Help Me 4 - Jangan Memaksa

2025 Words
“Tapi kita tidak mungkin mengundang kembarannya ke sini sekarang. Ini sudah malam,” terang Naina. “Bener juga, sih. Mas Bear dan kawan-kawannya pasti bakal laporan terus ketauan deh kita ketemu hantu lagi. Padahal kita ke sini ‘kan buat ngindarin hantu,” sahut Clarisa. “Sebaiknya memang begitu,” tambah Gatot. “Nggak ada yang nanya lo, Perkedel Kentang!” “Apa kamu bilang?” “Ssssttthhh! Jangan ribut. Sekarang mending kamu lepaskan dia.” Naina menatap Gatot. “Saya tidak mau. Arwah gentayangan seperti dia ini berbahaya.” Emelie mendengus jengah sambil merotasikan bola matanya. “Lalu, kalau dia tidak dilepas berarti dia akan di sini sampai besok pagi?” tanya Naina. “Memangnya mau di mana lagi?” “Tapi kami mau tidur.” “Tidur saja. Memangnya kenapa?” sahut Gatot pongah. “Tapi kami tidak tenang kalau dia ada di sini.” “Aku tidak akan mengganggu kalian. Sungguh.” “Tidak ada yang memintamu bicara!” sentak Gatot membuat Emilie menjenggit takut. “Galak sekali teman kalian.” “Nei! Nei! Nei! Dia bukan temen kami, ya. Catat! Ogah gue punya temen perkedel kentang nggak jelas gini.” “Kamu bicara apa?” “Per-ke-del ken-tang,” eja Clarisa lalu mendengus pongah. Membuat Gatot menggeram marah. “Apa lo! Mau marah?” “Udah… udah. Kalian nih kenapa, sih? katanya nggak temenan tapi ribut mulu.” “Dia!” “Dia!” sentak keduanya kompak sambil saling menunjuk muka dengan telunjuk. Membuat Naina dan Emilie menggelengkan kepala dengan kompak. “Elo tuh!” “Kamu yang mulai mengatai saya!” “Elo yang mulai nggak berakhlak juga, sih!” solot Clarisa tak mau kalah. “Aduh! Udah… udah… udah! Sekarang ini kita pikirkan siapa yang mau jaga dia?” “Dialah. Dia ‘kan yang nangkep dan ngiket nih Mbak hantu bule,” unjuk Clarisa berani. “Saya harus pulang!” “Ohh, tidak bisa, Ferguso! Anda mau ke mana?” Hadang Clarisa namun kali ini dengan gestur yang terlihat percaya diri. “Minggir atau ku… ahhh… ahhh… ahhh!” Gatot mengaduh berulang kali ketika Clarisa dengan sekuat tenaga menginjak kaki, menjambak rambut pria itu hingga kepalanya menengadah ke atas sebelum lututnya menendang pusat kehidupan Gatot hingga membuat pemuda itu tersungkur di lantai. “Clarisa!” Naina mendekat dan mencoba menolong Gatot. Namun langkahnya terhenti karena ingat reaksi yang diberikan gatot ketika hendak menolongnya tadi pagi. Clarisa sendiri langsung mencari tali dan mengikat Gatot dengan simpul yang mematikan. Bahkan ikatan yang dibuatnya saling terhubung sehingga Gatot harus melepaskannya satu persatu. “Perempuan bar-bar!” Clarisa menjulurkan lidah seraya mengejek Gatot yang masih terlihat kesakitan di bagian pangkal pahanya. “Nah, sekarang aman kalau gini. Biar mereka tidur bersama di sini.” “Tapi Clarisa, gimana kalau Gatot sakit tidur di lantai begini?” “Pemanas ruangan ‘kan nyala, Nai. Nggak akan dingin kok.” “Tapi–“ “Sssttthhh! Udah deh. Percaya sama aku.” Clarisa lalu menarik Naina pergi dan membiarkan Gatot bersama Emilie di dapur. “Kita apa nggak kejam, ya?” “Nggak. Memangnya dia mau laporin kita? Bisa-bisa malah dia yang masuk penjara kalau ketahuan nyelinap.” Clarisa mengajak Naina masuk kamar yang sama lalu mengunci pintu sebelum merebahkan tubuhnya lebih dulu di atas kasur. “Tidur, Nai!” “Tapi–“ Clarisa mendesah berat lalu duduk dari tidurnya. “Inget, tujuan kita ke sini apa? Kamu nggak mau ‘kan bikin Mommy Lala cemas? Kalau Mommy sampai kepikiran kamu, Daddy Janu juga bakal sedih. Kamu nggak suka ‘kan liat mereka berdua begitu karena kamu?” Bahu Naina luruh ke bawah. Tubuhnya menyandar di pintu sementara pandangannya jatuh ke bawah. Clarisa bangun dan menghampiri Naina. Meraih kedua jemari Naina lalu kembali berucap, “Terkadang kita perlu sedikit tega sama diri sendiri demi kebaikan kita juga, Nai. Kamu nggak memperbaiki masalah kamu sama Umi Yuni? Nggak mau balikan sama Aa Naga Bonar?” Naina mencebik kesal. “Apa, sih?” “Apa, sih…” cibir Clarisa menirukan. “Masih sayang mah nggak usah sok jual mahal.” Naina menarik hidung Clarisa hingga membuat gadis itu mengaduh. “Udah yuk tidur!” Naina mengangguk. Mereka berjalan menuju tempat tidur lalu sama-sama menyibak selimut. “Terus Emilie gimana?” “Ya, nggak gimana-gimana. Kita minta Gatot lepasin dia besok terus suruh kembarannya jemput.” “Gatot?” “Alah… apaan sih mikirin Gatot kaca mobil. Dia cowok. Biarin aja. Palingan masuk angin karena tidur di lantai. Tinggal kasih tolak angin nanti juga sembuh.” Naina tertawa kecil sementara Clarisa langsung memejamkan matanya. Pun dengan Naina yang akhirnya ikut memejamkan mata di samping Clarisa. Sementara itu, Gatot yang sejak tadi menguping pembicaraan keduanya tampak terdiam di depan pintu kamar mereka sebelum kembali ke dapur dan mengikat dirinya sendiri kembali. Bukan hal sulit bagi Gatot melepaskan ikatan yang dibuat Clarisa. Hanya saja tidak ada yang tahu kenapa ia melakukan hal itu kembali. Mengikat dirinya sendiri dan memilih tetap tinggal bersama Emelie di dapur. “Kenapa kamu tidak kabur?” “Bukan urusanmu,” ketus Gatot lalu memejamkan mata dengan posisi menyandar pada kitchen island. Emelie juga melakukan hal yang sama sebab dia juga tidak bisa ke mana-mana. Entah apa yang dililitkan Gatot ditubuhnya sedang Emelie juga tidak bisa melihat namun hal itu sukses membuat Emelie tak bisa berkutik. “Lebih baik aku juga tidur saja,” gumamnya kemudian memejamkan mata. *** “Emelie! Emelie! Bangun!” Suara itu membuat Emelie menggeliat sebelum membuka kedua matanya perlahan. “Emma. Kau sudah datang?” Emma mengangguk. Gadis kembaran Emelie itu lantas menatap Gatot dan meminta pemuda itu melepaskan ikatan pada tubuh kembaranya. Gatot kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam hoodienya. Semacam belati kecil yang digantung pada sebuah kalung. Tanpa perlu mendekat, Gatot hanya mengarahkan belati kecil itu ke arah Emelie lalu sekilas cahaya horizontal muncul diikuti dengan gerakan tubuh Emelie yang tampak seperti terbebas. “Akhirnya. Melelahkan sekali semalaman aku diikat seperti ini. Terima kasih,” ujarnya pada Gatot. Pemuda itu nampak tak peduli. Naina lantas mengajak mereka duduk di kursi bar stoll. Clarisa membuatkan cokelat hangat untuk ia, Naina dan juga Emma. Sementara untuk Gatot, Clarisa membuatkan teh panas yang dicampur tolak angin. “Pppffffttthhh! Minuman apa ini? Mana panas lagi. Kamu mau meracuniku, ya?” “Hilih, apa untungnya gue ngeracun lo. Bagus gue kasih minum. Itu teh sama campuran tolak angin. Biar lo nggak sakit, Perkedel Kentang!” Gatot berdecak kesal lalu mendorong gelas di hadapannya tersebut. “Habisin nggak lo?! atau gue laporin ke polisi lu ngendap-ngendap ke rumah orang,” ancamnya galak membuat Gatot mau tak mau patuh. Naina menggelengkan kepalanya sementara Clarisa tersenyum miring karena berhasil membuat Gatot patuh pada perintahnya. “Jadi kamu sebenarnya adalah Emma. Hanya saja raga kamu milik Emelie?” buka Naina menatap kedua gadis kembar itu bergantian. Emma dan Emelie langsung mengangguk. “Jadi, kalian ingin bertukar raga lagi?” Kali ini keduanya saling menatap sendu. “Kalau kalian bertukar raga, artinya Emma yang akan mati dan Emelie yang hidup.” “Mungkin itu lebih baik,” sahut Emma terdengar pasrah. “Tidak! Aku tidak butuh kembali ke ragaku. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kami,” sela Emelie lalu menatap kembarannya. “Aku mohon Emma. Mungkin ini jalan Tuhan. Aku tidak apa-apa.” Emma menggeleng. “Aku tidak bisa hidup sebagai dirimu. Tidak. Aku tidak bisa. Ini membuatku muak, Emelie.” “Aku tahu kamu merindukan mereka. Dan sekarang mungkin saat kau bisa memperbaiki hubungan kalian yang merenggang karena aku.” Naina dan Clarisa saling menukar tatapan heran. Sementara Gatot yang berdiri sambil bersandar pada dinding menatap kedua gadis kembar itu dengan tatapan tak terjemahkan. “Tapi untuk apa? Mereka tetap saja menganggapku sebagai dirimu, bukan aku, Emma yang sebenarnya.” “Emma.” “Maaf,” Clarisa menyela. “Kami tidak mengerti apa yang kalian bicarakan. Tapi itu tidak penting. Tapi maaf aku juga harus mengatakan ini, kami tidak bisa membantu kalian.” Ucapan Clarisa membuat Emma menatap melas padanya sementara sang kembaran tampak menghembuskan napas panjang.. Kedua tangan Clarisa terlipat di dadanya sementara wajah Clarisa tampak serius dan tenang. Tak seperti sebelumnya saat bertengkar dengan Gatot. “Kenapa?” kejar Emelie. “Tujuan kami ke sini untuk belajar dan juga memulihkan kesehatan Naina. Kami tidak bisa membantu kalian. Jadi aku harap setelah ini kalian tidak mengganggu kami lagi.” “Kamu sakit?” tanya Emma diangguki Emelie. “Tapi–“ “Cepat pergi atau kuusir dengan cara paksa dari sini.” Emelie ingin mengatakan sesuatu tapi lebih dulu di potong Gatot. “Tolong lah. Hanya kalian satu-satunya harapan kami setelah berbulan-bulan ini kami mencari orang yang bisa membantu,” melas Emelie. “Jika hanya untuk mencari tahu kenapa harus memerlukan bantuan kami? Bukankah kalian bisa melakukannya berdua?” tanya Naina penasaran. “Ini tidak sesederhana yang kalian kira. Ada banyak hal yang sebetulnya belum kuceritakan.” “Apa?” “Tidak perlu. Kami tidak perlu tahu apalagi jika itu membahayakan nyawa kami,” sela Clarisa membuat Gatot terlihat kagum dengan gadis itu. “Sebaiknya kalian pulang. Kami masih banyak kegiatan yang harus dilakukan.” Clarisa berjalan ke arah pintu dan membukakannya untuk mereka berdua. Naina tak bisa banyak bicara. Wajahnya menatap maaf pada Emma dan Emelie karena yang dilakukan Clarisa juga untuk kebaikannya. Andai saja kondisi kesehatan Naina baik-baik saja, Naina mungkin tak akan berpikir dua kali untuk membantu Emma dan Emelie, tak perlu merasa kasihan seperti sekarang ini. Gatot menarik paksa Emelie yang hendak mendekati Naina. “Cepat pergi! Dan jangan mengganggu manusia lagi.” “Kau pikir aku hantu pengganggu manusia?” salak Emelie tak terima. “Kalau bukan kenapa kalian masih di sini dan memaksa?” sinis Gatot sambil terus mendorong Emelie keluar dari rumah. “Hey! Tidak perlu kasar!” protes Emelie. “Dan lagi tidak ada yang minta pertolonganmu. Aku meminta pertolongan pada Clarisa dan Naina, bukan padamu, manusia kentang!” Clarisa mendengus lantas mengulum tawa geli mendengan Emelie memaki Gatot dengan panggilan yang ia sematkan. Namun ekspresinya berubah seketika kala tatapan matanya bertumbukkan dengan tatapan Gatot yang memicing taja,. “Apa lo?!” Satu alis Gatot menanjak ke atas sebelum mendengus malas. “Sekali lagi aku minta maaf. Kami tidak bisa membantu kalian.” Emma mendesah pelan di hadapan Clarisa. “Maaf atas sikap Emelie yang sudah menganggu kalian,” lirihnya diangguki Clarisa. Pintu pun tertutup. Emelie yang mencoba menerobos masuk tiba-tiba saja terpental sampai ke tengah taman. “Aduh!” “Emelie!” Emma menghampiri kembarannya. Dan hal itu membuat pengawal Naina yang memperhatikan dari tempat tersembunyi mengernyit heran. “Kamu baik-baik saja?” tanya Emma menatap Emelie yang terlihat mengerutkan kening saat menatap rumah Naina. “Kenapa rumah itu seperti ada gelembung pelindungnya sekarang?” “Kau bicara apa? aku tidak melihat apa-apa.” Emma membantu Emelie bangun. Telunjuk Emelie menunjuk ke arah rumah Naina. “Rumah itu seperti ada pelindungnya. Dan aku tidak bisa menembusnya.” “Sudah lah. Ayo kita pulang!” “Kau tidak mengurus pendaftaran kuliah?” Emelie segera menyusul Emma yang meninggalkannya begitu saja. “Kau tidak jadi melanjutkan kuliah?” desaknya tak sabar. “Percuma.” “Kenapa?” Emelie berjalan di depan Emma. “Aku tidak akan bisa mengambil jurusan yang aku mau. Karena itu lebih baik aku bekerja saja di galeri.” “Tapi Emma–“ “Berhentilah mengomeliku!” Emma berteriak kencang. Raut wajahnya terlihat marah sekaligus lelah. Ia tak peduli orang-orang memperhatikannya. “Pergi! Aku tidak mau melihatmu lagi.” “Emma.” “Aku lelah, Emilie. Tolong, jangan terus memaksaku.” “Emma.” Emma melangkah cepat meninggalkan Emilie yang masih tergugu dengan wajah menyesal. “Maafkan aku,” gumamnya lalu berbalik ke arah yang berlawanan. Entah ke mana langkahnya pergi. Emilie hanya tahu kalau Emma butuh waktu sendiri. Selama ini mereka hidup terpisah. Emma tinggal dengan nenek kakeknya, sedang Emelie tinggal dengan ayah dan ibunya. Sejak kejadian menyedihkan saat mereka masih kanak-kanak keduanya terpaksa dipisahkan. Meski begitu bagi Emelie, Emma adalah saudara sekaligus teman terbaiknya. Emma selalu melindungi Emelie yang memang mudah dibully saat masih sekolah. Karena itu, melihat Emma begitu marah padanya membuat hati Emelie terluka dan sedih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD