Part 34

1465 Words
“Kami akan bekerja sama dengan lima hotel bintang lima berstandar internasional. Potensi meraup keuntungan yang besar dari proyek ini bukanlah hal mustahil. Sebagai pemilik lahan, kau akan sangat puas dengan hasil kerja kami. Kupastikan kau tak akan sempat mengutarakan keluhan karena kami akan melakukan pekerjaan dengan sempurna.” Fherlyn mendengarkan dengan seksama. Aldric menjelaskan setiap detail dengan sangat gamblang setiap poin yang tertera. Mudah dipahami dan jujur ia tak akan berpikir dua kali untuk menyetujui. Bahkan hanya dengan membaca proposal pengajuan pria itu saja cukup membuatnya dan Darren meloloskan berkas Aldric. Dan tak ada waktu untuk mengeluh. Arsen tak pernah salah memilih orang yang bekerja pada pria itu. Pandai menemukan bakat orang dan memanfaatkan mereka. Sepertinya hanya dirinyalah satu-satunya kegagalan yang pernah dipilih oleh Arsen. Tapi ia bersyukur, karena Arsen jugalah sekarang ia berubah menjadi wanita kuat. Setidaknya ia masih bisa memanfaatkan backgroud keluarganya untuk menambah nilai di mata suaminya. “Setiap hotel berstandar internasional memiliki kapasitas 200 kamar, pusat perbelanjaan, beach club, waterpark. Dan dalam jangka panjang akan meningkatkan pertumbuhan aset yang diperkirakan akan mencapai 70 juta dollar.” Fherlyn masih mendengarkan sambil sesekali membaca berkas di hadapannya dan bertanya lebih banyak kepada Aldric. Kemudian Aldric akan menjawabnya dengan jawaban yang sangat menyakinkan. Tepat jam setengah sembilan malam, semua perbincangan yang berhubungan dengan pekerjaan selesai. Beralih ke obrolan ringan tentang mereka berdua yang dibumbui sedikit canda tawa. “Kupikir Darren harus memiliki seseorang sepertimu di perusahaan kami,” puji Fherlyn. Aldric tersenyum. Menutup berkas di depannya dan menyisihkannya ke samping. “Tanpa bantuan sekretarismu pun kau bisa melakukan semuanya sendiri dengan sangat berkesan. Tidak berlebihan jika aku mengatakan pidatomu menggugah semangat.” Aldric tertawa. “Kau berlebihan, Fherlyn. Aku hanya melakukan tugasku sebaik mungkin.” Aldric mengangkat tangan memanggil pelayan yang berdiri di pintu ruang pribadi mereka. “Kau lapar? Sepertinya kita melewatkan makan malam.” Fherlyn mengangguk menyetujui. “Maaf, tadi siang ada rapat dadakan dengan beberapa dewan direksi. Jadi, pertemuan kita mundur beberapa jam dari seharusnya.” “Kupikir kemarin kau mengatakan akan menyesuaikan jadwalmu denganku,” canda Aldric sambil menyerahkan satu menu yang diberikan pelayan pada Fherlyn. Fherlyn tersenyum kecil merasa malu. “Maaf,” lirihnya. Mulai membolak-balik menu dan menunjuk satu makanan yang paling menarik di halaman pertama. Ia sangat lapar, jadi tak akan membuang satu detik pun untuk memilih makanan yang sebagian besar sudah pernah ia coba di restoran ini. “Maaf saja tak cukup. Kau harus menebusnya dengan makan siang lain kali. Bagaimana?” tawar Aldric setelah pelayan keluar. Menciptakan satu kesempatan dari kesempatan yang sudah ia dapatkan untuk bertemu dengan Fherlyn. “Kenapa kau sangat suka mengajakku makan?” Mata Fherlyn menyipit curiga. “Apa kau terobsesi membuatku gemuk?” “Apa aku ketahuan?” Mata Aldric membelalak tak percaya di antara senyum lebar yang memenuhi wajahnya. “Gemuk pun aku yakin kau akan tetap cantik.” Fherlyn tertawa. Wajahnya merona malu. “Biasanya pria tak suka melihat wanita yang banyak makan.” “Siapa bilang? Pria selalu suka melihat wanitanya makan dengan lahap. Bahkan ada pepatah mengatakan bahwa seorang pria tidak dikatakan pria jika ia melarang wanitanya memakan apa yang diinginkan.” “Benarkah?” Ragu Fherlyn. “Sepertinya itu pepatah yang kau ciptakan untuk dirimu sendiri, ya?” Aldric mengangguk dengan yakin. Fherlyn terbahak. Obrolan pun berlanjut hingga makanan mereka disajikan dan keduanya menandaskannya isi piring. Tanpa terasa waktu berlalu begitu saja dan Fherlyn tersadar malam sudah larut ketika menunduk menatap jam tangannya. “Sepertinya aku harus segera pulang.” Fherlyn memasukkan ponselnya di meja ke dalam tas dan mengambil tumpukan berkas yang tadi ia tata dan letakkan di kursi kosong di sampingnya. “Aku akan mengantarmu.” “Tidak perlu.” “Kauyakin?” tanya Aldric sekali lagi. “Ya, aku membawa mobilku sendiri.” Fherlyn berdiri sambil menunjukkan kunci mobilnya. “Okey. Kita keluar bersama.”   ***   Alsya mengerutkan kening ketika menyerahkan kuncinya pada petugas vallet yang datang menghampiri dan melihat Aldric dan Fherlyn yang berdiri di depan teras hotel. Keduanya tampak asyik mengobrol dan Alsya berniat menghampiri untuk menyapa, lalu berbasa-basi ringan agar Fherlyn dan Aldric bisa lebih dekat lagi.   Namun, langkah Alsya terhenti ketika Fherlyn dan Aldric saling melambai kemudian Fherlyn menghampiri mobil merah yang dibawakan petugas vallet di depan teras hotel. Tatapannya turun ke arah plat mobil dengan beberapa angkat dan huruf yang terpasang di bagian depan mobil. Tercengang memastikan itu adalah mobil yang sama yang terparkir di carport kediaman Arsen. Fherlyn masuk ke dalam, dan mobil itu melintas di hadapannya. Tak diragukan lagi, itu mobil yang sama. Alsya tak mungkin melupakan mobil itu karena keberadaanya sangat mencolok di antara koleksi mobil milik Arsen. Kenapa Fherlyn memakai mobil itu? Mobil siapakah itu sebenarnya? Karena jelas mobil itu bukan selera Arsen sejak awal. Ia sudah mencurigai hal itu sejak awal. Tak ada waktu untuk mengambil mobilnya yang sudah dibawa oleh petugas vallet lainnya, Alsya berjalan dengan terburu ke arah jalan besar di depan halaman hotel. Merasa lega mendapatkan taksi di saat yang tepat sebelum mobil yang ditumpangi Fherlyn lenyap dari pandangannya. “Ikuti mobil di depan!” perintahnya di tengah napasnya yang tersengal pada sang sopir. Yang langsung menginjak gas untuk mendapatkan jarak sedekat mungkin dengan mobil merah yang ditunjuk penumpangnya. Bibir Alsya tak berhenti bergetar, menggigit kuku-kuku jarinya menatap mobil Fherlyn yang melaju dengan kecepatan sedang beberapa meter di depan. Jalanan ini adalah jalanan yang sudah sangat dikenalnya. Hatinya selalu dipenuhi perasaan berbunga ketika melewati jalan beraspal yang lengang dan di pinggirnya ditanami pohon besar yang berjajar rapi. Dan saat ini, untuk pertama kalinya ia melintasi jalanan ini dengan hati yang membara. Menatap penuh kebencian pada mobil di depannya. Gulungan kemurkaan membakar hatinya. Memporak-porandakan rencana yang sudah tersusun rapi demi kebahagiaan yang tak pernah ia sentuh sejak bertahun-tahun yang lalu. Karena wanita t***l itu. Semua gara-gara wanita itu. Ia begitu membenci Fherlyn. Kebencian itu mengakar begitu kuat di dalam hatinya dan hanya melihat Fherlyn lebih menderita daripada dirinyalah, semua kebenciannya tersebut akan terpuaskan. Kedua tangan Alsya terkepal sangat keras melihat mobil Fherlyn masuk melewati gerbang tinggi kediaman Arsen. Kemarahan datang menerjang dan membuatnya kesusahan untuk bernapas. Kemudian jeritan kemarahan yang sejak tadi tertahan ketika ia berpapasan dengan Fherlyn di restoran kini, tak tertahankan lagi. Meluap bersama kemurkaan yang semakin tak terkendali. Sang sopir yang duduk di balik setir terlonjak kaget. Melirik dengan was-was ke arah kaca spion. Tubuhnya ikut bergetar melihat wajah penumpangnya yang tampak mengerikan. Kecantikan memesona yang sempat membuatnya bahagia mendapatkan penumpang dengan penampilan menarik dan tips yang banyak, mendadak berubah menjadi penyesalan. Kecantikan itu lenyap dari wajahnya. Bukan bayangan yang mustahil jika ia berpikir wanita itu adalah vampir wanita yang hendak menggigit leher dan menghisap darahnya hingga habis seperti film-film horor yang pernah ia tonton bersama sang kekasih. “Putar balik!” Alsya memerintah dengan suaranya yang menggeram. Sang sopir terperanjat, hampir terkencing karena saking takutnya. Berharap jika malam ini ia selamat, ia akan berhati-hati saat memilih penumpang untuk ke depannya.   ***   “Kau pulang terlambat,” tegur Arsen menghentikan langkah Fherlyn yang tengah menyeberangi ruang tamu. Pria itu duduk di sofa kulit besar berwarna coklat tua, duduk menyilangkan kedua kaki dan punggung bersandar penuh kearogansian. Menatap tajam penuh selidik ke arah Fherlyn yang sempat terkaget dengan keberadaannya di ruang tamu ini. Fherlyn memutar kepala menatap Arsen. Mengerutkan kening mendapati pria itu belum tidur dan malah duduk santai di ruang tamu. Biasanya pria itu selalu sibuk berkutat dengan berkas di ruang kerja atau langsung naik ke ranjang setiap pulang dari kantor. Menunggunya pulang jelas bukan aktifitas yang akan dilakukan Arsen meski pria itu memiliki segudang waktu senggang. “Kau belum tidur?” Fherlyn melirik jam di pergelangan tangannya. Hampir jam sepuluh malam dan waktunya untuk tidur. “Dari mana saja kau?” Fherlyn bisa membaca kecurigaan macam apa yang berusaha Arsen kupas darinya. Pria itu hanya menampakkan wajah semacam itu pada hal apa pun tentangnya yang berhubungan dengan Aldric. ‘Kenapa pria itu selalu tahu aktivitas apa pun yang berhubungan dengan Aldric?’ batin Fherlyn kesal. “Aku lelah, Arsen. Aku tak akan berdebat denganmu karena masalah pekerjaan.” Fherlyn melanjutkan langkahnya menuju tangga ke lantai dua yang ada di  ruang tengah. Hanya butuh beberapa langkah untuk mencapai anak tangga pertama dan lari dari topik pembahasan yang diambil oleh Arsen. Ia tak yakin ke mana arah tujuan Arsen tapi Fherlyn tahu pembahasan ini akan memanjang dan berakhir dengan perdebatan. Dan sekarang ia sangat lelah, butuh membersihkan diri di bawah guyuran air hangat lalu tenggelam dalam kasur yang empuk dan selimut tebal. Arsen berdiri dan melangkah lebar-lebar mengejar Fherlyn. Menangkap lengan Fherlyn dengan kasar dan mencengkeramnya dengan keras. “Aku belum selesai,” desisnya. Fherlyn meringis. Mencoba lepas dari cengkeraman Arsen jelas akan menyakiti tangannya sendiri. Atau bahkan membuat tangannya patah. “Apa kau cemburu, Arsen?” tantang Fherlyn. Sepertinya Arsen tak akan menyerah meminta jawaban darinya. Arsen terdiam. Pertanyaan Fherlyn seketika membekukan tubuhnya. Cemburu? Rasa kesal dan frustrasi karena seseorang berusaha mengendus miliknya, dan rasa khawatir karena miliknya terancam terebut dari genggamannya. Apakah itu yang dinamakan cemburu? “Apa kau cemburu aku menghabiskan waktu dengan Aldric?” Fherlyn mengulang pertanyaannya. Memecah keheningan yang Arsen ciptakan dalam kebungkaman pria itu. “Hanya ada satu alasan kau bersikap kekanakan seperti ini, Arsen. Kecemburuan? Yang berarti kau mencintaiku.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD