"Gapapa … nanya aja."
Dion menghentikan kegiatannya, menatap netra legam gadis itu, "Apa pertanyaan itu penting buat kamu?"
Sena menatap pemilik netra cokelat karamel itu, "Iya," Sena mengangguk tanpa ragu. Mata indah Dion membuatnya terhanyut.
Dion menghela nafas, "Jangan menanyakan hal itu Sena."
"Kenapa?"
Sena mengulum bibirnya, menunduk memainkan jari-jarinya yang lengket dipenuhi cokelat.
"Sena cuma takut Dion pergi."
"Takut aku pergi?"
Sena mengangguk polos, "Iya."
Dion tersenyum, mengacak-acak rambut Sena gemas, "Aku ga pergi. Kan aku sama kamu sekarang."
Sena menegakan wajahnya, menatap Dion berani, "Tapi, kan Dion udah punya istri."
"Istri?" Dion menaikan satu alis.
"Iya," Sena mengangguk.
Kenapa Sena membicarakan istri? Dion mengernyitkan dahinya, berpikir. Selang beberapa lama, Dion menyadari sesuatu.
"Kamu denger ya?"
Sena menunduk sedih, "Iya."
"Hahaha," Dion tertawa melihat Sena yang begitu lugu dan polos, ia mengacak-acak rambut gadis itu. Entah kenapa Sena selalu membuatnya gemas.
"Aku belum nikah Sena. Mama sama tante cuma salah paham aja."
Sena menaikan wajahnya. Menatap mata cokelat Dion. Matanya berbinar-binar senang, "Jadi Dion belum nikah?"
Dion menggeleng, "Belum,"
"Belum punya istri juga?" ucap Sena semangat.
Dion melanjutkan kegiatannya. Mengusap bibir Sena dengan tisu, "Belum."
"Belum punya pacar juga?"
"Belum."
Sena mendekatkan wajahnya.
Chup!
"Nanti Dion nikahnya sama Sena ya."
Tindakan Sena membuat Dion shock. Bahkan tisu itu sampai terjatuh dalam genggamannya. Kedua kalinya Sena mencium bibirnya secara spontan. Dan ia hanya bisa mematung, tidak bisa menolak sama sekali.
Sena tersenyum lebar, lalu bergelayut manja di lengan Dion, "Dion, kan punya Sena. Jadi nikahnya harus sama Sena," ucap gadis itu menandakan Dion hak paten sebagai miliknya.
"Sena jangan cium sembarangan," ucap Dion memperingati. Jantungnya hampir saja copot. Kenapa Sena selalu menciumnya tiba-tiba.
Sena menjauh, "Loh, kenapa? Kan Sena cuma cium Dion," protes gadis itu.
"Ga boleh cium," ucap Dion memperingati gadis itu. Tujuannya ia membawa Sena untuk merawatnya, dan membuat ingatan gadis itu kembali. Bagaimana jika seandainya ia hilang kontrol.
Dion meraih tisu yang baru, dan membersihkan tangan Sena yang dipenuhi cokelat. Cara makan Sena sama seperti anak-anak, belepotan sampai ke pipi, mulut, tangan, baju. Membuat Dion tak habis pikir.
Sena memberengut sebal, "Dion, kan punya Sena. Apa salahnya cium."
Jawaban polos Sena membuat Dion terkekeh, "Kamu belajar itu darimana?"
Sena memalingkan wajahnya, ngambek, "Dari mana aja."
"Dion ga ngelarang Sena cium Dion, tapi syaratnya kalau kita udah punya hubungan."
Setelah selesai membersihkan tangan kiri Sena. Dion membersihkan tangan yang satunya. Entah bagaimana cara gadis itu makan, sampai cokelatnya lengket begini. Harus digosok-gosok ekstra untuk membersihkannya.
Chup!
"Sena, tadi Dion bilang apa!" ucap Dion protes.
"Dion ayo kita berhubungan."
*****
"Hah," Dion menghela nafas, menatap langit biru. Terlihat awan bergerak, menyatu dengan awan lain. Langit hari ini begitu cerah, dan hangat.
Dion berdiri sendirian di rooftop kampus. Menenangkan pikirannya yang carut-marut. Seharian ini pikirannya tidak konsen. Bahkan ia dikeluarkan oleh dosen, karena bengong saat jam pelajaran.
Pikirannya terus bergelantungan pada gadis itu. Karena kejadian kemarin, Sena masih marah padanya, bahkan gadis itu tidak ikut sarapan tadi pagi.
"Dion ayo kita berhubungan."
"Jangan meminta suatu hal yang aku sendiri ga bisa melakukanya, Sena."
Sena yang mendengar itu, melepaskan pelukannya pada lengan Dion. Jawaban Dion membuat hati Sena menciut. Rasanya seperti ada ribuan panah yang menusuk jantungnya.
Ekspresi Sena mendadak berubah. Mata ceria dengan senyuman lebar seperti biasanya, sirna. Mata Sena berkaca-kaca, dan senyumannya menghilang.
"Ke-kenapa Dion ga mau berhubungan sama Sena?"
"Kita hanya tinggal bersama, Sena. Ga lebih dari itu."
"Dion ga suka sama Sena?"
"Bukan ga suka. Tapi ga bisa! Hubungan kita hanya sebatas tinggal satu rumah Sena," ucap Dion penuh penekanan.
Dion mengusap-usap wajahnya kasar, mengingat kembali. Apa ucapannya terlalu kasar?
"Dicariin kemana-mana, gataunya di sini."
Dion memutar tubuhnya. Menatap sosok yang berjalan ke arahnya, "Oh lu …"
"Yoi."
Mario tersenyum, lalu melemparkan satu kaleng Coca-Cola, "Nih buat lu."
Hap.
Dion menangkap sempurna kaleng itu dengan satu tangan, "Thanks," ucapnya lalu menarik tutup botol dengan jari telunjuknya, hingga terlepas.
"Lu kenapa?" tanya Mario berjalan mendekati sahabat baiknya. Lalu meneguk satu kaleng cola.
Dion kembali menatap lurus ke arah balkon. Menatap kosong, pemandangan di depannya, hanya gedung-gedung tinggi yang tersusun secara sempurna, dan atap-atap pemukiman warga yang terlihat dari atas sini.
"Kenapa gimana?
Mario berdiri di samping sahabat baiknya, "Gue kenal lu dengan baik Yon."
Dion meneguk Coca-Cola nya, memilih tak menjawab pertanyaan Mario.
"Kenapa lu diem aja?"
"Kenapa lu kesini? Ga dicariin dosen?"
Jawaban Dion membuat Mario menghela nafas, kesal. Ia bertanya serius, namun Dion malah balik bertanya balik yang tidak penting.
"Tentu aja karena lu lebih penting dari dosen itu. Makanya gue kesini!" ucap Mario penuh penekanan.
Dion tersenyum tipis, meminum kembali Coca-Colanya.
"Gue gapapa," jawab Dion menurunkan kalengnya.
"Hah," Mario menghela nafas panjang, "Karena Sena?"
"Engga …"
"Gue tau lu udah lama Yon, ga setahun dua tahun. Lu menyangkal kayak gitu pun gue ga percaya."
Dion terdiam.
"Ada apa sama Sena? Sena buat masalah? Atau dia nakal? Atau Sena minta macem-macem? Atau Sena berbuat yang engga-engga, atau-"
Sebelum pertanyaan Mario semakin panjang. Dion memotongnya.
"Sena jatuh cinta sama gue, Mar."
"Hah?"
Kaleng cola yang dipegang Mario tiba-tiba terjatuh. Pernyataan Dion membuatnya terkejut setengah mati.
Di dalam mobil Dion terus memikirkan kata-kata yang diucapkan Mario. Sepanjang perjalanan, ia benar-benar tidak fokus. Bahkan tanpa sadar Dion menancapkan gasnya di kecepatan 120 km/jam.
Sena terus memenuhi otaknya. Memporak-porandakan pikirannya. Bagaimana jika rencananya untuk mengembalikan ingatan Sena malah gagal.
"Gue bilang dari awal apa Yon? Cewe sama cowo itu ga bisa tinggal berdua. Pasti akan ada yang jatuh cinta. Kalau ga lu, ya Sena."
"Terus gimana? Rencana awal gue bawa Sena ke Apartemen untuk ngerawat dia, ga lebih dari itu."
"Gimana apanya? Kalau orang udah suka ya ga bisa ditarik lagi. Sekarang gue tanya, lu suka ga sama Sena?"
Dion terus melamun, sampai akhirnya ia tersadar ada kucing hitam yang tiba-tiba melintas di tengah jalan.
"Aaaaaa."
Dion menginjak pedal rem-nya cepat. Sebelum tubuh kucing itu terhantam mobilnya.
Ckiiiiiittt…!
Bruak…!
Pengereman yang begitu terjal, dan mendadak. Membuat mobil berhenti spontan. Kepala Dion terantuk setir kemudi dengan sangat keras. Darahnya bercucuran, hingga menetes ke bawah.
Dalam keadaan sadar tidak sadar, Dion terus menggumamkan satu nama, "Sena …" kepalanya benar-benar berat, tidak bisa ditegakkan. Pandangannya pun kabur. Rasanya langit seperti berputar-putar di sekelilingnya, dan jatuh menimpanya.
Ponsel yang berada di saku celananya tiba-tiba berdering. Dengan sisa-sisa tenaga yang Dion punya, Dion merogoh ponselnya. Lalu menggeser layarnya asal, tanpa melihat.
"Dion lu dimana?"
Bum..!
Ponselnya terjatuh, bersamaan dengan Dion yang tidak sadarkan diri. Darahnya terus menetes tak henti di lantai mobil.
"Halo? Halo Dion? Dion."
"Dion jawab gue!"
"Dion!"
Malam itu hanya suara Mario yang terdengar dibalik kebisuan.