Emma turun dari taksi yang mengantarkannya ke rumah sang nenek.
Rasanya baru kemarin ia masih berada di sini. Tapi sejak terbangun di tubuh Emelie, Emma tak bisa menjadi dirinya sendiri.
Selain itu, ia juga tak berani menemui nenek, bibi dan pamannya. Takut mereka mengenali kebiasaan dan gestur tubuhnya yang jelas berbeda dengan Emelie.
Emma juga masih berusaha kerasa untuk beradaptasi dengan segudang kegiatan baru yang harus bisa ia lakukan seperti yang biasa dilakukan Emelie agar kedua orangtuanya tidak curiga.
Sayangnya menggantikan peran Emelie yang terbiasa tinggal bersama kedua orangtuanya sangat lah tidak mudah, meski mereka terlahir sebagai anak kembar identik.
Emma lantas menatap ke sekitar. Taksi yang membawanya berhenti tepat di ujung jalan menuju perkebunan.
Dari sana Emma sengaja ingin berjalan kaki sambil menyusuri jalanan yang akan membawanya ke rumah sang nenek.
Sepanjang perjalanan, Emma merasa tak banyak perubahan yang terjadi setelah berbulan-bulan ia tidak pernah berkunjung lagi ke sini.
Di waktu seperti sekarang ini, nenek, paman dan bibinya pasti sedang sibuk di kebun. Dan biasanya Emma juga akan ikut membantu mereka.
Ia pun memutuskan pergi ke kebun dan menyaksikan dari kejauhan sambil mencari-cari keberadaan Emelie yang mungkin ikut bersama keluarganya ke kebun.
Meski Emelie tidak akan bisa berkomunikasi dengan keluarganya, Emma yakin gadis itu pasti tidak suka ditinggal sendirian di rumah. Apalagi di rumah ada Chloei, kucing milik Emma, dan Emelie alergi dengan bulu kucing.
“Tapi sekarang Emelie sudah jadi arwah, apa dia masih bisa merasakan alergi karena bulu kucing?” gumamnya sambil terus berjalan dan melihat-lihat sekitar.
Tiba di dekat sebuah pohon besar, dari kejauhan Emma melihat sang paman sedang mengemudikan traktor bersama nenek dan bibinya yang bertugas mengisi tempat bibit dengan sayuran yang akan mereka tanam di bagian belakang traktor besar itu.
Traktor itu berjalan dengan kecepatan biasa sementara alat dibawahnya mencangkul tanah yang sudah gembur diikuti dengan bibit yang masuk ke dalamnya lalu dikubur dengan capat oleh alat cangkul yang sama. Begitu seterusnya hingga lahan yang harus ditanami selesai digarap.
Pertanian dan perkebunan di negara eropa memang sangat maju. Meski memiliki lahan yang sangat luas, petani tidak memerlukan banyak pekerja untuk menggarap tanah, menanam dan juga memanen hasilnya.
Pada masa-masa panen tertentu saja biasanya mereka menyewa orang secara harian untuk membantu jika dirasa pekerjaan mereka memerlukan bantuan lebih.
Emma lantas memperhatikan kegiatan keluarganya sambil duduk dan bersandar pada pohon besar. Pohon yang juga sering ia datangi jika sedang ingin sendirian saat masih tinggal di sana.
Cuaca tampak sangat bagus. Keluarganya pasti sedang menanam jagung dan kentang di musim ini, pikirnya.
Namun karena terlalu lama menunggu, Emma akhirnya tertidur dengan posisi kepala jatuh di atas kedua kaki yang ditekuknya.
Semilir angin pedesaan yang dirindukan membuat Emma merasakan perasaan yang menenangkan hingga waktu bergulir cepat dan gadis itu masih terbuai dalam tidur siangnya.
Sang paman yang melihat merasa penasaran karena seperti mengenali sosoknya ketika ia membawa traktor itu kembali ke rumah mereka.
“Sayang, tolong lihat gadis itu!” serunya ke belakang.
Sang istri turun dari traktor bagian belakang sementara sang ibu hanya melihat dari sisi traktor.
“Nona! Nona!”
Sang bibi menggoyangkan bahu Emma dengan pelan hingga membuatnya terbangun.
Emma langsung mengerjap beberapa kali karena sinar matahari yang menyilaukan penglihatannya.
"Iya."
“Emma?”
“Bibi?”
“Ibu… Emma datang!”
Gadis itu belum menyadari kalau keluarganya memanggil dirinya dengan panggilan namanya sendiri.
Hingga dua orang lainnya ikut turun dan menghampiri, Emma masih bingung ketika sang nenek memeluk gadis itu dengan erat sambil terus menggumamkan namanya.
“Cucuku. Akhirnya kamu datang, Sayang.”
“Emma. Kau datang dengan siapa?” tanya sang paman kali ini membuat Emma akhirnya menyadari sesuatu yang janggal.
“Kenapa kalian memanggilku dengan sebutan Emma?”
Sang paman merangkul istrinya yang terus mengusap air mata harunya sementara ibu mereka masih menangkup kedua pipi dan menatap Emma dengan tak kalah haru.
“Kamu pasti ingin menemui Emelie bukan? Ayo kita ke rumah. Aku sudah tau kamu pasti akan datang.”
Emma masih kebingungan saat paman, bibi serta neneknya membawa gadis itu pulang ke rumah mereka tanpa ia bisa menyangkal lagi.
Dan begitu pintu dibuka oleh Emelie, Emma baru menyadarinya ketika kembarannya itu mengomel secara tak sadar.
“Kenapa nenek lama sekali? Chloei terus menatapku saat menon… ton… Emma! Kenapa kamu ada di sini?”
“Emelie, aku…”
Emma tak sempat menuntaskan ucapannya karena tiba-tiba saja kepalanya terasa sangat pusing dan membuatnya kehilangan kesadaran begitu saja.
***
“Maafkan kami.”
Emma yang sudah terbangun hanya diam begitu mendengar nenek dan bibinya mengatakan kalau mereka sudab tahu yang sebenarnya terjadi di antara Emma dan Emelie.
“Jadi… kalian bisa melihat Emelie dan sudah tahu kalau kami tertukar?” sang nenek dan bibinga mengangguk kompak. “Tapi bagaimana bisa?”
Emelie yang berdiri tepat di sisi tempat tidur terdengar membuang napas kasar sementara sang bibi yang berdiri di belakang sang nenek, juga menatap sendu ke arah Emma sambil terus mengusap-usap bahu wanita tua itu.
Mereka berbicara sambil duduk diatas kasur yang biasa ditiduri Emma sehari-hari di kamarnya dan kini ditempati oleh Emelie.
“Saat itu Emelie sakit parah. Tapi dokter tidak tahu penyebabnya apa. Lalu dukun yang kami temui mengatakan pada kakak kalau dia ingin kedua anaknya hidup sampai besar, kalian harus dipisahkan,” terang bibinya.
“Karena itulah, ayah dan ibumu membawamu ke sini dan Emelie yang sakit-sakitan dirawat oleh mereka agar mudah ditangani jika memerlukan tenaga medis dan perawatan intensif di rumah sakit kota,” tambahnya.
“Tapi apa hubungannya dengan kalian yang bisa melihat Emelie?” Emma masih belum mengerti dan menyimpulkannya sendiri.
“Kami kembali ke dukun itu dan meminta cara agar bisa melihat siapa arwah yang datang ke rumah ini.” Bibinya kembali menjelaskan.
“Beberapa waktu setelah kedatangan Emelie, Chloei bertingkah aneh. Kami pikir itu mungkin karena ia rindu padamu. Tapi Chloei menunjukkan sikap garang setiap kali ia bertingkah seperti sedang berhadapan dengan seseorang. Hingga akhirnya kami menyadari kalau kalian tertukar setelah kami berhasil melihat arwah Emelie.”
Chloei yang masuk ke dalam kamar Emma langsung loncat ke atas kasur dan naik ke atas pangkuan gadis itu.
“Kamu merindukanku?”
Chloei mendengkur setelah mencari posisi nyaman untuk memejamkan matanya tanpa memedulikan pertanyaan Emma.
“Dasar kucing manja!” desis Emelie sebal lalu bersembunyi ke belakang bibinya ketika kucing hitam besar itu bangun dan menatapnya dengan penuh permusuhan.
Suasana yang semula sendu pun berubah menjadi lumer ketika nenek, bibi dan Emma terkekeh melihat hubungan antara Emelie dan Chloei yang tidak pernah bisa akur sejak dulu.
“Aku ke sini untuk menjemputmu. Ayo pulang! Aku kesepian di rumah ayah dan ibu," bujuk Emma.
“Tidak. Aku lebih suka di sini. Bukankah kamu sendiri yang menyuruhku pergi dan tidak mengganggumu lagi?”
Emma kembali merasa bersalah karena apa yang sudah dilakukannya dan membuat Emelie pergi hari itu.
“Bukan begitu maksudku, Emelie. Aku minta maaf. Saat itu aku sedang kesal karena kamu terus memaksaku.”
“Aku tidak peduli. Tidak apa aku jadi arwah penasaran. Aku akan tinggal di sini menemani nenek, paman, bibi dan juga…”
Emelie menatap horor pada Chloei yang entah selalu bisa menyadarinya dengan cepat.
Chloei yang semula tertidur di pangkuan Emma langsung bangun dan menatapnya garang.
“Kau harus belajar menerimaku kucing hitam jelek.”
“Roarrrr!” Chloei memberi respon galak dan membuat Emelie kembali bersembunyi di belakang sang bibi.
“Kau tidak boleh menjahatinya, Chloei.”
“Dengarkan kata-katanya kucing jelek.”
“Roarrr!”
“Sudah Emelie. Kau bisa dikejar seharian olehnya nanti.”
“Aku tidak peduli. Dia memang kucing jelek, Bibi.”
Dan kali ini Chloei benar-benar mengejar Emelie hingga keluar.
Emma sempat terkekeh sebelum akhirnya membiarkan sang kembaran dan kucing kesayangannya ‘bermain’.
“Kenapa wajah nenek sedih seperti itu?”
Sang nenek kemudian membuang napas berat. Ia rindu dengan kedua anaknya yang sudah beberapa bulan ini, sejak kematian salah satu putri mereka tidak pernah lagi datang mengunjunginya.
“Bagaimana kabar ayah dan ibumu? Apa kamu tahu kenapa mereka tidak mau datang ke sini?”
Emma menggelengkan kepalanya lalu meraih jemari tua yang masih giat bekerja itu.
“Nenek pasti sangat merindukan mereka. Aku juga tidak tahu kenapa mereka tidak mengunjungimu. Aku pernah mengajak mereka ke sini. Tapi mereka beralasan sibuk.”
“Tidak apa. Mungkin pekerjaan ayah dan ibumu memang sedang banyak.”
Mereka pernah beberapa kali saling menelepon. Tapi intensitasnya bisa dihitung dengan jari.
“Mungkin mereka sedang berusaha memulihkan perasaan sebelum menemui kami.”
“Bibimu benar. Mereka mungkin tidak ingin melihatku cemas karena kondisi mereka yang buruk setelah kehilangan anaknya.”
Sang nenek gantian meraih telapak tangan Emma dan mengusap-usapnya lembut.
“Ibu mana yang rela dipisahkan dengan anaknya. Tapi ia rela berpisah denganmu demi membuat kalian berdua tetap hidup…
“Karena itu, kematian yang mereka kira menyebabkan dirimu tiada, mungkin membuat mereka merasa semakin bersalah dan belum sanggup datang ke sini.”
Emma hanya bisa mengangguki ucapan sang nenek meski yang ia rasakan justru sebaliknya.
Sejak meninggal, meski mereka memperlakukan Emma yang berada di dalam tubuh Emelie dengan baik, ia bisa merasakan kalau kedua orangtuanya seperti tidak menginginkan kehadirannya.
Sempet berpikir mungkin ayah dan ibunya merasa kalau kematian jasadnya disebabkan oleh Emelie yang sejak kecil dianggap menjadi masalah hingga menyebabkan mereka harus berpisah.
Tapi Emma juga tidak yakin dan mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Sedikit banyak perasaan itu membuatnya ingin mencari tahu penyebabnya.
Tapi kink ia harus membawa Emelie pulang terlebih dahulu bersamanya. Karena hanya Emelie agar bisa membantunya untuk tetap bertahan hidup bersama kedua orangtuanya.
Krubuk….
Krubuk…
Krubuk….
Nenek dan bibi menatap perut Emma dan wajahnya bergantian. Membuat gadis itu cengengesan karena malu.
“Kau pasti lapar sampai-sampai pingsan. Akan kubuatkan makanan kesukaanmu dulu, ya.”
Emma mengangguki kepergian bibirnya sementara sang nenek yang terlihat masih sangat rindu padanya kembali membelai-belai rambutnya.
“Apa kau akan bermalam di sini?”
Emma mengangguk tanpa ragu. “Aku ingin tidur denganmu. Aku juga sangat merindukanmu.”
“Aku juga. Oh cucuku yang malang. Mengapa semua ini harus terjadi pada kalian?”
“Jangan menangis.”
Mereka berpelukan. Di bawah tatapan Emelie yang diam-diam memperhatikan keduanya sembunyi-sembunyi.
Emelie lantas pergi ke dapur untuk menemani bibinya memasak meski yang ia lakukan justru terus menghindari Chloei yang berusaha memburunya.
“Lakukan saja sampai kau lelah. Sampai kau jadi arawah sepertiku, jangan harap kau bisa menyentuhku,” desis Emelie berani meski ia masih ia kaget setiap kali Chloei memberikan tatapan permusuhan dan suara yang mengancam.
“Emelie, panggilkan nenek dan adikmu.”
Gadis itu mengangguk, diikuti Chloei yang terus mencoba mencakar-cakarnya dan selalu gagal karena tak sedikitpun ia bisa menyentuh musuhnya itu.
Emma dan neneknya datang bersama Emelie dan Chloei yang kini ada dalam gendongan Emma.
Mereka duduk berdekatan. Emma memperhatikan Emelie yang membaui semua masakan yang dibuat bibinya.
“Panggil suamimu ke sini, Agatha.”
“Iya, Bu.”
Agatha pergi ke garasi untuk memanggil sang suami yang sedang membersihkan dan mengecek traktor mereka.
Emelie lantas mendekat ke arah Emma yang sedang memangku Chloei dan membaui makanan kesukaannya.
“Ini–“
“Roarrr!”
“Awww!”
“Chloei!” Emma terkejut karena kali ini Chloie bisa menyentuh Emelie hingga membuatnya terluka.
Namun anehnya luka itu menutup kembali dengan cepat tanpa meninggalkan bekas sama sekali.
"Luar biasa! Kukira hanya di film saja hal ini terjadi. Tapi rasanya masih sakit," cicit Emelie sambil memegangi tanganya yang sempat terluka dan mengeluarkan darah.
“Kenapa dia bisa menyentuhku? Ini aneh.”
Emelie menghindar lagi ketika Chloei loncat dan berusaha meraihnya.
Namun yang terjadi berikutnya kucing itu malah membentur kitchen set yang berada di belakang Emelie.
Emma dan neneknya kembali dibuat kaget dengan kejadian lucu sekaligus mengenaskan itu.
Chloei tampak pusing lalu berdiri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya sedang Emelie tertawa puas karena melihat musuhnya malu sekaligus kesakitan akibat menubruk lemari.
“Rasakan kau kucing jelek.”
Emma yang semula hanya memperhatikan lantas mendekat dan mencoba menyentuh Emelie.
Emelie yang merasakan sesuatu menyentuh raganya menoleh dan kembali terkejut ketika mendapati tangan Emma ada di bahunya.
“Kau…”
“Aku bisa menyentuhmu. Ada apa ini? Kenapa sekarang kita bisa bersentuhan?”
Emelie mencoba merasuki tubuh Emma, namun yang terjadi berikutnya mereka saling bertubrukan dan terhuyung ke belakang.
“Kenapa aku tidak bisa masuk ke dalam tubuhmu lagi?”
“Aku juga tidak tahu Emelie. Ini aneh.”
Bibi dan Paman mereka yang baru datang ikut bertanya, heran karena melihat wajah ketiganya yang masih terkejut satu sama lain.
“Ada apa?”
“Bibi, bisa kau mendekat padaku?” tanya Emma.
Agatha mengangguk, menghampiri keponakan yang mengulur tangan padanya.
“Coba bibi sentuh Emelie?”
Agatha mengerutkan wajah namun tetap melakukan apa yang diperintahkan Emma.
Dan kini, keterkejutan itu dirasakan Agatha juga.
“Ini...”
Emma mengangguk lalu bergantian meminta paman adan neneknya untuk melakukan hal serupa.
“Ini sungguh ajaib, Emelie. Akhirnya nenek bisa memelukmu.”
“Iya, Nek. Aku juga senang kita bisa berpelukan.”
Tak ayal sang nenek merasa bahagia karena bisa memeluk cucu kembarnya lagi itu bersama-sama meski tubuh Emelie terasa dingin di kulitnya.
Chloei juga ikut mendongak, menatap Emma seolah meminta giliran untuk diberikan kesempatan sama.
Sayangnya Emma menggeleng seraya menolak keras sambil berkata, “Aku tidak mau kamu menyakitinya.”
“Meoww!”
“Tidak!”
“Meoww!”
“Tidak, Chloei. Sampai kau mau berteman dan memperlakukan Emelie dengan baik.”
Emelie menjulurkan lidah dengan bangga, mengejek wajah Chloei yang memelas sambil terus mengeong sementara ia, dan yang lainnya tertawa-tawa sambil menikmati makan siang mereka.