PART 68 - DITEMBAK CHIKA

1023 Words
"Makasih banyak dek," ucap ibu paruh baya menghapus air matanya yang menggenang di pelupuk, setelah menerima uluran satu kantong bansos dari Glenn. "Iya bu sama-sama," jawab Glenn tersenyum. "Makasih, makasih banyak. Udah bantu ibu," jawab ibu itu terharu. "Iya bu sama-sama. Semoga berkah ya buat ibu sekeluarga." "Aamiin aamiin." "Kak Glenn, bu … ayo hadap ke kamera," ucap Erick menaikan kamera DSLR-nya menyoroti mereka berdua. Glenn dan ibu itu menghadap ke kamera, dengan satu kantong plastik bansos dalam genggaman ibu itu. Erick memutar lensanya perlahan, "Satu … dua- ti … ga." Cekrek…! "Makasih, makasih dek." "Iya bu, sama-sama, jangan bilang makasih terus, gapapa kok, ini bantuannya ga seberapa," ucap Glenn merendah, dan menerima jabat tangan dari ibu parah baya itu. Erick melihat hasil gambarnya. Sangat jernih. Untunglah tidak blur. Gambar ini akan menjadi bukti dokumentasi, dan akan menjadi bukti pertanggungjawaban mereka. Bahwa mereka benar menjalankan tugas, dan membagikan bansos secara merata. Tidak ada yang curang, mengambil bansos untuk kepentingan pribadi, ataupun korupsi. Semua kegiatan mereka diawasi oleh pihak kampus, dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. "Boleh ibu buka, dek?" "Oh silakan bu," ucap Glenn tersenyum. Sang ibu membuka kantong plastik hitam itu. Matanya berbinar cerah melihat isi di dalamnya. Minyak goreng 10 liter, 2 sabun mandi, 1 kg gula, dua buah teh celup, 2 buah cemilan roti regal, 10 telur, dan 5 bungkus mie. Glenn daritadi tersenyum menatap raut bahagia dari wajah ibu itu. Ia jadi mengerti, kenapa ibu sesenang itu. Padahal isinya tidak terlalu banyak, dan juga tidak istimewa. Tapi mungkin perasaan mereka sangat berbeda dengan perasaan kita. Hal yang kita anggap biasa saja, bisa jadi sangat berharga bagi mereka. Hal yang menurut kita mudah dibeli, bisa saja sulit bagi mereka. Hal yang kita ukur murah, barangkali mahal bagi mereka. Dari situ Glenn sadar, bahwa kita tak bisa menyamaratakan kebahagiaan orang lain. Sama seperti ini, jika kita mudah mendapatkan uang 10 ribu, mungkin akan biasa saja jika di kasih uang segitu oleh orang lain. Tapi jika kita memberikan uang 10 ribu, pada anak-anak miskin yang penghasilannya kurang dari 10 ribu. Bisa saja 10 ribu itu sangat bermakna baginya. Apa yang kita anggap biasa saja, bisa jadi mewah bagi orang lain. "Makasih banyak dek, makasih." "Iya bu sama-sama. Sehat-sehat ya ibu dan sekeluarga," doa Glenn tulus. Mobil pick up berwarna putih terlihat berhenti di depan jalan rumah ibu itu. Glenn, Erick, dan ibu itu menatap mobil pick up yang berisi 200 karung beras. Salah satu panitia BEM turun dari mobil pick up, menuju box belakang. "Hati-hati Jhon!" teriak Erick keras. "Oke," sahut Jhon. Setelah Dion dan Chika pergi ke kampung sebelah. Glenn mengkordinir mereka semua. Ia membagi-bagikan tugas. 3 orang pria bertugas membagi-bagikan beras ke seluruh kampung dengan mobil pick up. Dimana, satu orang menjadi supir, satu orang menjadi kenek, dan satu orang lagi berdiri di belakang box pick up bertugas menurunkan beras. 4 orang wanita menetap di pondok. Menjaga Dimas sambil menyiapkan makan malam. Dan sisanya, membagi-bagikan bansos ke rumah-rumah. Agar cepat selesai, Glenn memerintahkan untuk pembagian bansos dilaksanakan 2 orang, dengan membawa 10 kantong jumbo berisi bansos. "Hati-hati Jhon, jangan sampe jatuh," ucap salah satu anggota BEM yang menurunkan beras ke arah Jhon. "Yoi," jawab Jhon singkat, menerima uluran beras dari tangan temannya. Jhon pun menggendong beras itu di lengannya, dan sedikit berlari menuju rumah ibu itu yang berjarak kurang dari 100 meter, dari tempat mobil pick up. "Ada beras juga?" ucap ibu terkejut, ia pikir hanya bansos saja. Diberi sembako, juga lebih dari cukup. Ia tak berpikir akan diberikan beras se-karung. Glenn tersenyum, "Iya bu." "Ini bu, berasnya," ucap Jhon setelah berada di sampingnya. "Dokumentasi dulu Jhon." "Oke," jawab Jhon. Jhon, Glenn, dan ibu itu merapatkan posisinya, dan menatap ke arah mereka. Erick menaikan kameranya mengambil gambar., "Satu, dua, ti-ga." Cekrek..! ***** "Kak, pelan-pelan ka," ucap Chika sedikit takut, ia memegang erat baju Dion. Pasalnya jalanan disini begitu hancur. Licin, berlumpur, berlubang, banyak batu-batu. Benar yang dibilang pak Mukhlis tadi. Harus hati-hati lewat sini. "Aku udah pelan-pelan padahal." "Aaaaaaa," Chika berteriak saat Dion menerobos batu besar, membuat tubuhnya terhuyung ke depan. Ia pun melingkarkan tangannya erat di pinggang Dion. Wangi parfum Dion menyeruak di hidungnya. Chika menempelkan pipinya di punggung Dion. Memeluk Dion erat. Dion agak sedikit terkejut, dan bingung harus bereaksi seperti apa. Ia agak sedikit tidak nyaman jika ia mengingat ia sudah milik Sena, tapi pada akhirnya, Dion membiarkan Chika memeluknya. Toh, ia juga tidak macam-macam sama Chika. Dan juga ehm- tidak ada perasaan apa-apa. Hanya sebatas senior-junior saja. "Kamu ... takut?" tanya Dion pelan. Chika mengangguk, dengan tangan yang masih menempel di pelukan Dion, "Iya." "Ooh," jawab Dion singkat. "Gapapa, kan aku peluk kakak?" Pertanyaan yang sulit untuk Dion jawab. Mau bilang iya, ia sudah milik Sena. Mau bilang tidak, jalanan tidak mendukung. Akhirnya ia hanya menjawab dengan ucapan lain. "Kok kamu nanya gitu?" "Ya, kan siapa tau aja, ada yang cemburu kalo aku peluk kakak kayak gini." Dion menghela nafas, "Yaa, karena jalanannya begini. Aku izinin aja. Tapi kalo jalanannya udah mulus, ga boleh." "Kalo aku ga mau gimana?" "Lah? Kok jadi kamu yang mau?" "Ya, kan gapapa," ujar Chika santai, "Tipe ... cewek kakak kayak gimana sih?" "Tipe aku? Yang pasti cewe, matanya dua, hidungnya satu-" jawab Dion sedikit bercanda. "Ya iyalah kak Dion pasti semua orang maunya begitu! Ih serius tau aku nanya-nya." "Emang kenapa kok nanya-nanya tipe?" "Yaa, gapapa. Nanya aja, emangnya ga boleh ya?" "Mau jadi tipe aku emangnya?" tanya Dion iseng. "Ih geer," ucap Chika tersenyum manis. Dion hanya tertawa kecil. "Kak Dion tau ga sih? Kak Dion itu populer banget di kampus." "Masa sih? Aku ga tau," sahut Dion fokus mengayuh sepedanya. "Iya, cewek-cewek di kampus selalu ngomongin kak Dion. Katanya kak Dion ganteng, calon dokter, terus baik juga- banyak deh pokoknya." "Hehehe, oh gitu ya? Ga nyangka aku sepopuler itu." "Makanya aku beruntung deket sama kakak. Aku kira kakak sombong awalnya ternyata baik juga." "Waduh ... makasih pujiannya," sahut Dion, "Aduh, ga ada recehan lagi ..." ucap Dion bercanda. "Ih kak Dion mah," sahut Chika sebal. "Kak Dion?" "Hmm?" "Kira-kira aku masuk tipe ideal kakak ga?" "Ha? Maksudnya?" sahut Dion bingung. "Kakak mau ga kita lebih deket dari ini?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD