Help Me 12 - Kejutan Hari Pertama Menjadi Mahasiswi

2056 Words
Libur musim dingin telah berlalu. Kini waktunya Naina dan Clarisa memulai perkuliahan mereka. “Akhirnya, jadi mahasiswa juga kita. Eh, tapi kenapa aku nggak berasa kayak jadi mahasiswa ya, Nai?” “Maksudnya?” Naina sedang sedang mencari baju hagatnya di lemari sambil membelakang Clarisa yang sedang duduk di tepian tempat tidurnya. Musim dingin sudah berganti. Namun cuaca peralihan yang belum sempurna membuat Naina yang alergi dengan udara dingin membuatnya memilih untuk membawa pakaian hangat ke kampus. Naina memilih pakaian hangat yang diberikan oleh kampus sebagai bagian dari seragam almamater yang boleh dipakai tanpa aturan atau sesuai aturan kampus untuk acara-acara yang melibatkan banyak mahasiswa. “Kalau di Indonesia ‘kan ada ospek yang bikin sakit kepala, Nai. Di sini kayak nggak ospek walaupun judulnya orientasi pengenalan mahasiswa dan mahasiswi baru,” terangnya Naina tersenyum lalu berjalan ke arah meja belajar dan mengambil tasnya. Hari ini adalah orientasi perkenalan mahasiswa baru. Namun mereka sudah memiliki gambaran bagaimana orientasi yang akan dilakukan mahasiswa baru di kampus mereka. Bahkan pihak kampus sudah memberikan rundown acara orientasi pengenalan yang akan dilakukan mahasiswa baru dan dibimbing mahasiswa lama. “Ya, udah seharusnya begitu. Orientasi pengenalan mahasiswa baru itu bukan perploncoan lagi kalau di negara maju.” “Iya, lupa. Negara kita ‘kan masih negara ber-flower.” “Ber-flower?” Mereka berjalan keluar kamar hingga Naina menutup pintu kamar dan menguncinya. “Ngapain di kunci sih, Nai? Kan di rumah cuma ada kita berdua. Aku juga pergi sama kamu. Siapa yang mau masuk ke kamar kamu?” Naina baru akan membuka mulut ketika ia ingat sesuatu dan akhirnya meringis. Kebiasaan selalu mengunci pintu kamar di rumahnya terbawa hingga ia ke Jerman. Naina memang selalu melakukan hal itu karena salah satu adik kembar tiganya yang sering jahil masuk kamar dan membuat gadis itu mengomel. “Jadi kangen Drei.” “Hahaha. Si tukang ketut.” Clarisa menambahi dan Naina batal mengunci pintu kamar. Mereka lantas berjalan menuruni tangga. Namun baru beberapa langkah, aroma masakan yang lezat menguar dan menyapa indera penciuman mereka yang tajam. “Siapa yang masak?” “Mas Ber paling. Siapa lagi?” “Tapi kok dia bisa masuk. Kamu nggak lupa ngunci pintu ‘kan semalam?” Naina bertanya menyelidik. Clarisa menutupi kegugupannya hingga ia berdalih kalau, “Tadi pagi aku keluar. Mataharinya bagus. Tapi ternyata masih dingin. Jadi aku masuk lagi. Kayaknya lupa ngunci pintu, deh.” Naina berdecak. "Kalau ada orang asing masuk gimana? “Ya elah, Nai. Ini bukan negara ber-flower. Orang di sni nggak akan sembarang masuk rumah orang biarpun nggak dikunci.” “Ya tapi… eh tunggu. Dari tadi kamu bilang negara ber-flower terus. Apa, sih, maksudnya?” “Negara ber-flower. Flower dalam bahasa Indonesia artinya apa?” “Bunga.” Clarisa menggeleng. “Salah. Salah. Bahasa sunda.” “Kembang.” “Nah, tambahin deh tuh ber-nya. Jadi?” Naina mendengus lalu kembali mencium aroma lain yang membuatnya makin penasaran, aroma kopi hitam pekat yang menyengat. Dan Naina hafal betul siapa yang sering meminum minuman seperti itu di rumahnya. “Kok ada bau kopi item pekat? Mas Bear suka ngopi kali. Jadi dia bikin kopi sambil bikinin sarapan buat kita,” celetuk Clarisa. “Udah, yuk, ah! Nanti kesiangan kita. Orang Jerman nggak suka orang lelet.” “Tapi kok Bernald nggak ngabarin kita mau ke sini? Eh tunggu! Kok masakannya kayak nggak asing ya, baunya.” “Iya. Kayak…” “Masakan Mommy!” kompak keduanya berseru lalu berebut turun ke bawah. Dan benar saja di dapur sudah ada Janu dan Lala, kedua orangtua Naina yang sedang pamer keromantisan. Janu sedang memeluk Lala yang sedang membuatkan sarapan untuk Naina dan Clarisa dari belakang . “Dad, udah ih! Nanti anak-anak…” Belum Lala melanjutkan ucapannya, suara Naina dan Clarisa yang memekik kompak memanggil namanya terdengar diikuti suara langkah yang menuruni tangga dengan cepat. Janu tampak kesal lalu buru-buru mengecup pipi Lala sebelum melepaskan perempuan itu. “Mommy!” teriak Clarisa begitu pun dengan Naina yang kemudian berteriak memanggil Janu dengan panggilan daddy. Clarisa memeluk Lala sementara Naina langsung memeluk Janu. Mereka terlihat begitu bahagia diberi kejutan oleh kedua orangtua Naina yang sudah Clarisa anggap seperti kedua orangtua kandungnya sendiri. Lala terkekeh begitupun dengan Janu yang gemas menciumi putri sulung kesayangannya itu dan memeluknya lagi. “Mommy sama Daddy kapan dateng? Kok nggak ngabarin?’ “Nggak kejutan dong!” “Nai, gantian dong! Aku juga mau peluk Daddy.” Naina lalu memberi kode dengan mengendikkan dagu ke arah Lala yang pura-pura memicing cemburu memberi peringatan pada gadis itu. “Aduh, lupa. Ada pawangnya.” Lala langsung menyentil kening Clarisa tanpa ampun. “Aduh! Sakit Mommy.” “Mau rebut mantan pacar aku, hmm?’ “Dih, masa Daddy pedopil?” Mereka tertawa namun akhirnya Lala dan Janu merentangkan tangan, saling merangkul sehingga Naina dan Clarisa bisa memeluk mereka berdua. Keempatnya lalu sarapan sambil berceloteh riang. Hari ini Janu dan Lala yang akan mengantar mereka ke kampus. Seperti dulu, setiap kali Naina dan Clarisa masuk sekolah SD, SMP sampai SMA untuk pertama kalinya. Naina tak pernah kehilangan momen tersebut dalam hidupnya, begitupun Clarisa meski yang melakukan hal itu bukan kedua orangtua kandungnya. Lala dan Janu selalu berusaha hadir di semua momen pertama yang kedua gadis itu lalui agar mereka selalu mengenang hal itu sebagai kenangan indah yang ditinggalkan dan mungkin nantinya diwariskan pada anak cucu mereka juga. “Adik-adik nggak ikut, Mom?” “Mommy lusa juga udah pulang kok. Daddy langsung ke Perancis tugas.” “Mommy ikut?” “Ikut dong! Kan sekalian honeymoon. Bikin adik lagi buat Naina.” Gadis yang disebut namanya itu tersedak sementara sahabatnya tertawa puas sambil memegangi perutnya. Lala memang bercanda, namun candaan itu selalu saja membuat Naina kesal. Dia sudah punya tiga adik kembar laki-laki dan dua adik kembar perempuan. Dan kalau Lala sampai hamil lagi, Naina yakin anak Lala akan kembar. Naina tidak siap memiliki adik kembar yang terlalu banyak. Rasanya memusingkan apalagi setiap kali mereka sakit. Jika yang satu sakit, seperti ikatan batin yang kuat, maka yang lainnya juga akan sakit. Naina selalu kasihan dengan kedua orangtuanya. Terutama Lala karena Janu yang masih berdinas aktif di kesatuannya dan kadang tidak bisa menemani meski di rumah mereka memiliki banyak pengasuh sejak kelima adik kembarnya masih bayi. Janu lalu berbisik pada pada Naina hingga membuat gadis itu terkekeh. “Nggak bisa, Dadd. Kondomnya udah Mommy buang.” Naina dan Clarisa sampai melongo. Lala sepertinya tahu apa yang baru saja dibisiikan sang suami pada anak sulung mereka. Clarisa lalu terkekeh. Hatinya menghangat melihat interaksi keluarga yang selalu melibatkannya sebagai bagian dari mereka. Membuatnya merasa jadi bukan orang asing selama ini. “Okay, Daddy tembak luar deh.” “Nggak ada, ya, tembak luar. Nggak usah sekalian.” Lala memberi peringatan serius. “Yakin?” goda Janu pada sang istri lalu mengendipkan matanya. “Yakin. Paling Daddy yang nggak tahan. Liat aja. Kayak yakin aja bisa menolak godaan Mommy kalau pake–“ “Stop!” Naina menghentikan perdebatan m***m kedua orangtua yang tak peduli ada anak yang masih risih mendengar percakapan seperti itu dari kedua orangtuanya. “Tolong ya Bapak Janu dan Ibu Gemalani. Lanjutkan di kamar saja berdebatnya. Kami harus ke kampus.” “Mommy, fighting!” Clarisa malah mengompori dan mendapat decakan dari sahabatnya. Gadis itu tak peduli dan hanya mengedikkan bahu, menyelesaikan sarapan lalu kembali ke kamar sebentar karena ponselnya ketinggalan. Bernald yang sudah tiba belasan menit lalu langsung berdiri dan memberi hormat pada Janu sebelum menyerahkan kunci mobil. Lala duduk di samping sang suami yang mengemudi sementara Clarisa dan Naina duduk di belakang. Selama perjalanan menuju kampus yang hanya ditempuh sekitar dua puluh menit saja menjadi terasa singkat karena mereka tak henti bercengkrama. Tiba di kampus, Janu memarkirkan mobilnya di tempat lain lalu berjalan merangkul kedua gadis itu sementara Lala mengabadikannya dengan ponsel di belakang. “Nah, udah sampai gerbang. Selamat menjadi mahasiswi baru, ya. Have fun tapi tetep belajar sungguh-sungguh supaya usaha kalian buat sampai sini nggak sia-sia, ya?" pesan Lala lalu memeluk dan mengecupi mereka satu persatu. Sementara Janu yang tak banyak bicara hanya memeluk keduanya bersamaan sambil bergantian membubuhkan kecupan di puncak kepala dua gadis itu bergantian. Keduanya lalu melambaikan tangan pada Naina dan Clarisa yang berjalan semakin jauh meninggalkan mereka. Mendesah berat dalam pelukan sang suami, Lala berucap, “Mommy masih cemas sama Naina, Dadd.” “Dia sudah janji sama kita. Lagi pula orang yang aku sewa sudah mengawasi. Nggak ada hal aneh.” “Tetep aja, insting ibu itu beda, Sayang.” “Tau. Tapi gimana kalau kamu juga jangan tambah-tambah dengan overthingking? Mending kita balik ke hotel lanjutin yang semalam nggak jadi.” Lala langsung memukul bahu sang suami dengan wajah merona. Janu tak pernah kehilangan akal membuat istri tercintanya itu malu. Mereka tertawa lalu kembali menaiki mobil dan berjalan-jalan berkeliling kota sebentar sebelum Janu mengajak Lala menemui seorang temannya di Jerman. Sementara itu, Naina dan Clarisa yang sudah siap menjalani orientasi kampus bersama mahasiswa dan mahasiswa lainnya berkumpul di aula. “Nai, pengen pipis. Anter yuk! Takut kesasar.” Mereka lantas meminta izin pada panitia untuk meninggalkan aula sebentar dan pergi ke toilet. Namun, dalam perjalanan menuju toilet itu Naina dan Clarisa mendengar suara-suara aneh, seperti suara erangan kesakitan yang membuat mereka saling tatap jadinya. Keduanya lantas berjalan perlahan sambil mencari-cari dari mana sumber suara itu. “Kayaknya ruangan ini.” Naina menganguk setuju lalu masuk ke dalam namun tidak ada apapun yang mereka temukan di sana. “Tunggu!” “Apa?” “Aku denger ada yang ngobrol Nai. Tapi yang satu suaranya aneh.” “Obrolan apa?” “Nggak jelas. Percakapannya aneh. Aku jadi nggak konsen dengernya.” “Maksudnya?” Clarisa tak menjawab dan memilih pergi mencari sumber suara. Rupanya di dalam ruangan itu ada ruangan lain yang terhubung dengan dua pintu besar. Clarisa yakin suara itu dari sana dan langsung membukanya tanpa aba-aba, membuat Naina terpaksa menutupnya kembali menggunakan kekuatan telekinesisnya. “Kamu mau ngapain?” “Beneran deh. Ada yang perlu bantuan kayaknya. Kayak dicekik gitu, Nai.” Naina tak banyak bicara dan keduanya langsung menerobos, menoleh ke arah kanan di mana mereka menemukan apa yang mereka curigai. “Hey!” Naina membelalak melihat pemandangan di depannya. Gatot yang kehilangan konsetrasi terdorong ke arah lain hingga menabrak sebuah lemari. Lalu gumpalan awan pekat hitam yang semual bertarung dengan Gatot menembus kaca ruangan dan menghilang. “Kamu nggak papa?” Naina berusaha membantu tapi Gatot menepis tangan Naina dan Clarisa yang terulur bersamaan. “Kali, Gatot kaca pecah! Dibantuin malah nyolot lo?” “Bantuan? Kalian baru saja melepaskan hal berbahaya yang bisa melukai banyak nyawa di luar sana.” Naina dan Clarisa saling pandang. “Hal berbahaya?” “Emangnya tadi itu apa?” Gatot yang kesal memilih pergi dan meninggalkan kedua gadis yang masih kebingungan. “Dih, cowok ambekan.” “Sudahlah. Ayo kita cari toilet. Nanti terlambat.” Clarisa mengangguk setuju. Keduanya meninggalkan ruangan itu di bawah tatapan tersembunyi dari seseorang yang sejak mereka masuk gerbang kampus terus mengawasi keduanya. “Sepertinya mereka bukan orang biasa,” gumanya kemudian berlalu sebelum terlihat oleh Naina dan Clarisa. Dan ia juga menoleh ke arah sosok yang bersembunyi tadi. “Clarisa, kamu liat apa?” “Ah, nggak, Nai. Ayo!” Gadis itu berusaha tersenyum dan menutupi apa yang baru ia dengar. Dalam diam, Clarisa berpikir sepertinya dia harus menemui Gatot dan menceritakan hal ini. Gatot mungkin tahu dan Clarisa merasa ada ancaman besar untuk mereka di sini. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi terutama pada Naina. Karena itu, meski banyak hal yang sudah membuatnya kesal pada Gatot. Clarisa tetap menemui pria itu bahkan menunggunya keluar dari ruangan kelasnya, membuat pemuda itu menjenggit kesal karena Clarisa yang tiba-tiba menghadangnya. “Ada yang mau aku bicarakan.” Clarisa langsung menarik tangan Gatot, namun Gatot yang kaget menghalaunya dengan tenaga dalam tanpa sadar, membuat tubuh Clarisa terdorong keras dan jauh jika Gatot tidak melesat cepat dan menangkapnya. Namun, begitu tubuh Clarisa jatuh ke pelukan Gatot, seketika kekuatan Gatot melemah dan mereka malah jatuh saling menindih. “Aduh!” “Maaf.” Gatot yang gugup berusaha bangun namun netra mereka yang bertemu membuat keduanya saling menatap untuk beberapa jenak. “Nih cowok cakep juga.” “Kenapa dia liatin saya kayak gitu?” “Ehem!” Clarisa langsung mendorong tubuh Gatot yang reflek juga bangun ketika mendengar suara dehaman dari seseorang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD