Tertangkap Basah

1014 Words
BSM 12 "Ren, kamu ngapain di sini? Masih pacaran sama dia! Sudah Mama bilang, putuskan dia. Dia nggak pantas buat kamu!" teriak wanita paruh baya yang tengah berdiri di depan meja tempat Narendra dan Naraya makan malam. Jari telunjuknya sesekali mengarah ke wajah Nara. "Mama?" lirih Naren kaget. Ia tak menyangka akan bertemu dengan mamanya di mall yang sama. Mata Bu Sarah tertuju pada sebuah kursi yang diatasnya terletak beberapa barang belanjaan Naraya. Mata itu melotot tajam, seakan hendak keluar dari tempatnya. "Pakai belanja barang mewah segala! Ini merk harganya ngga murah! Mana mampu kamu beli barang-barang ini!" hardik Bu Sarah lagi sambil menunjuk beberapa paperbag yang tengah tergeletak di atas kursi sebelah Nara duduk. Hampir saja paperbag itu terjatuh karena gerakan tangan Bu Sarah yang terlalu keras. Namun Narendra buru-buru berdiri untuk menghalau tangan mamanya. "Ma, Naren tahu! Tapi ngga dibahas di tempat umum kayak gini! Malu, Ma!" Naren berbisik pada sang mama. Ia berdiri menyejajarkan tinggi tubuhnya dengan wanita bergamis lebar itu. Naraya tercengang mendengar ucapan orangtua kekasihnya. Jantungnya mendadak berdebar tak sangat cepat. Tangannya mengeluarkan keringat dingin yang membuat kakinya lemas. Ia tak mampu berbuat apa-apa selain menunduk sambil mendengar ucapan yang begitu menyakitkan hati dan telinganya. Mata wanita paruh baya itu menatap Naraya penuh kobaran amarah. Ia yang tak menyetujui hubungan keduanya membuat emosinya kian naik saat melihat sang anak sedang berkencan di mall ini, terlebih setelah bahasan kemarin malam. "Biar dia malu di sini! Biar dia ngga deketin kamu lagi!" Mata Bu Sarah menatap Nara dengan mata sinis. Bibirnya tersungging miring penuh dengan rasa benci. Ia tak habis pikir dengan anaknya dan gadis itu, masih saja menjalin hubungan meskipun berulang kali ia menolak saat Naren minta izin. "Ma! Jangan gitu dong!" lirih Naren. Ia berusaha menarik tangan mamanya agar menjauh dari Nara yang sudah terlihat meneteskan air bening dari bola mata indahnya. "Kamu yang jangan gitu! Aku ibumu, yang melahirkan kamu! Harusnya kamu nurut apa kata orangtuamu! Mama ngga mau tahu, sekarang juga kamu pulang dan tinggalkan perempuan ini!" hardik Bu Sarah keras. Matanya kembali menatap mata Nara tajam. Tatapan itu seolah singa lapar yang siap menerkam mangsanya. Sedangkan yang ditatap hanya mampu menunduk pilu sambil terisak. Narendra yang tengah menahan malu memilih untuk diam dan menuruti apa kata mamanya. Ia tak mau melihat Nara lebih malu lagi. Sebaiknya mengalah agar mamanya berhenti berkata kasar pada sang kekasih. "Iya, Narendra tahu. Mama pulang dulu ya? Aku antar Nara pulang dulu. Mama keluar sama teman-teman Mama. Itu ditunggu." Naren memohon pada mamanya. Ia menunjuk sebuah gerai yang di depannya sedang berada beberapa kawan mamanya. Beberapa wanita sosialita itu sedang berdiri menunggu Bu Sarah. Mereka memandang kejadian memalukan di depan mereka sambil berbisik. Bu Sarah tak peduli dengan kata-kata Narendra. Ia tetap saja berdiri di depan meja tempat sang putra menikmati makanannya. Narendra pun akhirnya menggamit lengan Bu Sarah untuk mengajaknya menjauh dari meja yang penuh dengan makanan itu. Ia yang tengah menahan malu memilih untuk menenangkan mamanya lebih dulu sebab tak mungkin ia meninggalkan Nara begitu saja. Narendra sangat mencintai Nara. Ia akan berbuat apapun untuk membuat orangtuanya menyukai Nara. Anak tunggal Bu Sarah itu ingin menikah dengan Nara tetapi mamanya selalu menolak tiap kali Narendra minta izin membawa Nara ke rumah. Jika sudah seperti ini sikap mamanya, artinya tak lagi bisa diganggu gugat. "Mama ngga suka kamu pacaran sama dia! Jauhi dia, Ren! Fara lebih baik dari dia!" omel Bu Sarah saat keduanya sudah menjauh dari meja Nara tempat Nara makan. "Ma!" pekik Naren kesal karena Bu Sarah menyebut nama Fara di dekat Nara. "Sudahlah tinggalkan dia! Kamu pulang sekarang!" teriak Bh Sarah lagi. "Ma, tolong ngertiin Narendra. Naren laki-laki, tak mungkin membiarkan anak gadis orang pulang sendiri setelah orangtuanya memberi izin pada Naren untuk mengajaknya keluar." Bu Sarah mengembuskan napas kasar. Matanya menatap Naren penuh kekhawatiran. "Baiklah, tapi janji sama Mama setelah ini kamu putusin dia!" Naren gusar. Ia membuang pandangan ke arah luar. Permintaan Mamanya terlalu berat untuk diterima dan dijalani. Tetapi untuk sementara ini, ia tak lagi punya pilihan untuk menolak kemauan sang Mama. Dengan sangat terpaksa, ia menganggukkan kepalanya. Seringai licik muncul dari bibir Bu Sarah. Gamis lebarnya tak membuat sikap dan tindak-tanduknya dijaga dengan baik. Masa bodoh dengan pakaiannya, yang penting Narendra menuruti kemauannya. "Bagus. Mama tagih janjimu setelah ini!" Bu Sarah pergi setelah berucap. Ia menghampiri teman perempuan sebayanya yang sedang menunggu di sudut lorong mall. Narendra mengacak rambutnya kasar. Ia menyesali kepalanya yang asal mengangguk tanpa berpikir kedepannya. Dengan langkah gontai, ia menghampiri Naraya yang masih terisak di kursi. "Maaf ya, Dek? Ini semuanya bukan kemauanku." Wajah Naren memelas. Matanya menatap mata Nara dengan tatapan memohon dan penuh rasa sesal. Tangannya meraih tangan Nara yang tergelatak di atas meja untuk digenggamnya. "Nggak apa-apa, Mas. Aku yang salah, tetap menjalin hubungan ini sekalipun aku tahu bahwa orangtuamu tak pernah merestuiku." Naraya terisak lirih. Tangannya yang lain mengusap lembut jemari Naren yang masih menggenggam jemarinya. Ia terpaksa berucap demikian agar Naren tak terlalu merasa bersalah. Padahal hatinya sendiri tengah terluka parah. "Sebaiknya Mas pulang saja. Turuti apa kata mama, wanita yang telah melahirkanmu. Wanita yang harus kamu hormati tiga kali sebelum ayahmu," lirih Nara. Meskipun hatinya seperti habis dicabik-cabik, ia mencoba memposisikan diri sebagai Narendra. Tentu pilihan yang sulit untuknya saat ini. Dada Nara sesak saat melihat tatapan Narendra yang penuh dengan cinta itu. Segalanya bisa diupayakan, tetapi jika restu orangtua tak kunjung didapat, apalah arti sebuah hubungan. Nara lebih memilih memendam rasanya sendiri dari pada melanjutkan hubungan yang terlalu beresiko. "Aku antar, Dek! Ngga mungkin aku biarin kamu pulang sendirian." Narendra terus memohon agar Nara bersedia diantar hingga ke rumah. Namun, Nara yang terlanjur terluka masih ingin sendiri. Ia ingin menikmati luka yang tengah menganga di dalam dadanya. "Tak apa, Mas. Kamu pergi saja, jangan buat Mama semakin kesal terhadapmu. Juga jangan menambah buruk citraku didepan Mamamu. Sebaiknya Mas turuti saja, dari pada Mama semakin memandangku rendah," pungkas Nara. "Ngga bisa gitu, Dek! Aku harus pastikan kamu pulang dengan selamat," elak Naren. Ia terus memaksa Nara untuk pulang bersamanya. "Aku bukan anak TK lagi, Mas. Aku bisa pulang sendiri," ujar Nara terbata. "Permisi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD