"Apa aku pernah bilang aku ga sayang kamu?" ucap Dion pelan.
Dion menatap Sena dalam. Pandangan mereka saling bertemu, menyalurkan perasaan mereka yang sama-sama terpendam. Dion meraih jari-jari mungil Sena, dan menggenggamnya erat. Tangan Sena yang seperti bayi, tenggelam di dalam genggaman Dion.
Dion menatap wajah imut itu. Wajah yang membuatnya susah tidur akhir-akhir ini. Wajah yang membuat jantungnya berdebar tak karuan. Wajah yang membuat otaknya selalu kepikiran. Wajah yang membuatnya cemas dan khawatir. Wajah yang selalu ia rindukan, ingin cepat-cepat pulang ke rumah saat berada di luar.
Hanya wajah itu, yang membuat hatinya terombang-ambing.
Sena menunduk, "Kenapa Dion tanya itu?"
"Apa itu penting bagi Dion?" ucapnya lirih.
"Penting," ucap Dion tanpa ragu.
"Kenapa penting?"
"Karena Dion-" Dion menggantungkan ucapannya di udara. Matanya menatap dalam gadis itu. Ingin mengatakan semua yang tertahan di hatinya. Tapi kenapa setiap dia ingin mengatakannya, semuanya tertahan di tenggorokan.
Sena menegakan wajahnya, menatap netra cokelat karamel milik pria itu, "Karena apa?"
Dion menatap manik mata gadis itu. Ia menelan ludahnya susah payah saat bertatapan. Mata gadis itu seolah menariknya jatuh ke dalam.
"Karena ..."
Dion menarik nafas dalam-dalam, mengumpulkan seluruh keyakinannya. Dion semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Sena.
"Karena Dion sayang Sena juga."
*****
"Hah."
Daniel menghela nafasnya saat sampai di bandara. Ia celingak-celinguk mencari ibunya. Daniel melangkahkan kaki mengelilingi ruang tunggu, menatap orang satu persatu. Berharap mamanya belum pulang naik taksi atau dijemput pak Harto. Sebenarnya bagus sih, mamanya pulang duluan. Tapi, jika pulangnya saat ada Chika di rumah. Itu yang masalah.
Untungnya ia cepat-cepat menyembunyikan Chika.
"Mama kemana ya?" ucap Daniel kebingungan.
"Gimana carinya kalau orang di bandara sebanyak ini ... aduh," Daniel menggaruk rambutnya kebingungan.
Daniel melangkahkan kaki, mencari orang yang ciri-cirinya seperti mamanya. Daniel celingak-celinguk seperti anak hilang. Sampai akhirnya ia melihat seorang wanita berambut panjang sedang memunggunginya, dan membawa koper.
Daniel yakin itu pasti mamanya, kalau dilihat dari ciri-cirinya tidak salah lagi. Daniel berjalan dengan langkah panjang, lalu menepuk keras bahu wanita itu.
"Ma!"
Wanita itu berbalik, dan membuat Daniel terkejut setengah mati. Ternyata bukan mamanya.
"Maaf maaf salah orang," ucap Daniel berlalu pergi, dengan perasaan malu.
"Aduh mama mana sih?" ucap Daniel berkacak pinggang, lalu mengeluarkan ponselnya dari saku Jeans. Ia mencari nomor mamanya di kontak. Lalu menekan panggilan.
Daniel meletakan ponselnya di telinga, sembari melihat-lihat sekitar.
"Kok ga diangkat," rutuk Daniel, setelah beberapa detik tak ada jawaban.
Nomor yang Anda tuju tidak menjawab, cobalah-
Daniel kembali menelepon, namun lagi-lagi yang terdengar suara operator.
"Kok mama ga angkat sih?"
"Apa udah pulang," ucapnya berbicara sendiri seperti orang gila, sehingga orang yang berlalu-lalang menatapnya aneh.
"Coba deh telepon lagi."
Tut Tut Tut Tut
"Lah? Kok dimatiin?"
"Katanya minta jemput?!"
Tak lama seseorang menjewer telinga Daniel dari belakang, membuat sang empu meringis kesakitan.
"Aduh aduh."
Daniel menepuk-nepuk tangan yang berani memelintir telinganya.
"Bagus ya ... bagus! Udah ditungguin satu jam setengah. Baru muncul."
"Aduh ma, sakit sakit."
Jewerannya terlepas. Daniel mengusap-usap telinganya yang terasa ingin copot.
Daniel menoleh ke belakang.
"Ayam!" ucap Daniel terkejut melihat mamanya yang berubah.
"Ini mama?" tunjuk Daniel.
Mama Daniel yang memakai kacamata hitam mengangguk, "Iyalah siapa lagi."
"Kok kayak kuah opor."
Pletak!
Mama Daniel atau Lisa menjitak kepala Daniel keras, "Enak aja mama sendiri dibilang mirip opor."
"Lagi mama apaan si rambutnya dicat kuning. Udah kayak opor lebaran."
Mama Daniel merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan, "Ini tuh fashion tau. Kalau kata orang fashionista."
"Mama tuh udah tua ga cocok rambut kuning. Jadi kayak kuah lontong sayur."
"Udah Daniel kamu ga usah banyak cingcong. Bawain aja barang mama. Udah dateng lama, berani komentar juga."
"Bukan hanya opor dan lontong sayur, mama juga mirip ayam warna-warni yang dijual abang-abang."
Pletak..!
"Aduh ... bisa ga sih kamu gausah banyak komen. Kamu tau gak, mama tuh udah lumutan nungguin kamu daritadi. Ampe ketiduran."
"Daniel tuh dari tadi ngeliat orang rambut kuning lagi ngorok tidur di pojokan. Tapi itu ga mungkin Mama. Eh gataunya beneran Mama."
"Daniel ga habis thinking," Daniel menepuk jidatnya.
Buk..!
Mama Daniel menepuk bahu anaknya, "Kamu nih bisa ga sih dikecilin dikit suaranya? Masa udah cantik-cantik gini, dibilang ngorok."
Mama Daniel menarik bahu anaknya mendekat, dan berbisik di telinga Daniel, "Kalau orang denger, malu tahu ..."
*****
"Hah."
Sena mengatur nafasnya. Rasanya ia hampir kehilangan oksigen saat berhadapan dengan Dion. Sena menatap pantulan dirinya di cermin toilet. Daritadi senyumnya mengembang. Hatinya berbunga-bunga seperti musim semi.
Sena menangkupkan pipinya yang memerah. Ia benar-benar senang bukan main. Bahkan bisa dibilang hari ini adalah hari yang paling membahagiakan di hidupnya.
Sena mengatur nafasnya yang naik-turun, ucapan Dion membuatnya lupa cara bernafas.
"Aaaa gimana ni ... muka Sena masih merah."
"Huff huff, hilang dong," Sena mengipasi wajahnya yang masih memerah.
"Karena Dion sayang Sena juga."
Sena mematung. Hatinya berdebar-debar kencang tak seperti biasanya. Ia meneguk ludahnya, menunggu kata-kata Dion selanjutnya.
"Sena mau, kan jadi teman hidup Dion?"
Huaaaa.. ingin rasanya Sena berteriak pada dunia. Jujur, saat itu oksigen di bumi seolah habis. Ia lupa caranya bernafas, otaknya pun mendadak blank. Jika ucapan Dion adalah kaset, ia ingin memutarnya sekali lagi.
"Ayo dong hilang ..." Sena menepuk-nepuk pipinya. Mengingat kejadian tadi, membuat pipinya semakin memerah.
"Menjadi puzzle untuk saling mengisi satu sama lain."
Sena meneguk ludahnya. Ia ingin menyudahi tatapan itu, tapi tidak bisa. Dion mengelus-elus rambut Sena yang menjadi candu, "Dion tahu Sena sayang Dion ... tapi kalau Sena belum siap untuk jadi teman hidup Dion ... Dion ga akan maksa."
Sena menundukan kepalanya, "Se-sena-" ucapnya terbata-bata.
"Sena mau kok," ucapnya pelan seperti berbisik.
Dion yang tak mendengar karena suara Sena terlalu kecil, bertanya, "Apa?"
"Sena mau kok," ucapnya dengan suara pelan lagi.
"Se-na apa?"
Sena menutup wajahnya malu, yang ia yakini pipinya berubah berwarna Cherry, "Sena mau kok jadi teman hidup Dion."
Dion yang mendengar itu tersenyum senang, lalu mengacak-acak rambut beraroma stroberi itu.
"Lucunya," puji Dion gemas. Lalu meraih Sena dalam pelukannya. Mendekatkan kepala Sena ke d*danya, dan mencium puncak kepalanya. Sena selalu membuatnya gemas.
Sena tersenyum senang. Ia dapat mendengar suara detak jantung Dion yang berdegup cepat, mungkinkah jantungnya juga berbunyi sama?
Sena melingkarkan tangannya di pinggang Dion, membalas pelukan hangat itu.
Tok tok tok
"Sena."
Suara di luar menyadarkan gadis itu. Ia menelan ludahnya gugup. Tangannya pun terasa sedingin es. Padahal ia baru saja mengikat hubungannya dengan Dion, tapi kenapa se-malu ini.
Sena menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya. Setelah tenang, Sena membuka pintu kamar mandi. Terlihat Dion yang berdiri di depannya dengan tangan memegang gagang infus.
"Kamu kok lama banget."
"Ehmm ... iya."
"Aku takut kamu kenapa-kenapa di kamar mandi."
"Sena gapapa kok. Kenapa Dion jalan sendiri? Ga panggil Sena dulu. Kalau Dion jatuh gimana?"
"Aku udah kuat kok jalan ke kamar mandi."