BSM 3
Fara mengikuti langkah kaki Naren yang tergesa menuju lantai bawah. Langkah kaki itu berhenti pada sebuah ruangan yang menghadap sebuah ruang tunggu.
Bagian depan ruangan itu hanya ditutup dengan kaca yang hanya separuh di bagian atas saja. Sedangkan separuh yang lain menyisakan ruang terbuka untuk interaksi Nara yang bekerja sebagai staf administrasi dengan pelanggan.
Langkah kaki Naren berhenti tepat di depan ruangan tersebut. Ia tak berani mendekat sebab Nara sedang melayani customer.
Dengan terpaksa Naren berdiri menunggu hingga customer itu pergi dari loket administrasi yang dijaga oleh Nara.
Tampak rasa penasaran yang tersirat dari sorot mata Naren. Sesekali mata itu menatap wajah Nara yang sedang berinteraksi dengan pelanggan. Sebuah senyuman yang diberikan Nara untuk customer membuat bibir Naren turut tersenyum kecil.
"Sayang, kamu marah?" ucap Naren cemas. Ia berbicara melalui celah kaca bagian bawah setelah customer itu pergi. Tangannya meraih tangan Nara melalui celah kaca.
Namun Nara menepis tangan Naren perlahan.
"Enggak, kok." Nara menjawab dengan senyum yang dipaksakan.
"Aku lagi kerja, Mas. Jangan di sini," usir Nara kemudian.
Embusan napas panjang terdengar dari bibir Naren. Sebab jika raut wajah Nara sudah pias begitu berarti ada sesuatu yang membuatnya menahan amarah.
Tak salah lagi, bayangan yang tadi terlihat di luar ruangannya adalah bayangan milik tubuh Nara.
Sia-sia tadi Naren berusaha menenangkan Nara jika ujung-ujungnya kehadiran Fara di tempat kerja menimbulkan salah paham antara dirinya dengan kekasihnya itu.
Narendra tak bisa mengelak dari sulutan amarah yang disebabkan oleh reaksi Nara itu. Api emosi mulai memenuhi ruang di hatinya. Ia menatap Fara yang masih berdiri di kejauhan, lalu menghampiri Fara dengan langkah cepat.
Dada Narendra sedang berkecamuk saat ini. Ada hal yang harus diluruskan antara dirinya dengan Fara.
"Aduh! Pelan-pelan dong, Mas! Jangan kasar nariknya! Ngga usah ditarik aku pasti akan ikut Mas kok!" ucap Fara kaget karena cengkeraman tangan Naren yang kasar dan tiba-tiba.
Fara makin mendekatkan badannya ke badan Naren. Dua tubuh itu berdekatan tanpa jarak dan Fara menyandarkan kepalanya di bahu Naren yang baru saja berusaha menariknya tanpa aba-aba. Ia tidak mau kehilangan kesempatan penting untuk masa depannya.
Naren terdiam. Lelaki yang sedang dilanda emosi itu tak mengelak dengan sikap Fara yang sok dekat dengannya. Ia hanya fokus dengan jalan depan dan cengkeraman tangannya yang kian mengerat.
Mendapati reaksi Naren yang tak mengelak, kepala Fara menoleh ke belakang. Matanya menatap sepasang manik hitam milik gadis pujaan calon kekasihnya yang masih setia membingkai aktivitasnya.
Sebuah senyuman miring terbit dari bibir Fara untuk Nara. Ia merasa menang kali ini.
Dibalik kaca, kabut mulai terbit di dalam kelopak mata Nara. Pemandangan di depannya itu sungguh membuat hatinya terasa diiris-iris.
Nara mencengkeram ujung kemeja yang dikenakan. Perlahan bahunya bergetar, lalu kepalanya menunduk menutupi tangis dengan telapak tangannya.
"Kenapa Na?" tanya Tania, rekan kerja Nara yang kemudian menjadi teman dekatnya. Ia datang hendak menyerahkan berkas untuk Nara.
Urung bicara soal pekerjaan, Tania meletakkan berkas itu ke atas meja kerja Nara. Ia lalu duduk di depan Nara untuk menenangkan sahabatnya itu.
"Bicara sama aku, ada apa?" tanya Tania lagi.
"Mas Naren mau dijodohkan dan tadi calonnya ke sini. Baru saja tadi dia bilang mau coba ngomong ke mamanya tapi nyatanya calonnya sudah datang kemari. Bagaimana aku bisa percaya jika Mas Naren bisa menolak perjodohan itu sementara calonnya sudah bergelayut manja dengan Mas Naren di tempat umum begini," papar Nara sambil menahan isakan. Sesekali ia membiarkan air matanya jatuh bebas ke pipinya
"Calonnya ke sini? Mana?" ujar Tania cepat. Kepala itu celingukan ke luar ruangan mencari sosok yang dimaksud oleh Nara.
"Udah pergi. Sama Mas Naren pula," jawab Nara terbata. Ia tak lagi mampu menahan isakannya.
"Tunggu! Tadi kamu bilang calonnya bergelayut manja?" bisik Tania penuh rasa penasaran.
Nara mengangguk lemah. Matanya yang sembab membalas tatapan Tania yang sedang diliputi rasa penasaran.
"Ck! Minta dihajar tuh Pak Naren!" sungut Tania. Dengan cepat ia mendorong kursi dengan kakinya lalu berdiri.
"Eh mau kemana?!" tanya Nara cepat. Ia menarik lengan Tania hingga gadis di depannya itu urung melangkah.
"Mau cari Pak Naren!" balasnya singkat.
"Ngapain?"
"Mau hajar dia!"
"Ngga usah! Jangan bikin ribut di kantor!" elak Nara cepat. Segera ia mengusap bekas rembesan air di wajahnya untuk menunjukkan bahwa dirinya sudah lebih baik.
"Lah kamu nangis gitu! Mana bisa aku biarin dia seenaknya perlakuin kamu!"
"Iya tapi kan ini masih jam kerja. Nanti aja kalau pulang kita bicara sama dia."
"Oke. Tapi aku mau cari tahu dulu apa yang dia lakuin sama calonnya itu di sini." Tania bersiap untuk melangkah.
Namun langkahnya kembali terhenti. Badan langsing itu menoleh lalu kepalanya mendekat ke telinga Nara.
"Nanti aku yang turun tangan kalau Pak Naren macem-macem."
Nara menghela napas dalam. Sebenarnya ia juga penasaran apa yang dilakukan oleh Naren dengan calon tunangannya itu. Tetapi rasa sakit di hatinya karena mendengar dan melihat kekasihnya bersama wanita lain tak bisa begitu saja ia abaikan.
Baru mendengar suara dan tingkah manja Fara saja sudah membuat hati Nara kebat-kebit. Bagaimana jika melihat keduanya duduk di pelaminan?
Nara menggelengkan kepalanya cepat. Bayangan pelaminan dengan Fara dan Naren sebagai mempelainya membuat tangan Nara seketika menutup telinganya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya cepat.
"Ngga boleh! Ngga mau! Cuma aku! Cuma aku yang akan menikah dengan Mas Naren!" cecar Nara sambil mencengkeram rambut di kepala sisi kanan dan kirinya.
"Mbak Nara kenapa?" ucap Samsul yang tak sengaja melintas di depan ruangan Nara.
Suara Samsul membuat Nara tersadar dan melepas cengkeraman tangan di kepalanya.
Secepat mungkin, Nara bangkit dari duduknya dan melesat menuju dapur kantor.
Deru napas yang tak beraturan membuat Nara harus berhenti sejenak sebelum meneguk segelas air putih yang sudah berada dalam genggamannya.
Bibir yang dilapisi lipstik warna nude itu mengerucut. Perlahan bibir itu mengembuskan udara secara teratur untuk menenangkan debar dalam dadanya.
"Akan aku berikan apapun yang kamu mau, kumohon," ucap Naren di belakang dapur kantor. Ia tengah memohon pada Fara di depan Tania.
"Apapun?" sahut Fara cepat. Kakinya melangkah menuju tubuh tegap yang sedang berdiri di depannya dengan wajah memohon.
"Ya," jawab Naren tegas.
Pelan tapi pasti tubuh ramping itu kian memangkas jarak dan jari-jari lentiknya itu merambat ke pinggang lelaki yang ada di depannya.
Tania memicing. Hatinya tak setuju dengan tingkah Fara tetapi ia tak bisa berbuat apapun karena sedang terjadi negosiasi antara mereka.
"Aku mau kamu habiskan waktu sehari bersamaku maka akan aku turuti semua kemauanmu."
Fara berbisik sambil memainkan jemarinya di d**a bidang milik Naren.
Perlahan wajah cantik full mekap itu menempel pada kemeja yang dikenakan oleh Naren sambil mengeratkan pegangan tangannya pada pinggang Naren. Ia menikmati embusan napas yang terasa hangat di wajahnya. Ditambah dengan aroma maskulin yang menguar dari kemeja yang dipakai Naren membuat Fara betah pada posisi itu.
Namun, kejadian itu tak luput dari mata Nara yang tak sengaja mendengar suara di lorong belakang dapur, tempatnya mengambil minuman.
Mata dengan bulu lentik milik Nara itu membelalak dengan mulut menganga karena tak percaya mendengar dan melihat apa yang terjadi di depannya.
"Kalian jahat!" desis Nara seraya berlalu meninggalkan tiga orang yang ada di depannya dengan tangis kembali berderai.