"Dion ayo sekolah."
"Astagaa," ucap Dion terkejut, saat melihat kepala Sena yang melongok di depan kamar mandi. Entah sejak kapan.
Hampir saja Dion tersedak busa popsodent.
Dion membuang semua busa yang memenuhi mulutnya di wastafel, dan menyalakan keran membersihkan mulutnya.
"Dion Dion! Ayo sekolah!"
"Sena udah ga sabar."
Sena meloncat-loncat kegirangan, dengan pakaian rapi. Kemeja putih, rok berwarna merah marun selutut, sepatu hitam, dan tak lupa sebuah tas ransel pink bergambar maripossa telah bertengger di punggung gadis itu.
"Dion janji, kan mau masukin Sena sekolah?"
Dion mematikan keran, lalu menoleh ke arah pintu, "Sena berapa kali aku bilang. Kamu boleh sekolah kalau udah sehat. Kamu aja masih muntah-muntah dan panas. Mau sekolah gimana."
"Yaaaah," Sena mendadak lesu, "Sena udah ga sabar."
Bukan hanya itu saja, di lain kesempatan. Sena selalu menghujaninya dengan kalimat sekolah setiap saat, setiap waktu, setiap menit. Sampai Dion kepusingan sendiri.
Bahkan saat Dion mandi, Sena sempat-sempatnya mengetuk pintu.
"Dion, Sena boleh masuk ga?"
"Enggaaa lah, Sena!" teriak Dion terkejut.
"Kita, kan belum sah!"
"Yaah padahal Sena cuma mau nanya," jawab Sena polos.
"Nanya, kan bisa dari luar. Ga harus masuk. Emangnya mau nanya apa?"
"Sena kapan sekolah?"
"Ya ampun itu lagi."
"Kan Dion udah janji mau ajakin Sena sekolah."
"Iya Sena nanti, ga sekarang."
"Yaaah," Sena mengerucutkan bibirnya.
Bukan hanya itu saja, di lain kesempatan, Sena juga menanyakan itu.
Dion yang tadinya hampir tertidur, tiba-tiba terjaga saat mendengar suara di sampingnya.
"Dion Sena besok sekolah, kan?"
"Hah," Dion menghela nafas panjang. Dan kembali terlelap.
Dion menarik selimutnya sampai menutupi kepala. Mengubur dirinya dari Sena.
Tapi nyatanya tidak semudah itu.
"Besok Sena masuk jam berapa?" tanya Sena ikut masuk ke dalam selimut.
Dion yang terlanjur mengantuk, dan terlalu lelah. Memilih tak meladeni. Dion memiringkan badannya ke kanan, namun pertanyaan itu tak berhenti sampai situ.
"Dion, kalau ke sekolah harus bawa buku berapa ya?"
"Nanti kalau Sena sekolah, temen-temen Sena banyak ga ya?"
"Emm …" Sena mengusap-usap dagunya, "Pasti banyak, soalnya, kan Sena ga jahat."
"Iya, kan Dion?"
"Hmm," gumam Dion.
"Kalo gitu Sena boleh sekolah dong besok?"
Sena terus mengatakan sekolah, sampai akhirnya Dion benar-benar frustasi.
"Ga boleh Sena … ga boleh," jawab Dion penuh penekanan, "Kamu masih sakit."
"Yaaah," lagi-lagi nada bicara Sena diakhiri dengan kekecewaan, "Ga sekolah lagi …"
Seminggu kemudian.
Dion berjalan dengan damai di lobi parkir, mencari mobil mewahnya yang paling mencolok di antara mobil yang lain. Tentu saja, bagaimana tidak. Yang memiliki mobil jenis itu hanya lima orang di dunia, dan salah satunya, ada dua orang Indonesia. Dion, dan satu lagi yang Dion tidak kenal. Yang pasti orang itu bukanlah orang sembarangan.
Jangan bayangkan harganya.
Karena harganya sama sekali tidak ekonomis, melainkan membuat dompet meringis.
"Hah? Glenn?" Dion mengernyitkan dahi menerima panggilan dari Nanda. Teman tongkrongannya.
"Ga tau," jawab Dion.
"Ngilang gimana?"
"Biasanya, kan Glenn lebih aktif nongkrong sama lu lu pada daripada sama gue. Gue ke basecamp jarang banget."
"Iya gue emang deket sama Glenn, tapi akhir-akhir ini gue ga ada what's upp-an lagi sama Glenn. Dua mingguan ini lah."
"Mungkin Glenn lagi sibuk bikin skripsi."
"Hemm, mungkin."
"Oh ya udah, entar kalo ketemu Glenn gue kabarin."
"Oke. Bye."
Dion memasukan ponselnya di saku celana. Dan berhenti di depan mobil mewahnya.
Piip piip
Mobil seketika berbunyi saat Dion menekan tombol di bagian kunci. Dion membuka pintu mobilnya, dan melangkah masuk.
"Hah, waktunya kuliah lagi," ucap Dion bergumam sendiri, kemudian menarik sabuk pengaman yang terletak di pinggir dinding mobil.
"Sena gapapa, kan ya kalau ditinggal sendiri? Gapapa kayaknya. Nanti suruh Mira aja ke rumah."
"Sena gapapa kok. Kan Sena ikut Dion."
"HAH?!"
Dion membulatkan matanya terkejut. Bagaimana tidak, di lobi parkir yang sepi, gelap, hampa, dan sunyi gini ada yang menjawab ucapannya. Padahal Dion hanya berkata sendiri saja.
"Dioooon."
Dion menoleh, "Ha?" terkejut setengah mati.
"Sena?"
"K-k-kok bisa ada di sini?" Dion mengerjapkan matanya berkali-kali, berusaha menyadarkan pikirannya. Bahwa yang di depan bukanlah hantu.
"Aku ga mimpi, kan? Atau ini hantu?" Dion menepuk pipinya berkali-kali, "Tapi sakit. Bukan mimpi berarti."
"Kamu Sena kan?"
"Iyalah Dion, ini Sena."
"Kok kamu bisa ada di mobil?" ucap Dion masih terkejut.
Sena tersenyum riang, seperti orang tanpa dosa, "Kan Sena ngikutin Dion dari belakang."
"Ngikutin aku? Kapan? Kok bisa? Kok aku ga ngeliat kamu?"
"Kan Dion telponan mulu. Jadi ga liat sena, hehehe."
Dion mengacak-acak rambutnya frustasi, "Kamu ngapain ikutin aku, Sena? Aku, kan mau kuliah."
"Kan Sena mau ke sekolah bareng Dion."
"Sekolah?"
Sena mengangguk senang, "Ho'oh, kan Dion udah janji."
"Tapi, kan ga sekarang."
"Iiih Dion mah, Sena kan maunya sekarang. Sena bosen di rumah," jawab Sena mengerucutkan bibirnya.
"Masalahnya sekolah yang cocok buat kamu belum ketemu sayang …" ucap Dion melunak.
"Sena marah sama Dion," ucap Sena memanyunkan bibirnya.
"Padahal Sena udah nyiapin bekel, Sena ngambil bubur yang Dion hangatin di panci."
Dion menurunkan tatapannya. Menatap Sena yang menggenggam kotak bekal berwarna hijau tosca. Dan juga botol minum yang digantung di leher.
Dion menghela nafas dalam, "Yaudah kalau gitu. Kita cari sekolahan untuk kamu."
"Yeeeeey!"
Sena bersorak riang, dan penuh semangat.
Kalau Sena udah cemberut gitu, Dion mana bisa nolak.
*****
"Dion, sekolahan Sena yang baru kayak apa?" ucap gadis itu penuh semangat. Ah ia tidak sabar, merasakan suasana baru. Dan sekolah baru.
Dion menggigit bibirnya, "Emm apa ya? Kita cari dulu yang cocok buat kamu," jawab Dion sambil menyetir.
"Sena maunya sekolahan yang temennya banyak."
Jawaban polos Sena membuat Dion terkekeh, "Dimana-mana sekolah mencari ilmu yang banyak Sena. Masa cari temen yang banyak."
"Kan kalau Sena banyak temen. Sena bisa main. Bisa belajar. Kayak Dion. Dion punya Mario dan guru."
Dion tertawa kecil, "Mario dan Mira, kan temen kamu juga."
"Tapi Sena mau temen yang baru, pasti menyenangkan."
Sena tersenyum ceria layaknya puppy yang lucu dan lugu.
"Kamu mau masuk sekolah seni lagi?"
Sena mengangguk, "Mau."
"Sekolah musik?"
"Mau."
"Sekolah formal?"
"Mau," Sena mengacungkan jempolnya.
Dion tertawa, "Kamu mau semua jawabnya."
"Abisnya Sena bingung mau sekolah apa."
"Gimana kalau kita liat dulu satu-satu? Mana yang cocok."
Sena bertepuk tangan gembira, "Okeeeeee."
*****
"Belakangan ini aku liat kamu murung terus, kak."
Dewi meletakan teko berlapis emas, dan juga cangkir kecil dua buah yang terbuat dari keramik di depan meja Diana.
Dewi pun ikut duduk bersama Diana di balkon. Dari sini mereka bisa melihat pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan burung yang berterbangan.
Angin sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambut mereka.
Dewi menuangkan teh hijau Jepang ke cangkir kecil, lalu memberikannya ke Diana, "Minum dulu.
Diana mengangguk lemah menerima cangkir, kemudian meneguknya.