PART 22 - KEDATANGAN TAMU TAK DIUNDANG

1153 Words
Dua orang misterius berjalan mengendap-endap di depan apartemen Dion. Memakai jubah hitam, kacamata hitam, masker hitam. Dan topi hitam untuk melengkapi penyamaran mereka. Dengan pakaian kembar yang mereka pakai dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan wajah yang ditutup sempurna, mereka sulit untuk dikenali. Mereka menengok kanan-kiri memastikan keadaan aman. Dua orang yang menutupi identitasnya, berjalan pelan-pelan mendekati pintu. "Apa cara ini bakalan berhasil?" ucap salah satu si jubah hitam ragu. "Berhasil, tenang aja." "Gimana kalau ada orang yang liat kita?" "Ga akan, udah tenang aja. Semuanya aman terkendali." "Kamu benar-benar yakin, Wi … Dion udah punya istri?" "Yakin 100℅." Sementara sang pemilik apartemen mengistirahatkan tubuhnya di sofa setelah memadamkan api selama 15 menit. Dion menyandarkan punggungnya yang lelah. Seharian mengurusi rapat paripurna sampai sore, dan insiden kebakaran di dapurnya. Dion memejamkan mata sejenak. Sena yang merasa bersalah, duduk di samping pria itu, hatinya tidak tenang, "Dion maafin Sena ya. Dion marah ya?" "Engga Sena, kamu udah berapa kali minta maaf." Sena meraih tangan Dion yang bebas, dan memainkan jari-jari besar pria itu, "Gara-gara Sena dapur Dion jadi kebakaran." Dion menghela nafas, memejamkan matanya rapat-rapat, membiarkan Sena memainkan jari-jarinya, "Iya Sena … tapi janji sama aku, kamu ga akan nyentuh dapur lagi." Sena mengangguk lemah, "Iya." Dion membuka mata. Menatap gadis di sebelahnya yang menekuk wajah, sedih. Dion mengulurkan tangannya mengacak-acak rambut gadis itu, "Udah jangan cemberut," ucap Dion memberikan ketenangan. Sena menegakan wajahnya, menatap pemilik bola mata terindah berwarna cokelat karamel, "Tapi Dion ga marah, kan?" "Engga." Dion menegakan tubuhnya, "Daripada mikirin kejadian tadi, mendingan kita makan martabak, mau?" tawarnya. Mata Sena bersinar cerah, "Mau mau!" "Tadi aku beli sebelum kesini." Dion meraih plastik putih yang berada di atas meja. Lalu membuka ikatan plastiknya. Setelah pulang dari kampus, Dion mampir sebentar ke martabak pangkalan di belakang kampus. Meskipun murah, tapi rasanya sangat enak. "Waaah," Sena bertepuk tangan kagum saat Dion membuka kotak martabak. Martabak itu telah terpotong menjadi 6 bagian, dan wanginya sangat harum. Dion membeli 3 kotak martabak. Yaitu rasa full keju, cokelat kacang, dan cokelat keju. "Ayo Sena makan," Dion mengambil martabak keju favoritnya. "Iya," Sena bertepuk tantan riang, dan mengambil martabak rasa cokelat kacang. "Emm," gumam mereka menikmati makanan khas Bangka Belitung. Kudapan yang terbuat dari adonan tepung terigu yang dipanggang di atas loyang dengan api panas medium. Martabak manis ini nama aslinya Hok Lo Pan, diciptakan oleh warga keturunan Tionghoa. Duk! Dak! Duk! Dion menghentikan makannya, "Suara apa itu?" Sena menggeleng, "Ga tau, tapi kayaknya dari arah pintu." Dion mengiyakan setuju, ia memang mendengar suara keras itu dari arah pintu. Dion meletakan martabak kejunya di atas kotak, dan meraih tisu. Mengelap tangannya. Lalu berjalan menuju pintu utama. Semakin ia mendekat, suaranya semakin keras. Dion sampai di depan pintu, ia membuang tisunya ke tong sampah yang terletak di samping rak sepatu. Duk! Dak! Duk! "Suara apa ini?" Dion mendekatkan telinganya di daun pintu. Terdengar suara ribut-ribut di luar. "Aku duluan." "Aku! Pokoknya aku dulu." "Aku duluan, kan aku yang kasih tau kalau Dion punya istri." "Dion punya istri?" ucap Dion bingung, kemudian menjauh dari pintu. Dion mencoba mengingat-ingat oknum yang pernah berpikiran kalau ia punya istri. Syaraf-syaraf otaknya saling tersambung bekerja sama menggali memori masa lampau. Selang beberapa lama, Dion tersadar. "Tante!" ucap Dion menebak. "Ini pasti Tante. Ga ada orang lain lagi." Hanya tantenya lah yang memergoki Dion membeli pakaian dalam untuk Sena di mall. Dion kembali mendekatkan telinganya di daun pintu. Dari suara yang ia dengar ada 2 orang. Dion mencoba mengecek kembali, bahwa pendengarannya tidak bermasalah. Ia yakin ada orang selain tantenya. "Kalau kita rebutan gini, kapan selesainya? Kita, kan kesini mau menyelidiki istrinya Dion." "Aku ibunya, aku harus orang pertama yang liat calon mantuku." "Aku duluan." "Engga! Aku yang duluan." "Mama …" Dion menganga lebar, tak percaya. "Ini beneran Mama?" Dion memegang kepalanya, "Gawat!" Dion menghidupkan kotak layar di samping pintu. Kotak layar yang tersambung langsung dengan CCTV dan bel. Dari kotak layar kita bisa melihat siapa orang yang berdiri di depan pintu apartemen. Dan dari kotak layar, kita bisa mendengar percakapan dari luar pintu. Dugaan Dion benar. Dari kotak layar, terlihat tante dan mamanya sedang berebutan. Mereka saling dorong-mendorong, hingga tubuh mereka terbentur mengenai pintu. Itulah sumber dari bunyi Dak! Duk!. Mereka meributkan siapa yang duluan mengintip di celah pintu. Dion mematikan kotak layarnya, "Gawat! Gawat! Mati gue." Dion mengacak-acak rambutnya, frustasi. "Jangan sampai mama tau ada Sena disini." Dion lari berhamburan menuju ruang tamu. Terlihat Sena yang masih santainya memakan martabak cokelat kacang. Dion menarik tangan kiri gadis itu, "Sena pokoknya kamu ikut aku." Sena yang terkejut menjawab, "Ha? Ikut kemana?" "Udah ikut aja." Dion menarik lengan Sena terburu-buru. Hingga gadis itu berdiri. "Tapi, kan martabaknya belum abis." "Udah bawa aja." Sena membawa kotak martabak cokelat kacang. Rasa kesukaannya. Dion menarik Sena ke dalam kamar Sena. Lalu menutup pintunya buru-buru. "Sena pokoknya kamu ga boleh keluar kamar sebelum aku suruh, oke?" ucap Dion memberikan wejangan. Sena yang sedang mengunyah martabak berhenti, "Emangnya kenapa Dion?" "Udah ssutt, pokoknya kamu nurut aja kali ini, oke?" Sena terdiam berpikir, membuat Dion memohon, "Ayolah Sena please please, yah yah yah?" Dion menggesekkan kedua telapak tangannya. "Oke." Dion mengusap puncak kepala Sena, "Good girl." Dion keluar dari kamar Sena, dan menutup pintunya. Sena duduk di atas ranjang, sibuk mengunyah martabak cokelat kacangnya yang kini sisa 3. Pipinya celemotan penuh cokelat. Dion berdehem sebentar, menyiapkan mentalnya sebelum membuka pintu. Mental, telinga, hati, otak, dan pikiran harus disiapkan sebelum diserbu oleh dua oknum di luar. Dion menarik nafas dalam-dalam, kemudian buang. Merasa sudah siap akan segala tekanan di depan mata. Yang akan siap menyerangnya, menerkamnya, dan menjajahnya. Dion membuka pintu apartemen lebar-lebar. Namun dua wanita itu malah terjatuh. "Aduh aduh aduh." "Aduh pinggangku encok." "Loh? Kalian ngapain di bawah?" ucap Dion bingung. Sesaat sebelum Dion membuka pintu. Mereka menempelkan telinganya di depan pintu berusaha menguping. Karena celah-celah pintu terlalu kecil untuk mengintip. Namun saat mereka asyik-asyiknya menguping, tiba-tiba pintu terbuka lebar, membuat mereka jatuh tersungkur di lantai. Salah satu wanita berjubah hitam membuka maskernya, "Ngapain di lantai? Kamu ngapain buka pintu tiba-tiba hah?" ucapnya kesal, sambil memegang pinggangnya yang terasa patah. Dion menggaruk rambutnya yang tak gatal, "Yaa … Dion mana tau ada mama di depan. Lagi mama sama tante ngapain sih di depan pintu kayak orang bener. Pake hitam-hitam semua udah kayak maling." Buk..! Satu topi mendarat di wajah Dion. Lemparan dari Diana, Mama Dion. Mereka berdiri sambil memegang pinggang yang nyeri. "Mama denger dari tante kamu katanya kamu punya istri? Mana istri kamu? Mama mau ketemu." "Istri? Ga ada ma. Dion ga punya istri." Tante Dewi memutar telinga keponakannya, "Ga ada, ga ada. Jangan lie ya Dion … waktu itu tante ngeliat kamu beli semua ukuran bra di mall. Itu untuk siapa?!" Lie = bohong (Dibaca lai) "Aduh aduh," Dion meringis kesakitan, jeweran dari tante Dewi selalu juara dari segi kekuatan. Mampu melumpuhkan lawannya sampai ke urat syaraf. Putarannya yang kencang, dengan kekuatan maksimum. "Aw aw sakit, tan-"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD