"Dion Sena lapar," ucap Sena mengelus perutnya yang keroncongan.
Dion melirik jam tangannya. Pukul 4 sore. Mereka melewatkan jam makan siang ternyata.
"Yuk."
Dion menyatukan jari-jari besarnya dengan jari mungil Sena. Tangan Sena yang imut seperti bayi, seperti tenggelam dalam genggamannya.
Mereka jalan beriringan keluar dari Sea World menuju food court. Tempat khusus makan. Di tempat ini ada berbagai macam kedai makanan. Ada kedai khusus makanan Jepang, Thailand, makanan tradisional Indonesia, ada pun bakso, seafood, dan lain-lain.
Dion mengeratkan genggamannya, takut Sena hilang. Karena saat itu, banyak pelancong yang berlalu-lalang di food court untuk mengisi energi mereka.
"Kamu mau makan apa?"
Dion sedikit menundukan wajahnya. Karena ia terlalu tinggi. Ia terlihat seperti sedang mengajak adiknya jalan-jalan.
Sena mendongak, menatap si pemilik mata cokelat karamel, "Emm … sebenernya Sena lapar, tapi Sena gatau mau makan apa. Sena ngikut Dion aja," ucapnya tersenyum lugu.
Dion tertawa kecil mendengar ucapan polos Sena.
"Oke laksanakan."
Dion menggandeng tangan Sena menyusuri sepanjang jalan food court. Namun belum ada yang membuat Dion tertarik. Sampai akhirnya ia teringat sesuatu. Sebelum mengajak Sena kesini, ia sempat mencari tempat makan rekomendasi di internet. Tapi ia baru ingat sekarang.
"Dion kita ga jadi makan? Tempatnya udah kelewat …" ucap Sena bingung.
"Kita ga makan disini, tapi di suatu tempat."
Setelah berjalan kurang lebih 30 menit, akhirnya mereka sampai di tempat yang Dion inginkan. Le Bridge. Namun untuk masuk ke Le Bridge, harus menyusuri jembatan kayu. Jembatan yang letaknya di bagian luar pantai, namun mendekati laut. Panjangnya dari pinggir pantai, sampai ke tengah laut.
Dion mengeratkan genggamannya. Bergandengan tangan menyusuri jembatan Le Bridge. Saat itu langit Ancol dipenuhi gerombolan burung-burung yang beterbangan, pulang ke rumah. Dimana langit biru akan digantikan langit oranye. Menyambut senja yang akan datang.
Angin laut berhembus lembut, membuat rambut Sena berterbangan terbawa angin.
"Dion cita-citanya jadi apa?"
"Aku? Emm-" Dion berpikir sejenak, "Jadi apa ya?"
"Kalau Sena cita-citanya mau jadi dokter."
"Kenapa jadi dokter?"
"Kalau jadi dokter kan bisa ngobatin orang sakit. Sena mau jadi relawan dokter yang bantu orang-orang kesusahan."
Cita-cita yang mulia dari seorang Sena.
"Kalau Dion cita-citanya jadi apa?"
Dion tertawa kecil, "Emm … jadi apa ya? Pilot? Astronot? Atau jadi presiden?" ucapnya bercanda.
"Ih Dion Sena serius …" ucapnya memberengut sebal.
"Emm … cita-cita Dion asalkan Sena sembuh aja. Lebih dari cukup," ucapnya dari hati yang dalam.
Sena menghentikan langkahnya, menatap Dion dengan dahi mengernyit, "Emang Sena lagi sakit ya?"
Dion mengatupkan bibirnya, keceplosan, "Emm … maksud Dion asalkan Sena sehat terus, ga sakit. Dion senang."
Sena mengangguk percaya, "Oh gitu. Kalau gitu Sena senang juga," ucapnya tersenyum.
Mereka menghentikan langkahnya di tenda besar putih terletak di tengah laut, tempat makan Le Bridge.
*****
Fish&Chips, salmon steak, spaghetti oglio tuna, tuna pizza, Australia tenderloin, French fries, chicken quesadilla, rice beef saikoro, Pannacota, Le Bridge brusscheta, chicken wings, banana friter, ice lemon tea, sweet ice tea, dan ice tea.
Sena yang menatap pelayan menghidangkan makanan sebanyak ini sampai terheran-heran. Sampai meja mereka penuh.
"Dion, ini-ini ga terlalu banyak?" ucap Sena tercengang.
"Aku ga tau yang kamu suka. Jadi aku pesan aja sekitar 1/4 atau 1/5 dari jumlah menu yang ada."
"Silakan dinikmati," ucap pelayan itu ramah, lalu pergi membawa nampan.
"Iya tapi ga gini juga. Ini boros … Nanti uang Dion habis."
"Kamu lupa ya? Kartuku, kan udah warna hitam," ucap Dion enteng seakan tidak ada beban.
Sena hanya bisa melongo. Yaa, benar juga sih. Dion kan Sultan. Mau belanja aja rasanya seperti tidak dipikirkan dahulu, beda sama kita para kentang.
Sena mengambil garpu, mencicipi spaghetti oglio tuna, yang menarik perhatiannya dari pertama disajikan.
"Emm … enak banget."
Dion yang sedang memotong salmon steak-nya tersenyum. Ia senang kalau Sena senang. Sesederhana itu.
Dion menatap laut lepas. Langit ternyata sudah berubah oranye. Dari ujung laut, terlihat matahari turun dengan malu-malu.
"Sena lihat sana."
Sena yang sedang meminum sweet ice tea melihat ke arah yang ditunjuk Dion. Ia begitu kagum, tak percaya melihat sunset pertama di hidupnya. Sunset yang ia lihat secara jelas, bagaimana matahari itu turun perlahan-lahan.
Dion dan Sena tersenyum menatap mentari menghilang di bawah senja.
Dion mengalihkan pandangannya ke arah Sena. Ia mengeluarkan ponselnya, dan memotret Sena diam-diam saat gadis itu terpaku menatap sunset.
Ia tersenyum menatap hasil jepretannya. Sena yang tersenyum di bawah langit oranye, dengan wajah menghadap ke samping menatap matahari yang tengah turun. Sena dan senja dua hal yang indah secara bersamaan.
Matahari menghilang, dan langit mulai menggelap. Lampu-lampu Le Bridge menyala terang dengan lilin-lilin romantis.
"Dion, Sena ke toilet dulu ya," ucap Sena meletakan garpunya di atas piring yang masih berisi tenderloin.
"Aku antar."
"Ga usah, Dion disini aja. Sena cuma sebentar kok."
"Tapi kamu ga tau daerah sini Sena."
"Sena cuma ke toilet Dion. Ga lama kok. Deket toiletnya."
Dion menatap manik mata Sena yang seolah meyakinkannya. Apakah Sena tidak tahu ia se-khawatir itu.
"Aku takut kamu kenap-"
"Dion percaya sama Sena."
Lagi-lagi tatapan Sena membuat pertahanannya runtuh. Ia menghela panjang, dan mengangguk lemah.
"Baiklah."
"Oke," ucap Sena senang kemudian meninggalkan Dion sendirian.
Dion menggeleng, mencoba menepis pikiran buruk yang bergelayut di otaknya. Ia kembali memakan Pannacota, untuk pengalihan pikiran buruknya. Mungkin karena ia terlalu protektif pada Sena. Jadi sering over thinking.
5 menit.
10 menit.
15 menit.
Dion mulai khawatir, langit sudah menggelap. Namun Sena tak kunjung kembali. Perasaan cemas mulai menyergapnya. Seharusnya ia tak melepas Sena. Sena tak ingat apapun.
Dion membayar bill pesanan mereka, dan berlari meninggalkan kafe Le Bridge.
"Senaaaaa."
Dion berlari menuju toilet dekat kafe Le Bridge. Ia bertemu dengan wanita yang baru keluar dari toilet wanita.
"Bu, numpang tanya, ibu lihat gadis pakai baju bunga-bunga pink ga di toilet? kira-kira tingginya segini," Dion menyejajarkan tangannya ke leher.
Ibu paruh baya itu menggeleng, "Engga, tuh dek. Saya di toilet sendiri. Ga ada siapa-siapa."
Jawaban ibu-ibu itu membuat lututnya lemas, "Makasih buk," ucapnya panik.
"Iya dek sama-sama," ucap ibu paruh baya itu berlalu pergi, meninggalkan Dion yang panik kalang kabut.
"Sena kamu dimana?"
Dion mengacak-acak rambutnya, frustasi. Seharusnya ia menjaga Sena, bukan melepaskannya.
Dion berlari menuju jembatan Le Bridge berharap Sena ditemukan.
"Senaaaaa."
Tak ada jawaban.
Bahkan batang tubuh gadis itu tak terlihat.
"Senaaaaaaaaa."