Aku ikut kegiatan abdi sosial selama 12 hari. Aku harap kamu jaga kesehatan disana. Aku pasti rindu kamu, ku harap kamu juga.
Daniel yang duduk di atas ranjang, menghela nafas panjang membaca pesan singkat dari Chika. Mau gadis itu ada disini, atau tidak, Daniel pun tidak peduli. Toh, ia juga tidak mencintai gadis itu. Seluruh pikiran dan hatinya hanya untuk Davina.
Daniel tak membalas apapun, dan melempar ponselnya di atas ranjang.
"Hah, Davina kapan kamu kembali?" ucap Daniel mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar frustasi memecahkan masalah hilangnya Davina. Bukti temuan yang ia dapatkan seperti teka-teki yang belum terpecahkan.
Rekaman CCTV itupun belum menemukan titik terang. Layarnya blur ketika ia perbesar, alhasil ia sama sekali tidak bisa membaca plat mobil sang pelaku.
Daniel beranjak dari ranjang, menuju meja kerja yang terletak di samping tempat tidur. Meja kerja tersusun begitu rapi. Buku-buku saling tersusun beraturan di atas meja, hiasan pohon kaktus mini, jam alarm, dan- Daniel seperti menyadari sesuatu.
"Davina? Foto Davina kemana?" ucap Daniel panik. Ia telat untuk menyadari bahwa foto Davina menghilang.
Daniel mengacak-acak isi meja. Ia membongkar tumpukan buku yang tersusun. Membuka seluruh lari meja, dan mengeluarkan semua isi lacinya ke lantai. Namun nihil.
Daniel mengacak-acak kamarnya, melempar selimut ke lantai berharap ia teledor membawa foto Davina ke ranjang. Namun tidak ada juga.
Daniel panik. Ia merasa gila saat foto gadisnya hilang. Ia menunduk melihat ke kolong ranjang, jawabannya tetap sama.
"Foto Davina kemana?" Daniel menjambak rambutnya frustasi. Sorotan matanya mendadak sayu. Panik, frustasi, marah, dan gila.
Daniel kembali ke meja yang tadi, mencoba mencari sekali lagi.
"Davina ..." ucap Daniel lirih. Namun percuma saja, seluruh barang tentang Davina telah dibakar Chika - kekasihnya yang tak dianggap.
"Bibik! Pak Harto!" Daniel berteriak keras, membuat dinding rumah bergema.
Tak lama kemudian, datang bik Sari dan pak Harto yang berlari terbirit-b***t ke kamar Daniel. Tidak biasanya Daniel berteriak sekencang itu.
"Iya tuan Daniel ada apa?" tanya bik Sari.
"Kenapa tuan Daniel?" tanya pak Harto.
Mereka menatap Daniel yang terlihat berantakan. Rambut acak-acakan dengan raut wajah yang frustasi. Kamar seperti kapal pecah, tidak tahu bagaimana wujudnya.
"DAVINA KEMANA? DAVINA KEMANA?!"
Mereka saling bertatapan, apakah Daniel berhalusinasi. Jelas-jelas Davina telah hilang lebih dari seminggu yang lalu.
"Maaf tuan Daniel bukankah nona Davina memang ga pernah kesini lagi?" ucap bik Sari lembut.
"FOTO DAVINA YANG SAYA LETAKKAN DI ATAS MEJA SAYA KEMANA?! KEMANA?!"
Bik Sari dan pak Harto memejamkan mata, mendengar bentakan sekeras itu. Kerasnya hingga membuat dinding bergetar. Mereka menelan ludahnya susah payah, bingung harus mengatakan apa.
"JAWAB SAYA. JANGAN DIEM AJA. KENAPA FOTO DAVINA BISA HILANG? KALIAN TAU, KAN BETAPA BERARTINYA FOTO ITU BUAT SAYA?!"
"Tu-tuan," ujar pak Harto terbata-bata. Ia memilin bawah baju, ketakutan melihat Daniel semarah itu.
"Fotonya ..." ucap pak Harto menggantung.
*****
"Ayo semuanya istirahat dulu 20 menit, selambat-lambatnya 30 menit. Jam setengah lima harus sampai sini-" ucap Dion di depan microfon. Waktu sudah menunjukan jam ashar. Bagi yang belum sempat sholat zuhur, sholatnya bisa dijamak dengan sholat ashar.
Pintu depan dan belakang terbuka lebar, para penumpang turun satu persatu. Berisitirahat untuk ibadah, makan, ataupun ke toilet. Sebelum akhirnya perjalanan akan dilanjutkan lagi.
Dion mengembalikan mikrofon itu ke supir, "Makasih pak."
Dion memutuskan untuk turun dari bis. Namun saat ia turun, Chika sudah ada di depan pintu seperti menunggunya.
"Kak Dion istirahat bareng ya."
"Iya," Dion hanya mengangguk, lalu berjalan bersama Chika.
Sepanjang perjalanan Chika terus saja berceloteh, yang tentu saja Dion tidak menyimaknya. Pikirannya berkelana, pada gadis itu. Dion mengeluarkan ponselnya di balik mantel, mencari nomor w******p Mira.
Sebaiknya ia menelpon sekarang, karena ia pun tidak tahu apakah nanti akan ada sinyal di sana.
Dion berhenti berjalan, "Ngh Chika-"
"Iya?" jawab Chika yang juga ikut berhenti.
"Aku mau telepon sebentar ya-"
Chika mengangguk senyum, "Oke- aku tunggu."
Dion membalas senyuman tipis, lalu pergi menjauh sekitar 100 meter dari tempat Chika berdiri. Ia kembali menatap layar ponselnya, yang menampilkan nama Mira.
Sekilas Dion melirik sinyal di atasnya yang berkurang menjadi 3. Ya setidaknya mungkin bisa untuk menelepon sebentar.
Dion menekan tombol panggil. Dan meletakan ponselnya di telinga. Ia menunggu seperkian detik, hingga suara di ujung sana menyapanya.
"Halo Dion."
"Iya Mir."
"Kamu udah sampe?"
"Belum ... kayaknya malem. Ini aja udah 8 jam perjalanan masih di bis."
"Oh hati-hati ya."
"Iya ... Mir, Sena mana?"
"Sena? Oh ada di kamarnya lagi belajar. Bentar ya- aku ke kamarnya dulu."
"Iya," ucap Dion tersenyum tak sabar.
"Halo ..."
Jantung Dion mendadak berdetak cepat, dan juga lidahnya mendadak kelu saat mendengar suara lembut yang ia rindukan. Beberapa detik Dion mematung, hingga akhirnya ia tersadar.
"Halo ... halo Dion?"
"Oh iya halo Sena."
"Dion udah sampai belum?"
Dion tersenyum lebar. Ah hatinya senang sekali, "Belum-"
Bolehkah ia berlama-lama teleponan seperti ini? Tapi rasanya tidak mungkin mengingat waktu istirahat yang singkat. Jika ia adalah mesin waktu, ia rasanya ingin memberhentikan waktu lebih lama.
"Dion hati-hati ya disana. Sena nunggu Dion disini."
"Iya, Sena mau oleh-oleh apa?"
"Oleh-oleh, ehmm ... apa ya? Sena mau kelinci boleh?"
Dion mengernyit, "Kelinci? Sate kelinci?"
"Ya bukan atuh ... kelinci hidup. Sena mau melihara kelinci, lucu rasanya kalau di rumah ada peliharaan."
"Oke, nanti Dion cariin kalau ada ya. Terus apalagi?"
"Apalagi ya? Ehm- makanan enak."
"Oke."
"Aah Dion, kelinci nya dua ya jangan satu. Yang satu betina, satunya lagi jantan. Yang betina warna putih, yang jantan warna item. Kalau bisa ada t**i lalatnya biar manis, lesung pipi, atau dagunya kebelah juga oke."
"Oke. Terus?"
"Ehmm- nanti Dion bawain Sena kentaki ya. Yang d*da kiri, terus paha kanan, sayap kiri, ceker kanan, terus-"
"Buset- gimana cara bedain kanan kirinya Sena? Harus aku perhatiin dulu gitu?"
"Ih Dion, kan biar selang-seling makannya."
"Oke, terus?"
"Bawain Sena kaset Barbie, kartun, atau apapun yang lucu-lucu."
"Oke terus?"
"Terus Sena mau sampo yang Dion beliin untuk Sena waktu itu."
"Oke terus?"
"Terus-terus mulu. Emangnya Dion bisa inget?"
"Yaa engga si."
"Ih Dion!"
Dion terkekeh mendengar pekikan kesal Sena, lucu rasanya mengerjai Sena.
"Iya iya nanti aku ingetin."
"Dion ..." suara Sena mendadak berubah lebih murung.
"Hemm?" balas Dion lembut.
"Jangan lama-lama di sananya."
"Iya, aku sebentar ko cuma ... 12 hari aja."
"Ih Dion itu lama," protes Sena membuat Dion tertawa kecil.
"Janji ya jangan lirik cewe lain disana. Kalau Dion lirik cewe lain Sena marah."
"Iya ..."
"Dan juga ... Sena minta maaf sama Dion, udah marah."
Dion tersenyum, "Ga minta maaf juga gapapa ko sebenarnya. Aku yang salah sebenernya."
"Dion?"
"Hemm?"
"Sena ga mau putus. Sena mau sama Dion terus ..."
Dion tersenyum lebar, "Iya Sena aku juga ga mau putus dari kamu."