1. Masa Ospek
"Selamat siang, semuanya!"
"Selamat siang, Kak!"
"Wow, masih pada semangat, ya. Apa password-nya?"
"Selalu semangat. Yes, yes, yes!"
"Bagus. Selalu semangat untuk kita, yes!"
Terdengar tepuk tangan. Aku yang duduk di bagian paling belakang, hanya bisa menguap. Entah yang ke berapa kalinya. Rasanya sudah jenuh dan mengantuk. Berharap kegiatan ini segera selesai, lalu pulang, lalu sampai di rumah, dan akhirnya bisa merebahkan diri di atas kasur empukku.
Ah, nyamannya. Terbayang sudah ranjang nomor dua itu, dengan kasur busa jenis memori foam, merek premium dan berkelas di negara ini. Kasur yang Ayah beli setelah aku berhasil membujuknya dengan mogok makan selama tiga hari tiga malam. Padahal aku masih bisa jajan di sekolah, hahaha. Oke, kembali ke topik. Tentang kasur yang selalu menjadi tempat wisata ... um, wisata di alam mimpi maksudku.
Bukankah, hidup itu berawal dari mimpi? Dan mimpi yang indah, adalah berasal dari tidur yang berkualitas, dan tidur yang berkualitas harus didasari dari kasur yang nyaman untuk di ....
"Sisil ...."
"Mm ...."
"Bangun. Kak Arfan lihatin lo."
Aku membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali. Seorang lelaki dengan almamater biru dongker, berdiri di hadapanku.
"Ke mana kita ... hari ini, Pangeran?" gumamku.
"Kita ke alam baka, Tuan Putri."
"Hah, alam baka?" tanyaku tak mengerti.
"Ya, alam baka. Karena kamu akan mendapatkan hukuman untuk berdiri di bawah panas teriknya matahari selama dua jam!"
.
Argh! Singa, Hamster, Iguana, Tupai!
Kenapa bisa tertidur di tengah perkumpulan para mahasiswa?
Ini bukan masalah hukumannya, tapi ... malunya!
Aaa, Bunda!
Ayah!
Tolongin Sisil!
Sisil janji enggak manja lagi. Enggak rewel lagi. Enggak cengeng lagi. Huwaa ....
"Hei, Putri Alam Baka!"
Aku menoleh.
"Haus, ya?" Seorang senior lelaki mengangkat botol air minum mineral di tangan kanannya.
Aku menelan ludah. Bukan karena tergoda dengan air dingin yang terlihat menyegarkan itu, tapi ....
"Putri Alam Baka?" gumamku.
Lalu, beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang berjalan di sekitar lapangan pun tertawa.
Astaga! Delima, Apel, Markisa, Nanas!
.
"Ya, lo, sih. Kenapa tidur di tengah orasi Kak Arfan? Udah tau dia itu ketua BEM." Amel mengoceh sambil mengaduk jus mangga di gelasnya.
"Di mana-mana, alasan orang tidur itu cuma satu. Ngantuk," sahutku kesal, lalu menyesap minuman di gelas. "Lo tau, 'kan. Manusia secara alami akan tertidur jika selama lima belas menit tidak melakukan apa-apa," sambungku masih dengan amarah yang terpendam di hati. Kemudian aku menyesap kembali sirup jeruk yang masih tersisa seperempatnya hingga tandas. Parahnya, rasa hausku belum bisa hilang hanya dengan segelas sirup jeruk dingin.
"Ke mana?" Amel bertanya karena melihatku yang keluar dari kursi.
"Pesen es jeruk lagi. Masih kering ini tenggorokan," ketusku. "Bu, es jeruk segelas lagi, ya," pintaku pada ibu kantin.
"Iya, Neng. Sebentar, ya," sahut perempuan bertubuh subur itu.
"Banyakin es-nya, 'kan habis ke alam baka," ucap seorang perempuan yang berdiri di sampingku. "Pasti panas," sambungnya sambil mengibaskan rambut.
Aku melirik tak suka. "Apaan, sih," sahutku tak acuh.
"Lagian, kenapa bisa kampus sekeren gini terima mahasiswi absurd kayak lo?" lanjutnya dengan nada mengejek.
Aku mengembuskan napas pendek. "Susah-susah masuk ke kampus sekeren gini, kenapa masih bisa ketemu sama hama wereng kayak lo?" sindirku balik.
Anggita namanya, biasa dipanggil Gita. Teman satu SMA yang sudah lama menjadi musuhku. Tepatnya setelah cowok incaran dia, malah memilih aku untuk menjadi pacarnya.
"Dasar, cewek ganjen!" teriaknya.
"Mending ganjen dari pada enggak laku," balasku.
"Ih, dasar parasit!"
"Dari pada kamu, parasut," jawabku santai.
Gita semakin kalap, bahkan kedua tangannya bergerak seperti singa yang hendak menerkamku.
"Ini, Neng. Es jeruknya," ujar ibu kantin.
Aku berpaling. Mengangkat tangan untuk mengambil alih gelas berisi minuman menyegarkan itu. Namun entah kenapa, ada tangan lain yang lebih dulu meraihnya.
"Nih, rasain!" teriak Gita.
Beruntung alarm dalam jiwa bisa menangkap sinyal bahaya itu. Dengan gerak cepat aku menurunkan tubuh. Menghindar dari siraman rohani ... maksudnya air jeruk yang Gita siramkan ke arahku.
Memang, dia pikir aku ini tanaman bunga mawar yang harus disiram.
Aku berjongkok selama beberapa detik. Setelah merasa aman, barulah aku berdiri kembali. Jelas bisa kulihat kedua mata Gita terbelalak. Pasti dia tidak menyangka jika aku bisa menghindar dengan gerakan super kilat.
"Maaf, Anda kurang beruntung," ejekku, lalu membuka mulut lebar-lebar untuk tertawa.
"Sialan."
Aku mengatupkan bibir. Kemudian memutar tubuh ke belakang. Seketika aku menutup mulut dengan telapak tangan kanan. Di hadapanku, berdiri seorang lelaki--yang tampaknya adalah mahasiswa di sini.
"Astaga, Kak. Maaf. Aku enggak sengaja," ujar Gita.
"Aduh." Aku meringis karena pinggangku terbentur tepian meja. Gita mendorongku secara tiba-tiba. Akhirnya tetap saja aku jadi korban kebrutalannya.
"Ini ... lap pakai jaketku aja, Kak." Gita memberikan jaket berwarna pink di tangannya pada lelaki itu. Lelaki yang masih terdiam dengan kepala sedikit menunduk dan kedua tangan mengepal. Jelas saja dia marah. Kaos hijau tosca di tubuhnya, hampir seluruh bagian depannya basah akibat siraman maut sirup jeruk itu.
"Enggak perlu." Lelaki itu menepiskan tangan Gita.
"Ka-ka-kalau gitu, biar aku yang cuci bajunya. Sini, Kakak lepas--"
"Stop!" teriakan itu menggema di seluruh penjuru kantin.
Aku sampai harus mengusap d**a, saking terkejutnya.
"Lo anak baru?" tanya laki-laki yang berdiri di samping kanan korban tragedi penyiraman sirup jeruk.
"Iya, Kak. Aku ... mahasiswi baru. Nama aku--"
"Gue enggak nanya nama lo," sela lelaki di depan Gita. Akhirnya dia bersuara lagi.
Aku ikut memperhatikannya. Wajah itu pun perlahan terangkat, dan yang pertama aku lihat adalah matanya. Sorotnya tampak begitu dingin, tapi mematikan. Seperti mengandung ribuan jarum, yang jika semakin lama kita menatapnya, maka kita akan tertusuk.
Lalu hidung mancungnya, yang bentuknya mirip perosotan di taman bermain di dekat rumahku. Membuatku ingin bermain ... upss, maaf. Terbawa suasana. Kemudian tampak bibirnya itu. Bentuk bibir yang mirip dengan milik seseorang, yang sering aku lihat. Siapa? Kalau tidak salah ... mirip ....
"Tapi, Kak. Aku benar-benar minta maaf. Aku enggak sengaja."
"Minggir," desis lelaki itu.
"Maafin aku--"
"Minggir gue bilang!"
"Cha Eun Woo. Iya, Cha Eun Woo. Kamu mirip ...." Aku terdiam, karena lelaki itu kini menatapku.
"Aww."
"Gita." Aku terkejut melihat perempuan itu duduk di atas lantai. "Astaga." Lalu berjongkok di depannya.
Akan tetapi, Gita malah mengabaikanku. Dia tetap memanggil lelaki yang sudah mendorongnya itu. "Kak! Kak Langit! Maafin aku, Kak!"
Aku ikut berpaling. Tiga lelaki melangkah menjauh, keluar dari ruang kantin.
Langit?
"Astaga, Gita. Lo enggak apa, 'kan?" Amel datang menghampiri.
"Apaan, sih, lo pada? Minggir," ujar Gita, menepis tangan Amel yang hendak membantu berdiri. Bahkan dia mendorongku lagi, hingga aku terduduk di lantai.
Aish, dua kali aku didorong olehnya!
"Ini semua gara-gara lo tau! Dasar Silikon!" maki Gita yang kini sudah berdiri di depanku.
Aku pun bangkit segera. "Eh, Gigi Taring! Lo duluan tuh, yang punya niat buat siramin itu sirup jeruk," tukasku.
"Itu namanya lo kena karma, Git," timpal Amel.
"Nah, bener apa kata Amel. Lo kena karma lo sendiri," tegasku lagi.
"Jangan ngasal lo berdua! Gue enggak bakal siramin itu sirup kalo enggak ada lo, Silikon!"
"Lo yang siramin, lo yang nyolot! Mendingan sekarang lo ganti sirup jeruk gue. Gue masih haus!"
"Najis! Mendingan gue kasih elu air comberan!"
"Ya, udah. Lo bawain gue air comberan rasa jeruk, pake es yang banyak!"
"Rese lo emang!" Gita menjambak rambutku.
"Aduh, tolongin gue, Mel!" pekikku.
"Iya, iya. Gue bantuin jambak rambutnya Gita," sahut Amel.
"Jambak sebelah sana. Sebelah sini biar gue," perintahku.
"Licik lo berdua. Kenapa main keroyokan?" protes Gita.
"Ya, udah. Panggil sana temen geng lo. Si Lala sama Resti," ucapku.
"Tapi 'kan mereka kuliah di akademi kebidanan!"
"Kalo gitu lo cari aja temen baru di sini, yang bisa lo jadiin kacung buat disuruh-suruh," ujar Amel.
Bagus, aku menyukai saran Amel. Setidaknya aku bisa tersenyum puas, kendati sakit di kepala semakin menjadi. Rasanya rambutku hampir lepas dari akar-akarnya.
Hingga tiba-tiba, sesuatu di luar dugaan terjadi.
"Itu, Pak! Ada mahasiswi baru pada tawuran!"
Prit! Prit! Prit!
.
"Bagus. Masih ospek sudah berlagak jadi jagoan." Lelaki paruh baya yang duduk di depan kami menampakkan wajah santainya, tapi aku merasa nada bicaranya itu berbanding terbalik.
"Dia duluan, Pak," tuduh Gita.
"Bohong, Pak. Saya saksinya. Gita duluan yang mau siram Sisil," bela Amel.
Brak!
"Diam!"
Untung aku tidak ikut bicara. Aku berusaha tenang walau sejujurnya masih kaget atas gebrakan meja barusan.
"Siapa nama kamu?" Kali ini lelaki berkumis itu menatapku.
"Priscillia Andriana, Pak," sahutku lemah.
"Bukannya kamu maba yang tadi siang dihukum karena tidur di tengah orasi?"
Aku memejamkan mata selama dua detik. Sepertinya kasus akan semakin berat. "Iya, Pak." Kuanggukkan kepala. "Tapi saya tertidur, Pak. Bukan sengaja tidur."
"Masih bisa membela diri. Apa hukuman dari Arfan tadi kurang?"
"Enggak, Pak. Sudah cukup," elakku segera.
"Tidak ada toleransi. Kamu tetap harus dihukum bersama musuh dan sekutu kamu ini," tunjuknya ke arah Gita dan Amel bergantian. "Sekarang kalian semua bantu Pak Amin," titahnya tegas.
Aku membulatkan mata.
"Membersihkan taman."
Hening beberapa detik.
"Maaf, Pak. Pak Amin itu siapa?" tanyaku kemudian. "Aww, sakit, Mel," bisikku mengusap perut yang disikut oleh Amel.
"Kamu sudah tiga hari ospek, tapi belum kenal siapa Pak Amin?" tukas lelaki berkemeja biru itu.
Aku menggelengkan kepala. "Bahkan nama Bapak saja saya belum tau."
Lelaki itu kini mengurut keningnya. Terdengar suara decakan dari Gita, juga Amel yang menggumamkan namaku.
.
"Gara-gara lo, nih. Skincare gue terbuang percuma." Gita yang sedang menggunting rerumputan masih sempat mengomel.
"Kamu berbohong, aku pun percaya. Kamu dustai, ku tak peduli. Coba kau pikir, di mana ada ... cinta seperti ini. Ku ... aduh! Lo lagi kerja, kerja aja. Enggak usah gangguin gue." Aku memasang kembali earphone ke telinga.
Tak cukup menarik kabel earphone-ku, Gita lalu menendang tempat sampah berisi potongan rumput yang berhasil aku kumpulkan selama satu jam ini.
"What the f**k!" pekikku. "Eh, Gigi Taring! Denger, ya. Sekali lagi lo--"
"Kak Langit," ucap Gita. Dia menarik tangan kiriku, menyimpan gunting rumput di atasnya. Dengan gerak cepat mencuci kedua tangannya, menggosok-gosokkan pada rok hitamnya itu. Hiiy! Kemudian Gita membenarkan posisi kemeja putih di tubuhnya. Tak lupa, mengibaskan rambut hitam sebahunya.
Aku memutar tubuh. Gita melangkah cepat menghampiri tiga lelaki yang juga sedang berjalan di atas paving blok menuju taman. Mereka ... tiga mahasiswa tadi, 'kan?
"Kumat lagi tuh si Gigi Taring," ujar Amel yang tahu-tahu sudah ada di sampingku, memegang sapu lidi di tangannya.
"Emang mereka siapa, sih?" tanyaku penasaran. "Kok, si Gigi Taring kayak yang stress banget dimarahin cowok itu."
"Silia ... Silia. Lo ini emang tukang molor. Makanya enggak tau siapa-siapa di kampus ini," oceh Amel.
"Please. Gue nanya siapa mereka, bukan minta pencerahan, Bunda Amel."
Amel mengembuskan napas. "Mereka senior di sini, anak Ekonomi Pembangunan semester lima. Namanya Braga, Jimmy, sama Langit. Mereka juga tergabung di organisasi pecinta alam. Denger-denger, suka banget adain kegiatan mendaki gunung sama kemping."
"Langit," gumamku. Terdiam memandang sosok itu.
"Sil. Silia. Eh, lo kenapa bengong?"
Aku menoleh. "Panggil gue Priscillia, bukan Silia doang," protesku kesal.
"Ya, abis. Gue ngomong ngaler ngidul, lo malah diem aja."
"Beneran namanya Langit?"
Amel mengangguk.
"Nama panjangnya apa?"
"Langit ... Biantara. Heem, itu namanya."
Langit Biantara?
Kenapa aku teringat kembali pada Langit, teman masa kecilku? Apa jangan-jangan, dia ... Langit yang selalu menjadi pasangan pengantinku ketika masih SD?
Jika benar dia, kenapa bisa sekarang Langit ... setampan itu?
*****
--bersambung--