Selesai revisi
Bam..!
Chika yang sedang membaca buku terkejut saat sebuah amplop tebal di banting keras ke mejanya. Chika mendongak menatap sang pelaku, "Lo…" ujar Chika menatap Glenn yang berdiri di depan mejanya.
"Maksudnya apaan nih?"
Chika menoleh ke segala arah. Berharap kelas sepi. Untungnya benar, hanya mereka berdua saja di dalam kelas. Chika menatap pria jangkung yang berdiri di hadapannya.
"Liat aja," ujar Glenn datar. Ia melihat lurus ke depan, tak menatap wajah Chika sama sekali.
"Ha?"
Tunggu- Chika masih belum bisa menetralisir apa yang terjadi. Rasanya terjadi begitu cepat. Chika meraih amplop, dan membukanya. Ternyata itu semua uang dan cek yang ia berikan.
"Uang ini …" belum sempat Chika selesai bicara, Glenn memotongnya.
"Gue berhenti."
"Ha?"
"Gue berhenti."
"Loh kok berhenti?" Sontak Chika berdiri meminta penjelasan Glenn, "Kita, kan udah sepakat."
"Batalin aja."
Glenn tetap memandang lurus ke arah lain, tak memandang Chika sama sekali.
"Ya ga bisa gitu dong!" jerit Chika tidak terima, "Yang namanya kesepakatan ga bisa dibatalin gitu aja. Kita udah sepakat buat kerja sama!"
"Kalo sama-sama ga dirugikan, apa yang ga bisa? Gue udah balikin semua uangnya. Setelah ini jangan cari gue lagi."
"Ga bisa! Gue ga mau! Lu butuh berapa? Uangnya kurang? Bilang aja lu butuh berapa?! Mau gue tambahin berapa?"
"Ga usah. Gue udah kaya."
"Tapi kan ibu lo lagi sakit. Lu mau ibu lo penyakitan terus gara-gara kekurangan biaya pengobatan?"
Glenn mengepalkan tangannya, kondisinya seperti dimainkan sekarang. Namun Glenn tak menghiraukan ucapan Chika. Ia berjalan menjauhi gadis itu, membiarkan Chika berkata apapun. Ia juga tak mendengarkannya. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
"Jawab Glenn."
"Glenn!"
Chika yang merasa diabaikan mengejar Glenn. Ia merasa ditolak mentah-mentah sekarang.
"Jawabannya udah jelas. Kita ga ada hubungan kerja lagi."
"Lu mau berapa? 2 M, 3 M? 5 M. Apa 10 M. Berapa sebut aja?!"
"Simpen aja uang itu untuk lu sendiri. Gue bisa nyari."
Chika mendecih, menunjukan aura sombongnya, "Oke! Kita liat seberapa kuat lu bisa bertahan setelah mundur dari pekerjaan ini!"
"Gue yakin ga akan bisa!"
"Gue pastiin lu akan kembali Glenn!"
Glenn tak peduli, ia tetap meneruskan perjalannya ke luar kelas.
"Sial! Kalo kayak gini skandal perlakuan gue melenyapkan Davina bisa bocor ke publik."
"Pokoknya gimanapun caranya Glenn harus tutup mulut."
"Bahaya kalo Glenn bongkar semuanya."
*****
"Cita-cita Sena … Sena mau menikah dengan Dion."
Mira menyunggingkan senyuman, menatap wajah Sena yang berseri-seri, "Itu aja?"
Sena mengangguk, tersenyum tulus, "Iya."
Senyuman tulus itu mengisyaratkan sebuah keinginan besar.
"Apa hanya itu?"
"Iya," Sena mengangguk tanpa ragu, "Sena mau menikah."
"Ga ada yang lain?"
"Engga …"
"Kenapa gitu?"
"Sebenarnya cita-cita Sena ada dua, satu lagi … Sena pengen sekolah, tapi Sena tau Sena ga bisa."
"Sena tau kemampuan Sena, Sena ga pinter kayak orang-orang."
Mira terenyuh mendengarnya.
"Maka itu cita-cita Sena cukup satu aja. Sena mau menikah."
"Apa kamu tau artinya menikah?"
"Dua orang yang hidup bersama?" tebak Sena.
"Benar menang itu. Tapi menikah bukan hanya soal hidup bersama. Saat kamu menikah, kamu akan menerima apapun yang ada dalam diri dia. Sifat baiknya, sifat buruknya, kebiasaannya, dan apapun tentang dia kamu menerima semuanya. Bukan hanya kamu, tapi Dion juga. Kalian harus seperti puzzle, saling mengisi satu sama lain. Jika satu puzzle hilang, maka hasilnya tidak akan sempurna."
Sena terdiam.
"Kalau kamu nikah, jangan lupa undang aku ya …" ujar Mira terkekeh.
"Hehehe pasti."
Tak lama terdengar suara deritan pintu. Dua orang wanita yang asyik berceloteh sejak tadi menoleh ke arah pintu.
"Dioooon!" jerit Sena kesenangan. Hah, jika saja ia tidak lemah saat ini. Ia pasti akan berlari berhamburan dan memeluk Dion erat. Merasakan degupan jantung Dion yang menjadi musik favoritnya. Hehe. Maaf ya Sena bucin.
Dion tersenyum lebar. Jangan tanya perasaannya saat ini. Ia saja tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.
"Dion! Sena mau peluk."
Sena merentangkan tangannya, seperti anak yang meminta digendong.
Dion menutup wajahnya malu, "Sena … ada Mira disini. Jaga etika jangan mesra-mesraan di depan orang."
"Etika siapa?"
"Bukan etika itu maksudnya. Maksudnya etika-"
"Diooon … peluk. Ah, kalo Sena bisa jalan ke sana, Sena pasti meluk Dion. Tapi Sena lagi ga kuat jalan, sebel deh. Kan jadinya Sena ga bisa meluk Dion," ujar Sena ngambek, melipat kedua lengannya depan d**a.
"Huaaaa Sena mau peluk Dion!" Sena jadi frustasi sendiri.
"Sena …" lagi-lagi Dion memberi peringatan. Astaga, ia baru sadar Sena polos dan juga blak-blakan. Rasanya Dion ingin meletakan wajahnya di dompet saja, lalu dilipat kecil-kecil.
Mira yang merasa menjadi nyamuk di sana, beranjak dari kursi, "Aku keluar dulu ya. Lanjutin aja kegiatan uwu kalian."
"Loh, guru mau kemana?"
"Hehehe, cari angin."
"Emangnya disini ga ada angin guru? Kan ada AC. Kenapa angin harus dicari? Bukannya angin itu ga keliatan."
Kalau Sena sudah bertanya seperti ini, Mira jadi susah jawabnya.
"Emm … aku- aku lagi gerah aja disini. Ya udah ya, aku keluar dulu bye."
Dengan cepat kilat Mira pergi dari ruangan, sebelum Sena bertanya lebih detail lagi.
Dion tersenyum tipis, lalu berjalan menuju gadisnya yang meronta-ronta ingin dipeluk.
"Diooon."
"Iya Sena."
"Sena mau dipeluk Dion."
Dion menyembunyikan tangan kanannya di belakang, menggenggam sebuah bunga Edelweiss. Bunga yang ia beli waktu pulang dari abdi desa. Bunga Edelweiss tidak seperti bunga lain yang gampang layu. Bunga itu dapat bertahan beberapa lama.
Dion berdiri di samping bangsal, kemudian menundukkan badannya. Membiarkan Sena memeluk lehernya erat.
"Sena kangen Dion."
"Dion juga," bisik Dion, menghirup aroma lembut dari rambut Sena. Tangan kiri Dion membalas pelukan Sena, dan tangan kanannya tetap di belakang punggung.
"Sena suka peluk Dion, karna Sena bisa denger detak jantung Dion. Sena juga suka parfum Dion. Pokoknya Sena suka Dion."
Dion tersenyum, ia pun juga merasakan hal yang sama.
"Sena …"
"Iya."
"Aku cinta kamu sampai mau mati rasanya."
"Sena juga cinta Dion."
Ribuan kupu-kupu seperti beterbangan di hatinya. Sena tersenyum, dengan pipi semerah tomat.
Dion melepaskan pelukan, menatap lembut mata indah Sena seperti air sungai yang jernih.
"Aku punya hadiah."
"Mana-mana?" Sena bertepuk tangan tak sabar.
Dion mengeluarkan tangannya dari belakang punggung, "Surprise." Dion menunjukan sebuah bunga Edelweiss berwarna putih.
"Waaaah," Sena menatap kagum. Kemudian mengulurkan tangannya menerima bunga Edelweiss yang menarik perhatiannya.
"Kamu suka?"
Sena mengangguk, "Iya. Sena suka! Suka banget."
Mata Sena berbinar-binar, mencium aroma bunga itu berkali-kali.
Dion memutuskan duduk di samping Sena, menatap gadisnya.
"Kamu tau ga arti bunga itu?"
Sena menggeleng, "Engga, emang artinya apa?" Sena menoleh menatap Dion yang berjarak 10 senti darinya. Dari sini mereka dapat merasakan hembusan nafas masing-masing.
"Edelweiss melambangkan keabadian, keberanian, sesuatu yang mulia. Dan juga simbol pengabdian cinta. Mereka yang memberikan Edelweiss berharap kisah cinta mereka akan abadi."
"Dion mau kita abadi?"
Dion hanya tersenyum, "Apa kamu mau?"
"Mau …" jawab Sena jujur.