CHAPTER FOUR

2313 Words
Aku menggandeng tangan putraku memasuki kantor tempat Raefal bekerja yang akan menjadi tempat awalku melakukan penyelidikan. Beberapa orang yang berpapasan dengan kami di lantai dasar, menyapaku. Wajar mereka mengenalku karena dulu aku cukup sering datang ke kantor ini. Meskipun sejak Raffa mulai sekolah, aku nyaris tak pernah datang lagi ke sini. Ada pula yang menggoda putraku, mengatakan putraku tampan, pintar, menggemaskan dan berbagai pujian lainnya ketika kami memasuki lift. Tempat tujuan kami tentu saja lantai 5 di mana ruangan General Manager cabang yang ditempati suamiku berada. Raffa dan aku melambaikan tangan bersamaan pada beberapa karyawan yang satu lift dengan kami begitu kami tiba di lantai 5, mengucapkan perpisahan dengan ramah karena mereka pun memperlakukan kami dengan ramah, terlebih pada putraku. Kami pun tiba tepat di depan ruangan suamiku. Aku tersenyum lebar pada Susi, sekretaris suamiku yang sudah berdiri dari kursinya untuk menyambut kedatanganku dan Raffa. “Bu Indira, ya ampun ... sudah lama ya kita tidak bertemu? Bagaimana kabarnya?” tanyanya heboh, aku dan Susi cukup dekat. Dia lima tahun lebih muda dariku. Aku bersumpah dia wanita yang menyenangkan untuk diajak berbincang. “Saya baik, kamu gimana?” “Baik juga, Bu. Waah, Raffa sudah besar ya sekarang? Makin tampan, mirip Pak Raefal,” katanya lagi. Aku hanya tersenyum kali ini, kubiarkan Susi melakukan apa pun yang dia inginkan termasuk mengecup lembut pipi Raffa yang menggemaskan. “Apa suami saya ada di dalam?” Susi yang sempat berjongkok untuk menyamai tinggi Raffa cepat-cepat berdiri begitu pertanyaan itu meluncur dari mulutku. Lantas dia mengangguk penuh semangat setelahnya, “Iya. Pak Raefal ada di dalam,” jawabnya. “Kalau begitu, kami masuk dulu ke dalam.” “Iya, Bu. Silakan. Daah, Raffa,” katanya sambil melambaikan tangan ke arah Raffa. Aku bersyukur karena memiliki putra yang berkepribadian baik serta menyenangkan. Putraku dengan polosnya ikut melambaikan tangan pada Susi disertai senyuman lebar yang setia terulas di wajah mungilnya. Aku membuka pintu ruangan tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Di dunia ini mungkin hanya aku yang bisa melakukan tindakan kurang ajar seperti ini, mengingat suamiku pemimpin di cabang ini, tentu seluruh karyawan di sini begitu menghormatinya. Raefal sempat terenyak, kepalanya yang menunduk seketika mendongak ke depan begitu mendengar pintu ruangannya diterobos masuk olehku dan Raffa. Dia sempat melebarkan mata, mungkin terkejut melihat kedatangan kami karena pada dasarnya aku memang tidak memberitahunya akan datang kemari. Aku anggap kunjungan kami ini sebagai kejutan besar untuknya. “Daddy!!” teriak Raffa, dengan aktif dia berlari menghampiri ayahnya, lantas mendudukan diri di pangkuan sang ayah. Aku lagi-lagi hanya tersenyum melihat pemandangan itu. “Jagoan Daddy udah pulang sekolah ternyata. Gimana sekolah kamu hari ini?” “Seru. Aku banyak menggambar hari ini.” “Bagus. Jagoan Daddy pasti yang paling pinter ngegambarnya.” Raffa tertawa senang karena pujian itu meluncur mulus dari mulut ayahnya. “Maaf ya kami datang mendadak. Raffa merengek ingin datang ke sini.” Tentu saja yang kukatakan ini hanyalah sebuah alasan karena sebenarnya akulah yang ingin datang ke sini. Sedangkan Raffa, dia hanya akan mengikuti kemana pun aku mengajaknya pergi. Dalam hati aku meminta maaf pada putraku karena menjadikan dirinya sebagai alasan untuk berbohong. “Nggak apa-apa, justru aku seneng kalian datang. Tempat ini gak sepi kayak kuburan lagi,” katanya terlihat tulus. Aku memiringkan kepala, bibirku menyunggingkan seulas senyum. Aku menggulirkan bola mata menatap sekeliling ruangan ini. Sofa hitam yang dulu aku pilihkan ternyata masih ada di sini. Beberapa lukisan yang sengaja kupajang di dinding sebagai hiasan di ruangan ini pun terlihat masih bertengger manis di dinding. Masih sama persis seperti di mana aku memasang lukisan-lukisan itu. Pigura kecil berisi foto kami bertiga yang kuletakan di meja kerja Raefal pun, masih ada di sana, di posisi yang sama. Intinya tak ada yang berubah dengan ruangan ini sejak terakhir kali aku mengunjunginya, hampir satu tahun yang lalu. Aku mendudukan diri di sofa hitam, memfokuskan tatapan pada Raefal yang kembali fokus pada laptopnya serta Raffa yang masih setia duduk di pangkuan ayahnya. Anak itu tidak nakal, dia hanya memperhatikan bagaimana ayahnya bekerja. Sangat manis melihat pemandangan itu. Tak hentinya bersyukur karena hubungan mereka berdua sangat dekat. Untuk menghilangkan kejenuhan, aku mengambil sebuah majalah yang tergeletak kesepian di atas meja. Lalu membukanya, membaca isinya yang ternyata semua membahas tentang dunia bisnis yang membosankan bagiku. “Mom, aku ingin ke toilet.” Atensiku dari majalah di tangan teralihkan begitu suara putraku merasuki gendang telinga. Aku melihat Raffa meringis, aku baru ingat sejak di taksi tadi dia memang sudah merengek ingin buang air kecil. Bagaimana bisa aku melupakan ini? “Ya udah, Sayang, kamu ke toilet aja. Kamu tahu, kan, toiletnya? Dekat kok dari sini.” Raefal mendelik padaku begitu mendengar kata-kataku ini, kentara dia tak suka mendengarnya. “Sayang, kamu serius nyuruh Raffa ke toilet sendirian?” tanyanya, sebelah alisnya terangkat tinggi. Aku mengangguk karena memang begitulah kenyataannya. Aku mengajarkan putraku untuk hidup mandiri, aku tahu dia bisa sendiri pergi ke toilet. “Iya, aku mana mungkin kan masuk ke toilet laki-laki?” “Tapi, kan bisa kalian ke toilet perempuan aja,” balasnya, masih tak terima. “Seperti anakmu mau saja buang air kecil di toilet perempuan.” “Aku gak mau pipis di toilet perempuan, aku kan laki-laki bukan perempuan.” Raffa menjawab dengan pintar, diam-diam aku tersenyum penuh kemenangan. Dari sofa ini, aku bisa mendengar dengan jelas suara Raefal yang mengembuskan napas kasar. “Biar Daddy yang nganter kamu ke toilet. Ayo, bangun!” Akhirnya dia yang mengalah. Raffa bergegas turun dari pangkuannya, diikuti oleh Raefal yang juga bangkit berdiri dari duduknya. “Aku anterin dulu dia ke toilet,” pamitnya, yang hanya kubalas dengan anggukan. Saat kulihat Raefal dan Raffa menghilang di balik pintu, saat itulah aku memulai aksi penyelidikanku. Ini kesempatan emas yang tidak boleh aku sia-siakan. Aku bergegas menghampiri meja kerja Raefal. Kuperiksa dokuman-dokumen yang berserakan di atas meja. Memeriksa dokumen apa pun yang menurutku mencurigakan. Serta berharap dari salah satu dokumen aku bisa menemukan seseorang berinisial ZK yang sedang ingin sekali kuketahui identitas aslinya. Aku beranjak menuju laci begitu tak kutemukan keanehan apa pun dalam dokumen-dokumen itu. Satu demi satu lacinya aku buka, aku mengumpat kesal detik itu juga begitu mendapati semua laci dalam keadaan terkunci. OK, seperti biasa Raefal memang selalu teliti. Beranjak dari laci, kini tujuanku adalah brankas besi yang diletakan tepat di sudut kiri ruangan. Meskipun aku sudah mengira brankas itu pasti dalam keadaan terkunci, aku tetap mencoba peruntungan dengan membukanya. “Sial, tentu saja dia pasti menguncinya,” umpatku kesal meski aku tahu pasti seperti ini akhirnya. 17 tahun hidup di sekeliling seorang Raefal Syahreza, aku tahu persis bagaimana kebiasaannya. Dia yang selalu menyimpan barang-barang pentingnya di dalam laci atau brankas. Jadi, saat laci dan brankas dalam keadaan terkunci meskipun dirinya sedang berada di ruangan ini, bisa kupastikan sesuatu yang Raefal simpan di laci dan brankas itu pastilah sangat penting, mungkin juga rahasia hingga dia menyembunyikannya dariku juga. Kenapa aku berpikir seperti ini? Jawabannya mudah, dia membawa kunci semua laci karena ada aku di ruangan ini. Aku sering mengunjungi kantor ini dulu dan biasanya dia akan meletakan kunci semua lacinya di kotak kecil yang dia letakan di dekat laptop. Lihat, kotak itu kosong sekarang, tak ada satu pun kunci di sana. “Jadi, kamu beneran nyembunyiin sesuatu dari aku. Dasar brengsek.” Aku mengumpat lagi, dan aku benar-benar tidak peduli meskipun ada orang yang mungkin mendengarnya. Aku tidak kehilangan akal meskipun Raefal sudah menutup rapat-rapat akses yang bisa kugunakan untuk menemukan semua kebohongannya. Aku cepat-cepat keluar dari ruangan selagi Raefal dan Raffa belum kembali. Susi adalah tujuan utamaku sekarang. Aku mendekatinya tanpa kata, membuat Susi tersentak kaget karena keberadaanku yang begitu mendadak di hadapannya.  “Oh, Ibu. Ada apa, Bu?” tanyanya, masih terlihat terkejut. Aku hanya tersenyum, sedikit merasa bersalah padanya. “Sus, saya boleh minta tolong nggak?” “Tentu boleh, Bu. Apa yang bisa saya bantu?” sahutnya penuh semangat, aku kembali tersenyum padanya. “Kamu bisa gak tolong kirimkan daftar seluruh pegawai di kantor ini ke alamat email saya?” Susi mengernyitkan dahi, mungkin heran dengan permintaanku ini. Tapi, sungguh hal ini sangat penting bagiku. Aku curiga pemilik inisial ZK itu bekerja di kantor ini. “Cukup kirim daftar nama aja, nggak perlu identitas lengkap,” tambahku. “Kalau boleh tahu, untuk apa ya, Bu?” tanyanya, terlihat mulai curiga. “Ada urusan penting. Bisa kan kamu bantu saya?” Susi terdiam sejenak, keraguan terlihat sangat jelas di wajahnya. “Ayolah, Sus, kan cuma daftar nama aja bukan identitas lengkap mereka yang saya minta. Bisa ya kamu bantu saya? Please,” ucapku mencoba memasang wajah sememelas mungkin. Mungkin karena dia tidak enak menolak permintaan istri atasannya, akhirnya dia mengangguk setuju, membuatku tersenyum lebar detik itu juga. “Kamu ngapain di sini?” Aku tersentak, luar biasa kaget. Begitu kuputar leher dan menemukan Raefal sedang berdiri tak jauh dariku sembari memangku Raffa, sukses membuat mataku terbelalak lebar. Aku menghela napas, mencoba berekspresi setenang mungkin, aku yakin dia tak mungkin mendengar pembicaraan kami tadi karena aku bicara sepelan mungkin. “Mengobrol dengan Susi. Udah lama banget kita gak ketemu. Iya, kan, Sus?” “Iya, Bu,” jawab Susi. Diam-diam aku bersyukur karena sekretaris suamiku ini benar-benar bisa diajak kerja sama. “Kalian udah selesai ke toiletnya?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Iya, udah. Ayo, masuk ke dalam lagi!” ajaknya, kubiarkan Raefal melangkah masuk lebih dulu. “Sus, tolong rahasiakan permintaan saya ini dari suami saya ya. Saya percaya sama kamu. Saya tunggu kirimannya.” “Baik, Bu.” Aku menepuk bahu Susi pelan, sebelum menyusul suamiku masuk ke dalam ruangannya.   ***   Tepat pukul 12 siang, Raefal mengajak kami makan siang di salah satu restauran cepat saji yang terletak tak jauh dari kantornya. Raffa girang bukan main, sudah lama memang dia tak kami ajak makan di luar seperti ini. Dia memesan burger, french fries, es krim dengan semangat, suaranya begitu nyaring saat dia meminta ayahnya untuk membelikan semua makanan pesanannya. Aku hanya meringis mendengarnya, sepertinya lain kali aku harus lebih sering mengajak putraku makan di luar jika melihat dia begitu bahagia seperti sekarang ini. Tak lama kemudian, Raefal kembali dengan membawa nampan penuh makanan yang akan menjadi menu makan siang kami kali ini. Aku tersenyum lebar melihat spaghetty kesukaanku sudah terhidang menggiurkan di depan mata. Tanpa perlu repot-repot menyebutkan makanan apa yang ingin aku pesan, Raefal selalu tahu persis makanan favoritku. “Es krimnya enak, Daddy. Nanti pesenin aku satu lagi ya,” pinta Raffa dengan manja. Aku dan Raefal saling berpandangan, gemas sendiri melihat tingkah laku putra semata wayang kami. “Jangan banyak-banyak makan es krim, nanti kamu sakit gigi.” Aku yang melarangnya, seketika Raffa memberengut tak suka. Dia merajuk dan merengek meminta pembelaan dari ayahnya yang memang selalu memanjakan dirinya. “OK, nanti Daddy belikan satu lagi. Tapi, cuma satu ya jangan banyak-banyak.” Raffa bersorak girang mendapati keinginannya dikabulkan oleh ayahnya. Berbanding terbalik dengan reaksiku yang memelototi Raefal saat ini. “Nggak apa-apa, Sayang. Cuma dua kok. Aku janji gak bakalan beliin dia terlalu banyak es krim,” katanya, menyadari kekesalanku. Aku pun mendengus, memilih menyibukan diri dengan spaghetty-ku dari pada meladeni dua orang keras kepala itu, tetap saja aku akan kalah jika sepasang ayah dan anak itu sudah kompak seperti ini. “Daddy, Daddy, aku pengen maen ke Trans Studio udah ini. Boleh ya?” rajuk Raffa meminta hal yang lain. Raefal menoleh padaku seolah sorot matanya menunjukan bahwa dia sedang meminta bantuanku untuk membujuk Raffa. Aku memutar bola mata, bosan. Kubiarkan dia sendiri yang meyakinkan Raffa. Raffa yang sedang merajuk memang akan sangat keras kepala. Sekali-sekali biar Raefal yang merasakan betapa keras kepala putranya itu, karena biasanya akulah yang menghadapinya. Jadi, aku hanya diam, pura-pura sibuk dengan makananku serta pura-pura tak mendengar obrolan mereka. “Udah ini kan Daddy masih kerja, Sayang,” kata Raefal, berusaha membujuk. “Pulang kerja aja.” Seperti dugaanku, Raffa anak yang cerdas, selalu tahu cara membuat orang tuanya kebingungan dengan semua keinginannya. “Daddy kan pulangnya malam. Nanti Trans Studio-nya keburu tutup.” “Kata siapa? Temen aku ada kok yang ke sana malam-malam, katanya belum tutup.” Aku terkekeh mendengar jawaban cerdas putraku. Jadi, apa yang akan dikatakan Raefal untuk membujuk anaknya? Aku mulai penasaran sekarang. “Tapi nggak enak kalau malam-malam kita ke sananya, kamu jadi gak bebas main soalnya nggak lama kita masuk, Trans Studio-nya udah mau tutup.” “Tapi, aku pengin main ke sana. Temen aku bilang seru.” “Ya udah, hari minggu nanti, kita ke sana ya.” Raffa tersenyum semringah hingga deretan giginya terlihat jelas. “Janji ya, Dad. Jangan bohong,” ujarnya. Dia mengulurkan jari kelingking yang langsung dibalas oleh Raefal. Kelingking mereka pun saling terpaut, aku mendengus lagi melihat pemandangan itu. “Mommy juga ikut ya,” pinta Raffa padaku. “Tentu aja, Sayang. Nanti Mommy juga pasti ikut.” “Horeee!” katanya girang, luar biasa. Aku dan Raefal menggeleng serempak melihatnya. “Kamu udah janji lho sama Raffa. Awas aja kamu bohong,” kataku. Aku menunjuk Raefal dengan garpu yang sedang kugenggam. “Emangnya kapan aku pernah bohong? Nggak pernah, kan? Tenang aja, aku pasti tepatin janji aku. Udah lama juga kita bertiga gak jalan-jalan, kan?” Aku memutar bola mata, malas. Tak yakin dengan ucapannya ini. Tak pernah berbohong katanya, benarkah? Entah kenapa aku sangat, sangat tidak percaya. Tak lama berselang, kulihat ponsel Raefal bergetar dan layarnya menyala terang. Ada panggilan masuk, entah dari siapa. Hanya saja satu hal yang kusadari, Raefal tampak terkejut saat melihat nomor yang tertera pada layar ponsel itu.  Ponsel yang tergeletak di atas meja itu, cepat-cepat dia ambil. “Aku angkat teleponnya dulu ya.” Dia pergi begitu saja bahkan sebelum aku bersuara untuk memberikan respon. Begitu melangkah pergi dari meja kami, kulihat dia bergegas mengangkat telepon itu. Aku bersumpah, wajahnya terlihat semringah saat berbicara di telepon dengan seseorang yang entah siapa, bahkan dari kejauhan aku bisa melihatnya dengan jelas, ekspresi bahagianya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD