Kejutan?

1595 Words
Laura menuruni anak tangga dengan wajah ceria dan bersemangat. Wanita itu seolah melupakan kejadian menyakitkan beberapa hari yang lalu. Bahkan walaupun Arfa tidak pulang ke rumah dalam beberapa hari ini, Laura seolah tidak kuatir memikirkannya. Bahkan hari ini ia berencana akan ke kantor Arfa untuk memberi kejutan kepada pria yang sangat di cintainya itu. "Kau mau kekantornya Arfa?" tanya Nyonya Miranda, begitu melihat Laura sudah bersiap dengan pakaian rapi. "Iya Ma. Aku ingin tau kemana Mas Arfa selama tiga hari ini. Apakah dia menginap di hotel atau di rumah wanita j*l*ng itu," jawab Laura. "Kau harus lebih bersabar menghadapinya. Buat dia kembali seperti dulu lagi. Ingat, jika kau ingin berhasil dan menjadi pemenang, contohlah kesabaran Mama mertuamu ini," sahut Miranda sambil menepuk d**a. "Iya Ma. Mama tidak perlu kuatir soal itu," ucap Laura. "Jangan lupa bawakan makan siang untuknya." "Iya Mama. Sebagai istri yang baik, aku tidak akan melupakan makan siang untuk suamiku," sahut Laura. "Bagus. Sekarang berangkatlah. Restuku menyertaimu," ucap Nyonya Miranda. Dengan menyunggingkan seulas senyum, Laura pun melangkah keluar dengan wajah ceria dan sejuta harapan di hatinya. Wanita berpakaian seksi itu bergegas masuk ke dalam mobil yang perlahan melaju ke luar, meninggalkan halaman rumah yang terlihat megah tersebut. "Aku ingin mampir ke toko bunga langgananku dulu," ucap Laura kepada sopir pribadinya. "Baik Bu," jawab sopir tersebut, sambil terus melajukan mobilnya membelah keramaian jalan raya. Tidak lama kemudian sang sopir menepikan mobilnya di depan sebuah toko bunga. Sopir tersebut bergegas turun untuk membukakan pintu bagi majikannya. Laura bergegas turun, kemudian melangkah dengan anggun kedalam toko bunga tersebut. Dan beberapa saat kemudian, wanita itu terlihat keluar dari dalam toko tersebut, dengan seikat bunga tulip di tangannya. Laura baru ingat, jika ia belum mengganti bunga tulip di dalam vas kaca dengan media air yang ia letakkan di meja kerja Arfa. Begitu Laura kembali masuk ke dalam mobil, sang sopir perlahan melajukan mobilnya kembali, menuju ke arah gedung kantor perusahaan milik Arfa. Begitu sampai di depan kantor Arfa, Laura bergegas turun dan masuk ke dalam lobi dengan wajah bahagia. Sebelah tangannya menjinjing paper bag, sebelah tangannya lagi memeluk seikat bunga tulip. "Lho, Selly kemana? Apa dia tidak masuk hari ini?" Tanya Laura dengan wajah heran, ketika tidak mendapati orang kepercayaannya itu berjaga di meja resepsionis. "Dia tukar jadwal dengan salah satu temannya Bu, karena dia ada urusan keluarga katanya," jawab salah seorang resepsionis. "Oh, baiklah. Apa suami saya ada di ruangannya?" tanya Laura kemudian. "Iya Bu, Pak Arfa ada di ruangannya," jawab petugas tersebut. "Sedang ada tamu atau tidak?" Selidik Laura. "Maaf Bu, setahu saya tidak ada tamu yang berkunjung hari ini. Kebetulan saya baru satu jam di sini, jadi selama saya di sini belum ada tamu yang datang berkunjung," jawab petugas tersebut. "Begitukah?" "Apa perlu saya hubungi Pak Arfa dulu Bu?" tanya petugas resepsionis tersebut. "Tidak perlu. Saya mau memberi kejutan buat suami saya," sahut Laura dengan cepat. "Baik Bu," ucap petugas tersebut. Laura bergegas menuju ke arah lift kusus, lalu menekan angka dimana kantor suaminya berada. "Gegaya mau kasih kejutan, yang ada Pak Arfa yang ngasih kejutan buat mak lampir itu," bisik petugas resepsionis tersebut pada temannya. "Ho oh, beberapa hari yang lalu pulang dengan wajah babak belur sambil menangis, aku yakin nanti dia pulang sambil nangis sama ngamuk-ngamuk lagi," sahut temannya yang lain sambil tertawa cekikikan. Sementara itu Laura telah sampai di depan kantor Arfa. Wanita itu merapikan riasan wajahnya sebelum melangkah ke arah pintu. "Tumben, tidak ada petugas security yang berjaga di lantai ini, pada kemana mereka?" Gumam Laura heran, ketika tidak melihat satu orang pun petugas keamanan yang berjaga di lantai tersebut. Padahal biasanya petugas yang berjaga sering berkeliling untuk memastikan keamanan di lantai tersebut. Kecuali pengawal pribadi Arfa, mereka akan berjaga jika Arfa yang memintanya. Ceklek Laura membuka pintu dengan pelan. Kosong. Tidak terlihat Arfa di meja kerjanya. Kedua matanya langsung tertuju ke arah vas bunga baru dengan bunga calla lily putih yang terlihat masih segar di atas meja. "Cih. Sepertinya wanita itu sudah mulai menabuh genderang perang denganku," ucap Laura dengan wajah sinis. Selain bunga calla lily di atas meja, Laura juga melihat sepatu wanita dengan hak tinggi berwarna peach di depan kamar pribadi Arfa. Laura menelan ludahnya dengan bersusah payah, sambil menahan rasa sakit, hancur dan kecewa. Wanita itu tetap melanjutkan langkahnya masuk ke dalam. Satu-satunya tempat yang ingin di tujunya sekarang adalah kamar pribadi Arfa. Laura seketika menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar tersebut, begitu mendengar suara desahan dari dalam ruangan itu. "Mas Arfa, aaahh, aku sudah tidak tahan Mas, aaahh." "Bersama sayang, aahh, sebentar lagi, uuhh." "Mas Arfa, aaahh." "Aleena, sayang aaahh, kau sungguh nikmat sekali sayang, aaahh." Laura langsung menutup mulut dengan telapak tangannya. Wanita itu perlahan melangkah mundur kebelakang. Kedua matanya langsung berembun hingga bulir bening itu menetes membasahi wajahnya. Bunga tulip di tangannya menjadi pelampiasan Laura untuk menahan sakit di dadanya, hingga bunga itu sudah tidak lagi terlihat cantik. "Tega kamu Mas. Kamu suami yang benar-benar kejam, kamu sungguh tidak punya hati," gumam Laura dengan lirih, lalu mengusap air mata yang membasahi wajahnya. "Trima kasih Aleenaku sayang, kau benar-benar luara biasa." Terdengar suara Arfa yang memuji Aleena. "Sudah ya Mas, istirahat dulu. Aku capek. Semalaman Mas Arfa tidak membiarkan aku tidur barang sebentar pun. Pagi ini modusnya minta di temani kerja, enggak taunya sudah tiga kali minta dari pagi, dasar." Kali ini terdengar suara sahutan dari Aleena. "Tubuh kamu membuat aku candu sayang. Aku terus saja ingin memasuki kamu." Laura semakin tergugu di tempatnya. Wanita itu ingin sekali masuk ke dalam dan mencabik-cabik tubuh wanita yang telah merebut suaminya itu. Tapi apalah daya, ia tidak ingin Arfa berbuat sesuatu yang lebih menyakitkan hatinya lagi. Ia tahu, Arfa sedang di mabuk cinta kali ini, jika ia nekat berbuat kasar, Laura sendiri yang akan menanggung akibatnya. Sementara di dalam kamar, Arfa sedang memeluk tubuh Aleena dengan erat di bawah selembar selimut yang sama. "Mas Arfa ini, seperti tidak pernah merasakannya saja dengan wanita itu." "Aku memang tidak pernah menyentuhnya sayang. Milikku ini tidak mau bereaksi dengannya, biarpun wanita itu berdiri dengan telanjang bulat di depanku," sahut Arfa. "Mar Arfa serius? Mengapa bisa seperti itu?" Tanya Aleena dengan wajah heran. "Aku juga tidak tau. Aku justru merasa jijik melihatnya. Entahlah. Aku selama ini mencoba bersikap baik kepadanya, karena mengingat nasehat mama yang mengatakan jika selama aku koma, wanita itulah yang telah merawatku hingga aku tersadar," jawab Arfa. "Tapi Mas Arfa selama ini tinggal sekamar dengannya." "Meskipun sekamar, aku tidak pernah tidur seranjang dengannya. Aku lebih memilih tidur di sofa. Dan begitu aku kembali pulang setelah tinggal beberapa lama denganmu, aku memutuskan untuk pisah kamar dengannya. Dan entah mengapa, aku semakin benci dan jijik melihatnya," ujar Arfa. "Kasihan Mas, dia sepertinya menaruh harapan padamu," sahut Aleena. "Aku tidak pernah memberinya harapan. Aku juga tidak pernah merasa mencintainya dan menganggapnya istri. Hanya karena wasiat kakek saja aku mempertahankannya selama ini," ujar Arfa. "Dia seksi lho Mas, sayang kalau di anggurin." "Aku tidak bernafsu melihatnya. Aku hanya bernafsu saat melihatmu. Saat pertama kali melihatmu di dapur waktu itu, bahkan juniorku langsung bereaksi melihatmu," sahut Arfa, yang langsung membuat Aleena tertawa lebar. "Mas Arfa modus ih. Dasar mesum." "Mesumku hanya sama kamu Aleena sayang. Melihatmu memakai baju yang tertutup rapat saja sudah membuatku ingin selalu menyentuhmu, apalagi melihatmu seperti ini, lihatlah, dia sudah kembali bangun," ucap Arfa serayak menunjuk kearah bagian bawah tubuhnya. "Iiihh, Mas Arfa nyebeliiiinnn." Terdengar suara gelak tawa Arfa di susul dengan suara tawa manja Aleena di dalam kamar. "Kau tau, aku sampai tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur, saat aku tidak bisa menemukanmu waktu itu. Kau sudah membuat duniaku menjadi gila," ujar Arfa. "Dan sekarang Mas Arfa tambah gila kalau di dekatku," sahut Aleena. Sementara Laura masih bertahan di tempatnya berdiri dengan hati terkoyak dan perasaan hancur. Rasa dendam dan benci itu semakin membuncah di dadanya. Hingga suara desahan manja itu kembali terdengar dari dalam kamar, barulah Laura tersadar dan melangkah pergi. Dengan langkah tertatih, wanita itu keluar meninggalkan tempat tersebut, dengan berbagai sumpah serapah di hatinya untuk Aleena. Dan begitu melihat tempat sampah di dekat lift, Laura segera mencampakkan bunga tulip dan paper bag berisi makan siang yang ada di tangannya ke dalam tempat sampah tersebut. Sisa air mata terlihat jelas di wajahnya, dan riasannya pun menjadi berantakan karena menangis. "Kamu sengaja ya tidak mau mengatakan kalau ada wanita j*l*ng di ruangan suami saya, hah!" Bentak Laura kepada petugas resepsionis yang tadi di tanyainya. "Maaf Bu, saya memang benar-benar tidak tau. Kan tadi saya bilang kalau saya baru datang satu jam yang lalu, kalau Ibu tidak percaya, silahkan di periksa saja Bu," jawab petugas tersebut dengan tenang. "Awas kamu ya, kalau berani bermain-main dengan saya!" Ancam Laura sambil berlalu dari tempat tersebut. Tanpa menghiraukan sapaan beberapa karyawan lain yang ada di lobi kantor, Laura terus melangkah keluar meninggalkan gedung tersebut. "Dapat kejutan beneran dari Pak Arfa sepertinya," ucap petugas resepsionis yang tadi di ancam oleh Laura. "Iya, mewek lagi kayaknya mak lampir tadi," sahut rekannya. "Bakalan banyak episode kayaknya," timpal yang lain. "Eye linernya ampe luntur terus blepotan di bawah mata, udah kayak mbak kunti aja tadi, serem." Tiba-tiba salah satu security ikut angkat bicara, hingga membuat para petugas resepsionis itu tertawa. Sementara itu di luar gedung, Laura langsung menghampiri sopirnya yang sudah bersiap membukakan pintu untuknya. "Kamu tidak perlu mengantarku. Aku akan membawa mobil sendiri. Kamu pulang saja naik taxi online," ucap Laura kepada sopir pribadinya, lalu meminta kunci mobilnya. "Baik Bu," jawab sopir tersebut dengan hormat. Dengan perasaan di liputi amarah, Laura kemudian melajukan mobilnya membelah jalan raya, menuju ke salah satu apartement mewah yang berada cukup jauh dari gedung kantor Arfa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD