafin aku!" "Aku akan tetep nunggu sini." "Seterah." Jawaban dari Mira membuat Daniel lemas. Tapi ia tetap pada pendiriannya. Ingat, pria itu, yang dipegang ucapannya. Daniel beranjak pergi dari rumah Mira, menuju mobilnya. Dan tentu saja, itu tak luput dari perhatian Mira. Gadis itu menyeka gorden, menatap Daniel dari balik jendela. ***** Chika mengetuk-ngetuk pensil di atas meja. Membaca tulisannya yang ia buat di buku Diary. "Kenapa setiap kali gue melenyapkan Davina selalu gagal?" gumam Chika bingung. "Apa yang salah?" "Padahal tinggal selangkah lagi." Chika menatap tulisannya yang ia coret, tulisan yang berisi semua rencana yang pernah ia lakukan ke Davina.Tapi berujung gagal. Mendorong Davina di pantai Menyekap Davina di gudang kedokteran Menculik davina Semua yang ia lakukan, berakhir dengan coretan. Tidak ada satupun yang berhasil. Di mulai dari ia yang berencana membuat Dion jatuh cinta padanya, menjadikan dua teman Dion anak buahnya, mengikuti kegiatan abdi desa. Ia telah melakukan semuanya. Tapi hasilnya nihil. "Apa lagi yang bisa gue lakuin? Ayo Chika berpikir … berpikir." Chika menumpukan keningnya di ujung pensil, memutar otaknya. Sampai beberapa lama, sebuah ide cemerlang muncul. "Aha! Gue tau caranya. Dan gue yakin ini akan berhasil," ucap Chika tersenyum miring. ***** "Makasih, Mar. Lu udah bantuin gue terus." Dion mengantarkan Mario sampai ke depan pintu apartemen. By the way, sejam yang lalu mereka membawa Sena ke apartemen, setelah dokter mengatakan Sena boleh dibawa pulang. "Yoi." "Luka lu gimana?" "Gimana apanya?" "Harusnya kan lu di rumah sakit. Ga bantuin gue, Mar." Dion menatap sendu, Mario terlihat tidak baik-baik saja. Bahkan wajahnya terlihat babak belur. "Oh ini," Mario tertawa kecil setelah mengetahui arah pembicaraan Dion, "Gapapa ini mah." "Maaf," ucap Dion dengan nada bersalah. "Yaelah Yon, lu kayak sama siapa aja," Mario tertawa kecil, "Bagaimanapun Sena itu tanggung jawab gue juga." "Dahlah gue balik dulu ya." Dion mengangguk, "Iya, lu hati-hati ya." Mario berbalik badan, melangkah menjauhi kamar apartemen Dion. Namun baru tiga langkah. Ia kembali berbalik. "Yon." Dion yang baru saja ingin masuk, mengurungkan niatnya. Ia berbalik, menatap sahabatnya, "Ya Mar?" "Apa lu mencintai Sena?" Dion mengernyit heran, "Tumben lu nanya, Mar." Mario tersenyum tipis, "Tolong jaga Sena." Lagi-lagi dahi Dion mengernyit. Topik kali ini begitu ambigu, ia tak mengerti kenapa Mario tiba-tiba mengatakan itu. "Lu kenapa dah, Mar?" ujar Dion sedikit aneh. Raut wajah Mario terlihat begitu serius. "Jangan biarin siapapun masuk, mengambil Sena." "Haa?" Sepertinya otak Dion kali ini tidak sampai, Sepertinya bukan ucapan Mario yang ambigu, tapi ucapan itu seperti menyiratkan sesuatu. Tapi Dion tidak paham. "Gue pulang dulu." Mario berbalik, melanjutkan perjalanannya yang tertunda, meninggalkan Dion yang masih berdiri di depan pintu dengan perasaan gamang. "Ambil Sena?" gumam Dion bingung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD