Chika terus saja berpikir tentang gadis yang ia lihat. Kalau itu benaran Davina bisa tamat riwayatnya. Daniel pasti akan kembali mengejar wanita itu.
"Engga engga! Itu pasti bukan Davina. Itu cuma orang lain yang mirip."
Chika terus menyangkal. Tak percaya.
"Ga mungkin orang mati hidup lagi."
Chika sampai di toilet wanita. Ia pun masuk ke salah satu bilik. Bahkan sampai ia melakukan kegiatannya, ia selalu ingat Davina. Persetan dengan pikirannya. Ada apa dengan otaknya sekarang.
Gadis yang mirip dengan Davina benar-benar mengusik ketenangannya.
Kret..!
Dari dalam bilik toilet, Chika mendengar seseorang masuk. Namun ia hanya biasa saja, namanya juga toilet umum.
Setelah selesai, Chika pun keluar dari bilik. Saat keluar, ia terkejut melihat seorang wanita sedang mencuci tangan di wastafel. Dari belakang model rambut dan postur badannya mirip Davina. Kenapa seharian ini ia selalu menemukan orang yang mirip Davina.
Chika pun melangkah mendekat, menyejajarkan posisinya dengan gadis yang masih menunduk cuci tangan. Tanpa ragu ia pun memanggil wanita yang pernah menjadi mantan sahabatnya.
"Davina."
"Lo Davina,kan?!"
Chika menepuk pundak wanita itu tanpa ragu. Wanita itu mematikan keran dan menoleh ke arah Chika.
Sontak Chika menganga terkejut, jantungnya terasa berhenti berdetak. Tidak salah tebakannya. Dia benar-benar Davina.
Namun reaksi gadis itu di luar dugaan Chika. Harusnya Davina mengenal Chika, namun Davina malah tidak mengenalinya.
"Davina? Davina siapa?" wanita itu menaikan satu alis, bingung.
"Iya lo Davina! Lo masih hidup?! Bukannya lo udah mati?!"
"Aku bukan Davina. Kamu salah orang."
"Engga! Gue gak mungkin salah. Lo itu Davina!"
"Aku Sena, bukan Davina."
"Gak. Gak mungkin. Lo itu Davina. Lo itu udah mati. Kenapa lo masih hidup? Harusnya lo udah mati 3 hari yang lalu."
Drrtt..!
Tiba-tiba saja getaran ponsel Chika memecahkan suasana. Chika menatap layar ponselnya. Ia terkejut membaca nama yang terpampang di layar.
Daniel.
Dengan sikap waspada Chika menggeser layar, mengangkat panggilan itu. Matanya yang seperti elang tetap mengintai Sena tak akan membiarkan wanita itu lolos.
"Hal-halo," ucap Chika terbata-bata.
"Chika kamu dimana? Lama banget ke toilet. Aku susul ya."
Mendengar ucapan itu, membuat Chika panik setengah mati. Bagaimana tidak, jika Daniel kesini bisa-bisa pria itu akan bertemu Sena.
"Ga, gak usah. Sebentar lagi- aku udah siap kok. Ada urusan yang harus aku selesaikan."
Pip!
Chika mematikan sambungannya. Dan kembali membuat perhitungan yang tertunda. Chika menatap Davina tajam, mengibarkan bendera permusuhan.
Tatapan Chika tak sama lagi seperti dahulu. Dimana Chika selalu menatap Davina lembut dan ramah.
Brak..!
Chika mendorong Davina keras hingga membentur dinding. Membuat wanita itu meringis kesakitan.
"Aw."
"Sena salah apa?"
"Gak usah pura-pura lupa. Ini rencana lo, kan mau hancurin gue? Setelah lo rebut Daniel dari gue."
"Sena ga tau maksud kamu."
"Ga ada pertemanan di antara kita, Dav."
Klek..!
Chika melingkarkan tangannya di leher Davina, mencekik leher gadis itu kuat-kuat dengan kuku jarinya. Berulang kali Davina menepuk-nepuk tangannya, namun Chika malah semakin mengeratkan.
"Lep-lep-lepashh …"
"Ga akan gue biarin lo ketemu Daniel ataupun dunia ini."
Chika mengeratkan cekikannya.
Brak..!
"Apa yang kamu lakukan?"
Chika terlempar ke belakang, saat seorang wanita yang tak dikenal mendorongnya secara paksa. Cekikan itu terlepas, dan Davina terjatuh ke lantai.
"Si*l," rutuk Chika marah.
"Uhuk uhuk."
Davina terbatuk-batuk.
"Apa yang kamu lakukan? Kamu bisa membunuhnya."
"Bukan urusanmu."
Chika mencoba menyerang Davina kembali, namun tubuhnya ditahan wanita tak dikenal.
"Lari!"
Teriakan wanita itu membuat Davina yang akan lenyap di tangannya sebentar lagi malah kabur.
"Bukan urusan lo brngsek."
Chika mendorong wanita tak dikenal itu hingga terlempar ke lantai.
Chika mengejar Davina seperti orang kesetanan. Ia bersumpah, tidak akan pernah membiarkan gadis itu lolos.
"Ga akan gue biarin lo hidup!"
Chika mengejar Davina sepanjang jembatan Le Bridge. Kemanapun Davina pergi selalu dalam ingatannya.
Chika mempercepat larinya, ia tak akan membiarkan Davina lolos kedua kalinya. Ia benar-benar gerah melihat Davina masih hidup. Angan yang ia ciptakan, runtuh seketika.
Davina berulang-kali tak sengaja menabrak bahu penghuni jalan demi menghindari kejaran Chika.
"Sini lo cewek murahan!"
Saat Chika mengejarnya tiba-tiba saja Davina terjatuh. Hal itu tentunya membuat keuntungan bagi Chika.
"Sakit, hiks hiks Dion …"
"Hahaha sakit ya?" ucapnya tertawa mengejek menatap Davina yang kesakitan. Wajah dan lututnya penuh luka goresan jembatan.
Chika menyilangkan lengannya di depan d**a, menikmati pertunjukan ini.
"Huuu kasian …"
Chika berjongkok, menarik rambut Davina kuat-kuat, "Ini belum seberapa. Lo akan mendapatkan apa yang pantas untuk didapatkan."
"Sakit … hiks hiks hiks Sena salah apa sama kamu?"
"Sena Sena Sena. Ga usah sok-sokan ganti nama biar gue kasih ampun. Lo pikir gue b**o apa gampang lo tipu!"
Chika menjambak rambut Davina kuat-kuat, memaksa gadis itu berdiri. Ini sudah saatnya kisah hidup antara Chika, Davina, dan Daniel berakhir.
Chika mendorong Davina ke pembatas jembatan. Mengintimidasi gadis itu.
"Ucapkan selamat tinggal, Dav."
"Engga, gak mau. Jangan."
Davina melihat ke arah laut, ia terus menggeleng ketakutan, mencoba melepaskan diri. Namun tentu saja tenaganya tidak sebanding.
"Selamat tinggal Dav."
Byurr…!
Tanpa aba-aba Chika mendorong sahabatnya sendiri hingga terjatuh ke laut.
"Dadah Dav, selamat menikmati hari terakhir lo," ucap Chika tersenyum miring, lalu pergi meninggalkan Davina yang tenggelam.
Davina terus berteriak minta tolong, namun Chika menulikan pendengarannya.
Chika pun kembali ke meja tempat ia dan Daniel duduk. Namun ia sengaja lewat depan meja Davina. Benarkan. Orang yang ia lihat sedang makan bersama pria itu adalah Davina.
Chika menatap pria yang sedang makan steak. Pria yang pergi bersama Davina. Diam-diam Chika memfoto tanpa sepengetahuan pria itu. Lalu kembali ke mejanya. Dimana Daniel telah menunggunya daritadi. Jika seandainya ia tidak melenyapkan Davina, mungkin Daniel akan melihat gadis itu.
Tapi sekarang ia sudah tenang. Tak ada lagi nama Davina.
Kata orang, dunia itu tak selebar daun kelor. Dan ungkapan itu benar. Takdir kini sedang berpihak padanya. Ia kembali bertemu dengan pria yang ia lihat di kafe bersama Davina.
Entah bagaimana kejadiannya pria itu dikejar-kejar satpam, tiba-tiba saja pria itu menabrak Chika saat ia sedang membawa tumpukan buku.
Brak..!
Buku itu pun berjatuhan. Pria itu membantu Chika merapikan bukunya.
"Nih bukunya, maaf soal satpam tadi."
Pria itu menyodorkan sekumpulan buku ke arahnya.
"Iya gapapa."
Chika mendekap erat buku-buku itu. Matanya tak lepas dari pria itu. Yang sangat tampan di matanya.
"Ngomong-ngomong kenapa satpam itu ngejar kamu?"
"Telat."
Pria itu tersenyum, "Iya- ngomong-ngomong gue minta maaf banget soal kejadian tadi."
"Iya gapapa kok-" ucap Chika selembut mungkin.
Dion mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan, "Dion."
Chika menerima uluran tangan dari ketua BEM yang populer di kampus, "Chika."
Chika tahu Dion adalah ketua BEM. Namun ia tidak menyangka jika pria yang bersama Sena adalah Dion sang ketua BEM.
Awalnya ia menyangka Dion yang ia lihat di kafe hanya mirip saja dengan ketua BEM di kampusnya. Namun ternyata, orang yang sama.
Chika ingat bagaimana Davina meronta-ronta menyebut nama Dion, dan Sena. Entah Davina atau Sena, ia ingin orang itu tidak pernah bertemu dengan Daniel lagi.
Ia pikir Davina telah mati, namun ternyata masih hidup. Saat ia menyewa Dimas sebagai Mak comblang, ia mendengar dari mulut Dimas bahwa Dion menyukai seorang gadis bernama Sena.
Dari situ Chika yakin Davina masih selamat.
Jika cara itu tidak bisa menghilangkan Davina. Maka ia akan mengambil Dion, untuk menghancurkannya perlahan-lahan.