Fauzan baru saja pulang dari kantor. Dia melihat Labibah yang baru saja keluar dari kamar mandi mengenakan bathrobe warna merah jambu. Fauzan hanya melirik saja, lalu dia menaruh tas kerjanya di atas meja.
“Suami pulang, istri baru selesai mandi. Lalu apa gunanya ada pembantu di rumah, kalau suami pulang kerja saja istri tidak menyambutnya, malah baru selesai mandi? Dari tadi ngapain? Bukannya ada pembantu di rumah, dan semua pekerjaan sudah ditangani semua oleh asisten kamu itu?” ucap Fauzan dengan melepas dasinya.
“Memang ada Mbak Sani di sini, tapi dia hanya membantu saja, bukan semuanya dia yang mengerjakan. Paling dia membersihkan rumah, nyapu, ngepel, nyapu halaman rumah juga, kalau masalah masak, nyuci baju kamu, nyuci baju aku, aku bisa sendiri, dan aku baru mandi juga karena aku baru selesai masak,” jawab Labibah.
“Percuma saja bayar orang!” tukasnya sambil melepas kemejanya.
“Aku yang bayar bukan mas, kok mas yang repot?” ucapnya sambil mengambil baju kotor milik suaminya yang tergeletak berantakan di lantai.
“Sok banget kamu! Jadi aku gak salah kalau tidak memberikan nafkah kamu, kamu bisa cari sendiri!” ucapnya.
“Ya itu terserah, Mas. Toh kalau dosa yang nanggung juga mas sendiri, bukan aku?” ucap Labibah santai yang membuat Fauzan semakin geram mendengar Labibah sama sekali tidak takut dengannya.
Padahal Fauzan sudah berniat sebelum pulang tadi, untuk tidak marah dan benci saat melihat Labibah. Tapi, setelah sampai di rumah, rasa benci, marah, dan jengkel dengan Labibah muncul. Dia ingin sekali berkata kasar di depan Labibah, dan ingin sekali membuat Labibah menderita di dekatnya.
Labibah keluar membawa baju kotor milik suaminya. Namun, Fauzan mencekal tangan Labibah, menarik tangan Labibah, hingga Labibah berada tepat di depannya. d**a bidang Fauzan terlihat jelas di depan Labibah, dengan ditumbuhi bulu halus, terlihat begitu kekar dan menggairahkan bagi semua wanita yang melihatnya.
“Ada apa sih?!” Labibah membuang pandangannya ke segala arah dengan menepis tangan Fauzan yang memeganginya.
“Suami pulang bukannya ditawarin apa, malah mau ditinggal keluar begitu saja!” tukas Fauzan.
“Memang mas mau apa? Kopi, teh? Kalau minta itu juga aku harus keluar untuk membuatkan?” ucap Labibah. “Lagian aku juga mau menaruh baju kotor kamu!” imbuhnya kesal.
“Aku mau kamu melayaniku sekarang!” pintanya dengan memangut bibir Labibah dengan penuh nafsu.
“Stop!” Labibah mendorong tubuh Fauzan dengan keras.
“Aku ini suamimu, Bibah! Kamu yang menginginkan aku bukan? Dan karena kamu Syafira pergi, ini rencana kamu, kan? Supaya Fira pergi lalu kamu meminta kedua orang tua kamu supaya menjodohkan aku dengan kamu?!” erang Fauzan dengan sarkas.
“Sedikit pun aku tidak sudi meminta kamu untuk menikahiku, Mas! Fira pergi karena dirinya sendiri! Fira pergi karena dia hamil dengan Jamil! Dia hamil, dia malu dengan kamu!” teriak Labibah meluapkan emosinya dan tanpa sadar Labibah mengatak semua itu.
“Apa kamu bilang? Dia hamil? Dia hamil dengan siapa tadi? Jamil? Siapa Jamil? Jangan ngada-ngada kamu, Bibah! Fitnah apa lagi ini! Kamu tega sekali memfitnah sahabatmu sendiri! Keterlaluan sekali kamu, Bibah!” pekik Fauzan kecewa.
“Iya, mungkin saatnya kamu harus tahu semua ini, Mas. Kamu harus tahu kenapa Fira pergi, kenapa Fira meninggalkan kamu saat mau menikah. Percaya atau tidak memang itu yang terjadi, Mas. Terserah kamu mau bagaimana, aku bilang sesuai kenyataan. Satu setengah tahun yang lalu, yang terjadi memang seperti itu. Fira hamil dengan Jamil, dan dia pergi ke Jakarta untuk menikah dengan Jamil. Tidak mungkin Fira menikah dengan kamu, sedang di dalam perut Fira bersemayam benih dari Jamil,” jelas Labibah.
Plak ...!
Fauzan menampar keras pipi Labibah. Labibah terhuyung, hingga tersungkur ke lantai.
“Jangan menambah masalah kamu! Ini jelas Fitnah! Fira perempuan baik-baik meski tidak sekaya kamu! Meski dia orang biasa! Dia tidak seperti itu, aku tidak percaya. Pasti ini semua yang membuat orang tuaku juga membenci Fira, dan menjodohkan kamu dengan aku! Ingat Labibah, aku tidak percaya dengan ucapanmu! Fira tidak seperti itu, Bibah! Tidak!” erang Fauzan dengan penuh kemurkaan.
“Kamu, kamu harus menebus semuanya Labibah! Kamu harus menderita, kamu sudah memfitnah sahabatmu sendiri, dan calon istriku! Aku kira kamu perempuan baik, kamu pendiam, kamu sangat baik dengan Fira, tapi ternyata kamu perempuan sangat licik sekali!” ucap Fauzan dengan menggapit pipi Labibah hingga Labibah memekik kesakitan.
Labibah menendang Fauzan yang sedang berjongkok di depannya, dengan tangannya masih meremas menggamit pipi Labibah dengan keras.
“Kamu boleh menyakiti hatiku, tapi jangan fisikku yang kau sakiti, Mas! Aku tidak peduli kamu mau menyakiti aku bagaimana, asal jangan fisikku yang kau sakiti. Kedua orang tuaku saja belum pernah menampas dan meremas pipiku sekeras ini!” teriak Labibah dengan air mata yang berlinang.
Fauzan sadar, dengan apa yang barusan ia lakukan. Dia melihat telapak tangannya yang baru saja ia gunakan untuk menyakiti istrinya. Hatinya sesak, mengingat apa yang baru saja ia lakukan pada Labibah. Labibah membetulkan tali bathrobenya. Dia menuju ke wastafel untuk mencuci wajahnya dan membersihan darah yang keluar dari sudut bibirnya. Pipinya terlihat sedikit membiru karena Fauzan telah menyakitinya.
Labibah memekik lirih, menangis, dengan mengobati lukanya. Dia baru pernah diperlakukan seperti ini oleh seseorang, dan itu suaminya sendiri. Padahal dia menyampaikan suatu kebenaran di masa lalu. Tapi, Fauzan marah sejadi-jadinya saat mendengar apa yang Labibah katakan tadi.
Fauzan melihat Labibah yang sedang menangis di depan wastafel. Dia ingin mendekati dan meminta maaf, tapi saat Fauzan mendekatinya, Labibah memilih menyingkir dari depan Fauzan.
“Mandi dulu, biar virus dalam tubuh kamu pergi!” tukas Labibah dengan berlalu.
Labibah tidak berani keluar dari kamar, dia akhirnya menaruh baju kotor milik suaminya di keranjang baju kotor yang ada di kamarnya. Labibah memakai bajunya setelah Fauzan masuk ke dalam kamar mandi. Labibah meringkuk di atas tempat tidur. Dia masih merasakan sakit hatinya mendapat perlakuan seperti itu dari suaminya. Baru beberapa hari dia menikah dengan Fauzan, tapi sudah mendapatkan kekerasan fisik seperti tadi.
“Ma, Pa. Bibah memang dulu sekali sempat suka sama Mas Fauzan, Bibah dulu jatuh cinta dengan Mas Fauzan. Tapi, setelah Bibah tahu Mas Fauzan lebih memilih Fira, Bibah sudah melupakan cinta untuk Mas Fauzan, Ma, Pa. Mama dan papa tahu, Mas Fauzan menamparku, Mas Fauzan menyakitiku, Ma, Pa, karena aku jujur soal Syafira. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, aku juga tidak mau menyimpan masalah itu sendiri terlalu lama,” ucap Labibah lirih.
Tidak sengaja Fauzan yang sudah selesai mandi, dan berada di dekat Labibah, dia mendengar semua yang Labibah katakan tadi. Fauzan terdiam, mencerna setiap perkataan Labibah tadi.
“Maafkan aku, Bibah. Aku marah, marah sekali dengan kamu, saat kamu bilang Fira hamil dengan Jamil. Siapa Jamil? Selama dia bersamaku saja dia tidak punya teman laki-laki selain aku? Masa Fira tega seperti itu? Itu tidak mungkin, Bibah. Maafkan aku, aku sudah menamparmu, karena aku shocked, mendengan ucapan kamu tadi, saat bilang Fira hamil. Aku janji, aku tidak akan menyakiti fisik kamu lagi, Bibah. Aku juga akan cari tahu kebenarannya sendiri, maafkan aku, mungkin aku pun akan mengurus perceraian kita nanti, aku akan mencari Syafira sampai aku bertemu dia, dan tahu apa yang terjadi sebenarnnya,” ucap Fauzan dalam hati.
Fauzan mengambil bajunya, dan memakainya lalu dia keluar dari kamarnya. Labibah tahu kalau suaminya sudah keluar dari kamarnya. Dari tadi dia membelakangi suaminya, dia masih menangis. Labibah ingat tadi saat di rumah, Pak Satpam menitipkan sesuatu pada dirinya, katanya itu dari temannya. Labibah mengambil kertas yang katanya dari temannya itu di dalam tasnya. Labibah membukanya, lalu membacanyaa.
Jadilah seperti senja. Yang menentramkan meski hadir sesaat. Jadikan kepribadiamu seperti dia. Singgah untuk menghibur, datang meski tidak diharpkan. Eloknya memang sebentar lagi sirna. Hilang dan gelap datang.
Itulah senja. Dan senja itu kamu, Bibah. Semu dan menggembirakan.
_Fahri_
Labibah mengernyitkan keningnya membaca secarik surat dari Fahri. Bibah tidak menyangka Fahri menitipkan secarik surat pada Satpam, dan dia yakin, pasti tadi Fahri mengikutinya sampai rumahnya saat dia mengambil mobilnya dan menjemput Mbak Sani.
“Ternyata Dokter Fahri, aku kira siapa?” Ucap Labibah dengan menyunggingkan senyumannya, lalu menaruh surat dari Fahri ke dalam kotak yang ada di lemari meja kerjanya.