STEP 04 -Pertemuan Kedua

1135 Words
"Orang bilang, jika pertemuan pertamamu dengan seseorang adalah kebetulan maka bisa jadi pertemuan keduamu dengannya merupakan takdir." -Adam F. Rahadian-   *** Bahagia itu sederhana, sesederhana mengabadikan moment penting orang lain dalam bentuk sebuah potret. Begitulah yang Adam rasakan, seperti saat ini kala dirinya sibuk mengambil gambar post wedding sepasang sejoli di hadapannya. Rambut gondrongnya dicepol tinggi, memperlihatkan sisi kanan, kiri, dan bawah kepalanya yang dipangkas pendek. Kedua tangannya sibuk mengarahkan kamera, mencari angle yang tepat sebelum mulai membidik. Selain dirinya, ada Maman—salah satu karyawannya—yang membantu memberikan intruksi pose kepada muda mudi itu, dan juga beberapa kali mengganti latar serta menata property. "Oke, sudah selesai." Adam mengacungkan sebelah ibu jari, disambut desah lega dari kliennya. Sekedar informasi, sesi pemotretan tidaklah semudah mencetak foto menjadi lembaran. Bergaya di depan kamera cukup melelahkan, apalagi sampai bersesi-sesi. Adam meletakkan Canonnya ke lemari khusus usai mengeluarkan kartu memori, lalu diberi ke Maman untuk memindahkan filenya ke komputer. Detik berikutnya, dia menghampiri pasangan berbaju bodo khas pengantin bugis Makassar itu. "Setelah ini, Bapak sama Ibu boleh ikut Maman untuk menyortir foto-foto yang dipilih," jelas Adam sambil menyalami keduanya. Mereka berbincang sebentar sebelum lelaki berkaos putih itu pamit undur diri dari ruangan. "Mas Adam baru selesai pemotretan?" tanya seseorang tepat setelah Adam menutup pintu. Dia menoleh, mendapati perempuan muda berambut bergelombang yang sengaja dipirang kecoklatan. "Reva? Ngapain di sini? Bukannya hari ini ada jadwal kuliah?" Gadis itu mengangkat kedua tangannya, memamerkan dua kantongan ukuran sedang. "Dosennya gak masuk, jadi pulang deh buat nemenin Mami bawain belanjaan bulanan untuk Mas Adam." "Kan udah Mas bilang, kalian tidak usah—," "repot-repot. Karena Mas Adam bisa beli sendiri," lanjut Reva meniru kalimat yang kerap kakak semata wayangnya itu lontarkan ketika dirinya dan maminya berkunjung ke sini. "Duh, Mas kayak gak tau Mami aja ih. Daripada nolak, mending bantuin Mami gih diluar. Ini mah belum seberapa." Reva melenggang menuju tempat Adam di lantai tiga, meninggalkan Adam yang menyemburkan napas pasrah. Mengikuti perkataan Sang Adik, Adam melangkah keluar, membantu Maminya. Sudah enam bulan lamanya rutinitas ini berlangsung. Bukan tanpa sebab. Jika saja waktu itu maminya tidak menemukan kulkas Adam yang kosong melompong—menurut Sang Mami, padahal ada air botolan, dan minuman kaleng—maka hal ini mungkin tidak terjadi. Apalagi Mami Adam bukan tipe ibu yang membiarkan bujangnya hidup mandiri tapi bebas dari pengawasan serta perhatiannya. "Kalau saja kamu gak berkeras tinggal sendiri, Mami juga gak bakal seprotektif ini, Dam," elak maminya suatu waktu saat Adam coba menghentikan aksi perempuan keturunan jawa itu, "lagian, Mami gak mau sampai kamu kena gizi buruk terus berubah jadi busung lapar." Baiklah, Maminya memang sering hiperbola seperti itu, untung sayang. Jadilah Adam tawakkal lillahi ta'ala untuk apapun yang perempuan berjilbab itu lakukan. Kecuali untuk satu hal. Adam berjalan di depan, tangannya penuh barang bawaan Mami. Sementara Maminya mengikut di belakang, sambil mengibas-ngibas kipas tangannya. "Wes kalau milih pacar itu yang perhatian dikit toh, Dam." Adam mendesah dalam hati, tahu ke mana arah pembicaraan Mami selanjutnya. Inilah 'satu hal' yang dia tidak suka, ketika maminya mulai mengungkit Anggun beginilah, begitulah, pokoknya menjabarkan segala ketidaksukaan dan penilaiannya terhadap pacarnya. Daripada membantah, Adam lebih memilih mempercepat langkah. Bukankah berkata 'ah' saja kepada orang tua adalah dosa? Apalagi jika membantahnya panjang lebar. Cukup berdoa saja agar hati maminya dilembutkan dan menerima Anggun kelak sebagai menantunya. Reva duduk berselonjor di sofa panjang sembari menggigit apel merah saat Adam muncul dari pintu masuk. Lelaki tegap itu meletakkan bawaannya ke atas meja makan. Kemudian mengambil sebotol air dari kulkas, lalu mengempaskan diri ke single sofa. Sebentar lagi maminya akan melakukan next STEP yaitu menata segala isi kantongan pada tempatnya. "Mas, besok temanin mami ke rumah Tante Ratih, ya?" teriak Mami dari dapur yang berjarak belasan meter dari tempatnya. "Maaf, Adam tidak bisa, Mi. Besok harus bawa materi di seminar, pagi-pagi." "Bawa materi atau mau jalan bareng Mbak Anggun, Mas?" sahut Reva, mengerling jahil ke kakaknya. Segera saja Adam menimpuknya dengan bantal sofa. Ah, sampai detik ini, dia belum tahu apakah adiknya berpihak ke Mami—kubu kontra Anggun—atau memihak dirinya—kubu pro Anggun—. *** Mobil hitam Adam memasuki kawasan kampus terbesar di Makassar yang juga sekaligus sebagai hutan kota itu. Pepohonan tinggi berbatang besar nan rimbun berjejer rapi sepanjang jalan, menambah sejuk dan segar udara sekitar. Tidak heran sepagi ini banyak orang menghabiskan waktu untuk jogging atau sekedar berjalan santai di sana. Spanduk acara berukuran besar terpampang jelas begitu Adam berbelok ke parkiran gedung seminar. Dia tersenyum geli melihat foto dirinya yang tampak klimis tanpa brewok dan rambut gondrong di antara foto pemateri lainnya. "Tunggu dulu, perempuan itu sepertinya tidak asing. Hm...." Adam memicingkan mata, berusaha menggali memori di mana gerangan dirinya pernah bertemu gadis yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Gadis itu tengah menurunkan kantongan-kantongan besar berisikan snackbox dari avanza silver  dibantu seorang bapak-bapak berpeci. Rambut kuncir kudanya bergelayut mengikuti ritme geraknya. Lepas beberapa waktu, tiga orang mahasiswa mendekati gadis itu, lalu masing-masing di antara mereka menenteng dua kantongan. Dari name tag yang terkalung di leher mereka, Adam menduga jika cowok-cowok itu adalah panitia acara. "Ah! Dia yang waktu itu!" sebuah bohlam seketika menyala dengan suara berdenting di dalam kepalanya. Akhirnya dia ingat. Dengan sigap Adam merogoh saku, mengeluarkan kartu nama dari dompet, dan memindahkan nomor yang tertera ke keypad ponselnya. Sebelum menekan icon dial, dia meraih ransel kemudian menyampirkannya ke pundak. Lelaki berkemeja lengan pendek itu turun dari mobil tepat ketika gadis itu usai memberikan sejumlah uang ke bapak-bapak berpeci, lalu berbalik arah mengikuti tiga mahasiswa tadi sembari membawa satu kantongan lagi. Dia menindis tombol telepon sambil mengamati dalam diam dari jarak cukup jauh di belakang gadis itu. Panggilan pertama diabaikan, Adam berdecak. Dia mencoba kedua kalinya. "Halo?" "Zirena? Ini saya Adam." Langkah Zirena terhenti. "Oh, Pak Adam yang brewokan itu, ya?" Apa? Memangnya ada berapa Adam yang dia kenal? Adam membatin. "Katakanlah iya. Maaf saya baru menghubungi sekarang, saya harap kamu tidak lupa akan tanggung jawab kamu." "Saya tidak lupa kok, Pak Adam. Saya juga sudah lama menunggu anda untuk menghubungi." Zirena menjawab tegas. "Kalau Pak Adam bisa, hari ini juga saya bersedia menyelesaikan semuanya." Gadis itu lanjut berjalan, melewati selasar menuju ruang seminar. Adam memerhatikan tiap gerak-geriknya. "Boleh." "Silahkan tentukan tempat Pak Adam, di mana dan jam berapa." Hening sesaat. Adam mematikan panggilan, membuat Zirena menatap layar handphone dengan kening mengernyit. Sejurus kemudian dia berjalan cepat menghampiri gadis itu. "Hari ini, di kafetaria dekat rumah sakit Unhas, setelah saya selesai mengisi materi." "Ya Allah!" Zirena terperanjat, segera memegangi d**a dengan tangannya yang bebas, takut jantungnya meloncat keluar. Ingin rasanya menimpuk orang yang tiba-tiba muncul di sampingnya itu. Namun urung begitu mengenali pelakunya. "Saya bantu." Secara 'ajaib' kantong pada genggaman Zirena telah berpindah ke Adam. "Tujuan kita sama." Lelaki berkulit sawo matang itu bergerak menjauh, membiarkan Zirena terpaku di selasar—meredam keterkejutannya. (*)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD