Pagi harinya Labibah sudah selesai menyiapkan sarapan untuk suaminya. Hari ini, dia masih mendapatkan cuti dari Rumah Sakit. Labibah bekerja sebagai Apoteker di rumah sakit. Selain bekarja menjadi seorang Apoteker, dia juga memiliki tempat usaha lainnya. Bisnisnya sangat berkembang di dunia kuliner dan produksi pakaian muslim. Juga memiliki beberapa Apotek di berbagai kecamatan di kotanya hingga ke pelosok desa.
Tidak bekerja di rumah sakit pun sebenarnya dia bisa. Tapi, sebelum dia memiliki usaha itu, dia lebih dulu berjuang mencari rezeki di rumah sakit yang sampai sekarang dia masih mengabdikan diri di sana. Kedua orang tua Labibah sudah menyuruhnya untuk resign dari rumah sakit, dan mengurus salah satu apoteknya sendiri. Tapi, Labibah belum mau seperti itu. Dia sudah nyaman dengan pekerjaannya di rumah sakit.
Fauzan hari ini juga masih belum ingin pergi bekerja. Dia yang sudah diamanahi orang tuanya mengurus hotel bintang limanya yang belum lama didirikan orang tuanya, dia menjadi malas-malasan mengelola bisnisnya semenjak Syafira pergi. Dia juga sudah jarang mengecek keadaan Hotel yang lainnya, yang dari dulu ia kelola.
Pagi ini, Fauzan akan kedatangan tamu. Teman SMA Fauzan. Bukan teman lagi, melainkan sudah seperti saudara kandungnya sendiri. Kemarin dengan terpaksa temannya itu tidak bisa hadir di acara pernikahannya dengan Labibah, karena sedang ada seminar di luar kota, dan tidak dapat ditinggalkan.
Labibah memanggil suaminya yang masih berada di dalam kamarnya. Dia memanggil suaminya karena sarapannya sudah siap. Belum ada Asisten Rumah Tangga, jadi Labibah harus memasak, dan menyiapkan sarapan untuk suaminya.
“Mas, sarapan dulu,” panggil Labibah.
“Hmmmm ...,” jawab Fauzan hanya berdehem saja.
“Aku keluar, nunggu di ruang makan,” ucap Labibah.
“Nanti siang, ada temanku akan ke sini. Tolong kamu siapkan hidangan untuk dia yang istimewa, harus bergizi, steril, dan pokoknya menu yang menyehatkan, kamu tahu maksud aku, kan?” ucap Fauzan.
“Iya, akan aku siapkan. Oh, ya besok atau lusa aku sudah mulai kerja, mungkin aku butuh asisten untuk mengurus rumah saat aku kerja. Boleh kalau aku meminta asisten pribadiku di rumah untuk membantuku di sini?” tanya Labibah.
“Asisten Rumah Tangga? Enak sekali pakai Asisten? Kamu juga bisa, kan? Kamu itu seorang istri, harus bisa selesaikan urusan rumah tangga kamu, sebelum kamu mengurusi pekerjaan kamu di luar! Kamu paham itu?!” jawab Fauzan dengan sarkas.
“Aku kerja di rumah sakit, kadang aku shift pagi, kadang siang. Dan, aku pun masih mengelola bisnisku yang lain. Jelas aku butuh asisten, untuk mengerjakan pekerjaan rumah dong!” protes Labibah.
“Enggak usah meminta dijodohkan dengan aku kalau kamu gitu! Aku tidak mengizinkan kamu membawa asisten kamu ke sini, atau apa pun itu! Kamu harus mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri!” tegas Fauzan.
“Laki-laki biadab! Emang kamu pikir aku babu kamu?! Aku memang istri kamu, tapi bayangkan dong, rumah segede istana ini aku yang harus membersihkannya sendiri? Dari halaman depan sampai belakang, hingga membersihkan kolam renang? Belum juga masak, cuci baju, setrika, dan lainnya? Gak ada otak tuh orang! Astaghfirullah ... sabar, Bibah ... sabar ...,” umpat Labibah dalam hatinya dengan mengelus dadanya. Mencoba bersabar menghadapi suaminya yang biadab itu.
Labibah meninggalkan kamarnya. Dia pergi ke ruang makan. Tangannya tidak berhenti megusap pipinya yang basah karena air mata. Biasa hidup dengan penuh kebebasan di rumah. Hidup dengan segala fasilitas yang mewah di rumahnya. Keperluannya selalu di urus asisten pribadinya. Sekarang dia harus mengurus semuanya sendiri. Memang mengurus rumah adalah tugas seorang istri, tapi rumah yang seperti apa dulu? Rumah biasa dengan memiliki kamar mandi satu, dan kamar tidur dua mungkin dirinya bisa mengurus sendiri.
Sedangkan sekarang? Dia tinggal di rumah yang sama mewahnya dengan rumah orang tuanya. Kamar tamu ada dua di lantai bawah. Belum kamar lantai atas, semua kamar ada kamar mandinya, dan ada kolam renang. Halaman belakang dan halaman depan luasnya bisa untuk lapangan sepak bola. Sekarang Labibah harus mengurusnya sendiri dari A sampai Z.
“Orang gila! Bisa-bisanya aku mencintai orang gila dan psikopat seperti Fauzan? Kalau bukan karena mama dan papanya Fauzan yang memohon padaku, aku pun tidak sudi menikah dengannya. Apalagi dia terus mendesak ku untuk mencari Syafira. Dia membenciku, karena aku gagal menemukan Syafira. Juga karena aku yang mau menerima perjodohan ini,” gumam Labibah.
Fauzan keluar dari kamarnya. Dia melihat Labibah sudah menyiapkan nasi di piring Fauzan dan air putih.
“Aku tidak biasa sarapan nasi! Bikinkan aku roti bakar atau sandwich!” titahnya yang membuat Labibah menarik napasnya dengan berat.
“Mubadzir kalau enggak di makan!” jawab Labibah dengan kesal.
“Kamu menantang perintahku?! Aku suami kamu! Makanya jangan minta dijodohkan dengan aku, kalau belum tahu bagaimana kebiasaan aku!” bentak Fauzan dengan memukul meja makan.
Labibah tidak mengurusi ucapan suaminya itu. Dia memilih diam, menahan air matanya yang hampir terjatuh, dan langsung menuju dapur, membuatkan apa yang suaminya mau. Labibah menyeka air matanya. Dari semalam dia terus di siksa batin dan hatinya. Bukan meneguk kebahagiaan di hari pertama pernikahannya, tapi dia lebih meneguk air mata yang terus bercucuran.
“Ma, Pa ... Mama sama papa kok tega ngelepasin Bibah sama Fauzan? Kanapa, Ma, Pa? Bibah memang mencintai Fauzan. Tapi, itu dulu saat Bibah masih kuliah, sekarang Bibah sudah melupakannya, tapi kenapa harus Bibah yang dijodohkan dengan Fauzan?” gumam Labibah dengan menyeka air matanya.
Labibah membawakan roti bakar yang Fauzan inginkan dengan segelas s**u. Dia meletakkannya di depan Fauzan. Labibah mulai sarapan. Dia memang tidak pernah meninggalkan sarapan. Sarapan sebelum jam sembilan pagi itu wajib, meski hanya dengan nasi dua atau tiga suap saja, dan dengan sayuran yang banyak.
“Kamu sudah biasa hidup mewah, tapi sarapan saja pakai nasi!” ejek Fauzan.
“Terserah aku dong, kan memang seperti itu. Memang orang kaya enggak boleh sarapan pakai nasi? Rumus hidup dari mana itu?” seloroh Labibah tanpa melihat suaminya.
Labibah yang Fauzan kenal perempuan yang pendiam, tapi ternyata setelah Fauzan perhatikan, Labibah memiliki jiwa yang pemberani dan tidak penakut. Buktinya saja, dibentak dan disakiti seperti semalam Labibah masih bisa menjawab tanpa rasa takut.
“Ternyata kamu wanita yang sabar, kuat, dan pemberani, Bibah. Kamu wanita yang hebat. Sebenarnya aku tidak tega menyiksa kamu seperti ini, Bibah. Maafkan aku. Aku kecewa sama kamu, aku kecewa karena kamu tidak mau membantuku mencari Syafira, tapi malah kamu menerima perjodohan orang tua kita. Aku benci kamu, Bibah. Aku benci kamu!” gumam Fauzan dengan mengepalkan tangannya.
Labibah tahu, Fauzan sudah kecewa dengan dirinya. Dia yang di suruh membantu Fauzan mencari Syafira malah tidak menemukan jejak Syafira sama sekali. Bahkan rumah Syafira sekarang kosong, dan sudah dijual. Yang lebih mengejutkan, saat pulang dari mencari Syafira, kedua orang tua Labibah dan Fauzan mengadakan pertemuan yang membahas perjodohan Labibah dengan Fauzan, karena sudah tiga bulan Syafira tidak ada kabarnya.
“Maafkan aku, Zan. Aku tahu kenapa Syafira pergi, dan aku tahu alasan Syafira sampai pergi saat seminggu akan menikah dengan kamu. Aku tahu semua alasannya, bahkan dia pergi ke mana aku tahu. Tapi, aku hanya tahu dia pergi ke Ibukota, entah alamat lengkapnya di mana aku tak tahu,” gumam Labibah.
Selesai sarapan, Fauzan ke kamarnya mengambil laptopnya untuk mengecek pekerjaannya. Ia mengambil ponselnya yang berada di tempat tidur juga. Tidak sengaja ia menemukam secarik kertas, yang bertuliskan sebuah puisi indah. Ia membacanya, dan terhanyut oleh diksi indah di dalam puisi itu.
"Syafira. Ini pasti punya Syafira, iya ini pasti tulisan Syafira. Tapi kenapa di bawah bantal Labibah? Ah pasti dia meminta Sayfira dulu, tapi kertasnya masih baru. Masa iya Labibah bisa menulis puisi? Tidak mungkin dia bisa," ucap Fauzan lalu menaruh kertas itu lagi ke tempat semula.