STEP 09 - Kepergok

1957 Words
"Tidak semua wanita itu seumpama mawar, indah sekaligus tegar dan kuat dengan duri-duri yang melindunginya. Ada dari mereka yang ibarat dandelion, indah, namun begitu rapuh bahkan untuk sekedar disentuh." -Adam F. Rahadian- *** "Kamu baik-baik saja?" Adam tidak tahan untuk berkomentar begitu melihat Zirena mengembuskan napas berat yang kentara untuk ketiga kalinya. Gadis di sampingnya itu memang terlihat agak muram dan kurang bersemangat sejak tadi, seperti sedang terbebani oleh satu hal. Zirena kontan menoleh ke arah Adam, tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan yang sama dari bosnya selain dari Sagita, Ibu, dan Dika. Apa sekentara itu dia terlihat tidak baik saja? Padahal dia sudah berusaha keras mengumpulkan kembali energi dan tenaga yang sepertinya tersedot banyak semalam tatkala melihat orang itu. "Baik, Pak." Gadis yang hari ini mengurai rambut seadanya itu mengangguk singkat lalu kembali mengarahkan pandang ke depan. Menekuri jalan tol yang lebih mulus dibandingkan jalan kehidupannya. Adam bukan lelaki kemarin sore yang percaya saja ketika seorang perempuan berkata 'baik-baik saja'. Tidak, Zirena jelas tidak baik saja. Hal itu terpeta jelas di wajah dan gerak gerik karyawan barunya itu. Namun dia bisa apa selain ber-oh serta menahan keinginan untuk bertanya lagi, terlebih saat ini mereka hanyalah sepasang asing. "Kalau boleh tahu, kenapa kamu menerima syarat kerja dari saya?" Adam mengalihkan topik pembicaraan, juga enggan mengulang suasana hening yang tercipta sejak meninggalkan Adara studio tadi. Mereka sedang dalam perjalanan menuju salah satu perguruan tinggi di perbatasan Gowa-Makassar untuk menghadiri talkshow kewirausahaan--dengan Adam sebagai salah satu speaker tentunya. Ini kedua kalinya Zirena akan menyaksikan Adam sebagai pembicara. Hanya saja sekarang sebagai asisten, bukan lagi orang yang ingin membayar ganti rugi. "Karena saya butuh kerja," jawab Zirena singkat. Tanpa sadar Adam mendengus begitu mendengar jawaban gadis berkemeja biru langit itu. Alih-alih bertanya lagi, dia lebih memilih menghubungi Anggun. Berbasa-basi dengan orang lain memang bukan gayanya, apalagi kalau orang itu tampak enggan bicara. "Kamu free, tidak? Hari ini anak-anak mau barbecue-an. Iya. Acara penyambutan karyawan baru, tradisi studio seperti biasa. Aku jemput habis ashar. Hm? Oke. See you." Adam mengakhiri panggilan kemudian menaruh ponselnya ke atas dashboard. "Lain kali kalau Bapak sedang nyetir jangan sambil telponan. Bahaya. Atau sedia earphone bluetooth saja. Lebih aman," oceh Zirena dengan kedua tangan bersidekap. Dia melirik Adam tidak suka secara terang-terangan. Menggunakan handphone saat mengendara jelas melanggar aturan, jika terjadi kecelakaan bagaimana? Imbasnya bukan hanya ke diri sendiri, tetapi juga ke orang lain. Untuk sesaat kening Adam berkerut, mencerna reaksi tiba-tiba dari Zirena. Tadi seolah puasa bicara, sekarang malah berujar panjang lebar. Detik berikutnya dia mendengus geli, teringat pertemuan pertama mereka yang kurang menyenangkan. Waktu itu Zirena menegurnya seperti ini sambil memasang tampang galak yang gagal. "Kupikir kamu kekurangan kosakata karena enggan bicara sejak tadi. Ternyata tidak." *** Jika bukan karena Dika, Adam tidak akan berbelok arah ke swalayan dalam perjalanan pulang dari talkshow. Sepupunya itu menitipkan list belanja keperluan acara dengan alasan tidak akan sempat keluar sebab studio tengah ramai. Adam sekali lagi mengecek roomchat Dika, membaca sekilas daftar belanjaan sembari mengayunkan kaki memasuki salah satu swalayan besar dan terlengkap yang ada di kota Makassar. Sementara Zirena mengekori dari belakang. "Hati-hati." Dengan gerakan pelan, Adam menarik maju lengan Zirena untuk menghindari sambaran mobil yang lewat di depan jalan masuk menuju area parkir. Gadis itu masih saja tidak fokus. Dalam hitungan detik dan tubuh Zirena nyaris merapat pada d**a bidang Adam. Napasnya tercekat di kerongkongan, efek tidak pernah berada sedekat ini dengan lelaki termasuk dengan mantan pacarnya dulu. "Saya tidak tahu ada apa dengan kamu hari ini. Tapi saya harap kamu bisa profesional dan tetap konsentrasi," tegur Adam sesaat usai melepas pegangannya pada lengan ramping Zirena. Tanpa menunggu balasan respon dari karyawannya itu, Adam berbalik dan kembali berjalan. Zirena menghela napas panjang. Bosnya itu benar, dia harus profesional sebanyak apapun beban pikirannya saat ini. Dia menyentuhkan telapak tangannya ke pipi, lalu menepuk-nepuknya beberapa kali berharap kesadarannya pulih. Setelah merasa berhasil menguasai diri, Zirena berlari kecil menyusul Adam di depan sana. Dengan sigap Zirena mengambil trolley lalu mengarahkannya ke mana Adam menuju. Pertama-tama mereka ke bagian di mana aneka macam daging berada. Sejujurnya, Adam tidak berpengalaman dalam hal berbelanja seperti ini. Sebab itu kulkas di rumah tidak akan terisi bahan masakan jika bukan Mami yang mengisi. Jadilah dia seperti orang bingung saat dihadapkan berbagai jenis daging. Ambil bagian yang mana sajalah, kan sama-sama daging..., gumam batin Adam. "Itu sudah tidak segar, Pak." Zirena menepis pelan tangan Adam yang hendak terjulur mengambil daging yang terbungkus plastik bening dan styrofoam tipis. Adam menoleh dengan kedua alis melengkung ke atas. "Bapak tidak pernah belanja, ya? Ish. Minggir." Gadis itu menggeser badan Adam, mengambil alih tugas memilih daging. Sementara Adam tahu diri dan beralih memegangi trolley. "Memilih daging itu harus teliti, Pak. Biar dapat yang segar. Nah ini, yang merahnya masih fresh dan teksturnya kenyal terus baunya khas," jelas Zirena sambil mengacungkan sepaket daging di telapak tangannya ke hadapan Adam sebelum memasukkannya ke keranjang dorong. Lalu menambahkan dua paket lagi sesuai instruksi lelaki gondrong itu. "Mencurigakan." Adam memicingkan mata, mengundang tanda tanya di benak Zirena. Mereka berhenti di depan freezer daging ayam. "Jangan-jangan sebelum ini kamu kerja sebagai penjual daging di pasar, ya? Pinter banget milihnya." Gadis dua puluh empat tahun itu tertawa ringan. Ekspresi yang baru pertama kali dilihat Adam selain wajah jutek, sok judes, dan muramnya tadi. Entah mengapa, tawa itu terdengar renyah, membuat Adam serasa ingin mendengarnya lagi dan lagi. Astagfirullah, ingat calon bini, Dam! Adam menggeleng-gelengkan kepala, menghalau keterpesonaan fananya pada Zirena. "Saya biasa nemanin Ibu ke pasar, Pak." Keduanya beranjak menyambangi tempat aneka sosis berada setelah memasukkan dua ekor ayam broiler. "Dan Ibu tuh suka jelasin ini itu saat di pasar. Katanya penjelasan sederhana tentang cara milih daging, ikan, atau sayuran segar akan berguna nanti kalau sudah berumah tangga." Adam memerhatikan dalam diam. "Ya, sekarang juga sudah berguna, sih. Eh, habis ini ke tempat sayuran, kan, Pak?" "He em." Adam mengangguk, mendorong kereta besi mengikuti Zirena. "Kamu di sini tinggal sama Orang tua?" "Iya, sama Ibu." "Ayah kamu?" Seketika ingatan tentang sosok itu yang sempat teredam dari benak Zirena kembali melintas. Adam menyadari perubahan air muka gadis yang berdiri menghadapnya, dan tidak butuh waktu lama untuk dia menyadari jika dirinya salah memilih pertanyaan. *** Studio fotografi milik Adam merupakan bangunan tiga lantai yang berdiri kokoh di ujung pinggir jalan, tak jauh dari gerbang masuk perumahannya. Lantai satu didesain sedemikian rupa untuk kegiatan foto, lantai dua untuk ruang kerja, pantry, mushollah mini, sekaligus satu kamar besar yang ditempati Dika, dan lantai tiga khusus untuk hunian pribadi Adam. Sepertiga sisi bangunan lantai tiga dijadikan Adam sebagai rooftop, ruang terbuka nyaman dengan konsep roof garden sederhana. Lantainya dilapisi rumput sintetis, di bagian tengah terdapat meja kayu persegi panjang lengkap dengan bangkunya, dan di sisi menghadap timur ada ayunan kayu jati muat dua orang sebagai pemanis. Dika dan Maman sibuk berduet untuk membuat arang kayu berbara tatkala Adam dan Anggun muncul dari balik pintu. Sepasang sejoli itu berbincang sebentar sebelum Adam bergabung dengan duo jantan yang berdiri di depan barbeque griller, sementara wanita berkulit putih bersih itu menghampiri Zirena dkk. "Aku bantu, ya?" tawar Anggun ramah disertai senyuman seanggun namanya. Wanita itu mengempaskan b****g tepat di samping Zirena. Jemari lentiknya mengambil kuas masak, mencelupkannya ke bumbu barbeque lantas mengoles perlahan ke tusukan-tusukan berisi daging, ayam, dan paprika. "Gilak." Dewi menyikut pinggang Rahmah yang duduk bersisian dengannya. "Mbak Anggun cantik banget, yes? Lagi ngoles gitu aja bisa bikin terkesima." "Iya, ya." Rahmah menggerakkan kepala naik turun, setuju. Dia melempar tatapan mengagumi ke arah Anggun sambil menusuk potongan sosis. "Hidungnya bikin iri, yak. Mancung sempurna. Mungkin pas pembagian jatah hidung, Mbak Anggun antri paling depan. Apalah dayaku yang cuma serpihan kacamata Syahrini." Zirena geleng-geleng kepala, antara maklum dan miris melihat kelakuan dua rekan kerjanya itu. Berbisik tapi kedengaran, jelas saja Anggun senyum-senyum geli di tempat. Mengakui kecantikan wanita lain boleh, tapi jangan kebablasan merendahkan diri sendiri. Tiap wanita diciptakan cantik, hanya saja kadarnya berbeda. Seberapapun kadar cantik fisik yang kita miliki, tidak akan sebanding jika cantik itu menguar dari dalam hati ditambah rasa percaya diri. Setidaknya nilai itu yang ditanamkan Ibu pada dirinya. Di kejauhan Adam memerhatikan kekasihnya. Jika karyawan perempuannya saja terpesona, apalagi dirinya? Saat hendak berbalik, netranya tanpa sengaja bersinggungan dengan milik Zirena. Hanya beberapa detik sebab gadis itu mengalihkan matanya ke arah lain. Sejak kejadian di swalayan tadi siang, Adam tidak lagi membuka mulut setelah mengucap kata maaf. Dia ingin mencairkan suasana tidak nyaman di antara mereka, namun gadis itu lebih memilih menghindari pembahasan apapun. Detik itu pula dia mencatat bahwa Zirena teramat sensitif terhadap daddy issues. "Dewi, siap mi satenya? Bawa mi sini dipanggangi (Dewi sudah siap satenya? Bawa sini untuk dipanggang)," teriak Maman dengan logat khas makassarnya, membuyarkan pikiran Adam yang beberapa saat lalu melanglang buana. "Iyo (Iya), siap mi." Dewi tak mau kalah menyahut. Perempuan bertubuh ramping itu membawa wadah berisi sate ala barat ke tempat Maman, diikuti oleh Rahmah. Suara selawat yang mulai berkumandang dari masjid-mejid terdekat menggerakkan Zirena untuk pamit pada Anggun. Waktunya bersiap salat magrib. *** "Zi berapa bersaudara?" Dika lanjut bertanya. Mereka duduk melingkari meja sembari menyantap sajian ditemani beberapa botol softdrink dingin. "Saya anak tunggal, Kak." "Di mana rumah ta', Zi? Siapa tau kapan-kapan bisa ka' ngapel (Di mana rumah kamu, Zi? Siapa tahu kapan-kapan aku bisa ngapel)." Giliran Maman--lelaki berkepala plontos--mengajukan tanya sambil nyengir tidak jelas. Segera saja Maman dirundung teriakan 'uuuuu' dan dihadiahi jitakan ringan oleh Dika. Zirena malah terkekeh menanggapi, nyaris memperlihatkan dekik di pipi kirinya. Dan itu tidak luput dari perhatian Adam. "Dekat sini kok, Kak." Ditengah obrolan ngalur ngidul itu, Adam mengajak Anggun masuk. Meninggalkan lainnya yang sedang khidmat menanyai Zirena. Kali ini dia ingin berdua saja bersama wanitanya. Mengentaskan rindu bertemu yang dipendam selama perjalanan keluar kota tempo hari. "Aku gak enak ninggalin mereka di tengah acara kayak gini, Dam. Kita balik aja ke sana, yuk," pinta Anggun yang dibalas genggaman mengetat dari Adam di tangannya. "Jomblo-jomblo seperti mereka pasti ngerti, Sayang. Hehe." Yang dikasih tahu malah nyengir tanpa rasa bersalah. "Memang kamu tidak rindu?" Semburat merah muda yang kentara di pipi mulus Anggun membuat Adam gemas ingin menariknya ke dalam pelukan. Mereka terus menuruni anak tangga, alih-alih menuju ruang kerja, Adam malah berhenti. Satu sentakan dan tubuh Anggun melipir ke tepian dinding. Lelaki berbadan tegap itu mengurung Anggun di antara kedua lengannya yang bertumpu pada tembok. Adam mengecup singkat bibir merah kekasihnya, lalu menatapnya lamat dengan sirat tak terjelaskan. Sekali lagi lelaki itu mendaratkan kecupan, tapi di kening Anggun. Semakin tersipulah wanita itu dibuatnya. Dan, entah sejak kapan keduanya saling memagut seakan lupa keberadaan orang lain di tempat ini. "ASTAGFIRULLAH!" Zirena berjengit kaget, nyaris terjatuh di belokan tangga ke lantai dua kala buru-buru membalikkan badan. Tangan kirinya serta merta terangkat untuk menutupi mata dari apa yang baru saja dia saksikan. "Ma-maaf, saya tidak lihat apa-apa, kok. Suerrr." Zirena membelakangi bosnya dan Anggun, enggan berbalik. Masih syok dengan pemandangan 'tak senonoh'--baginya--barusan. "Anu, sa-saya permisi. Silahkan dilanjutkan lagi kegiatannya." Dengan kecepatan maksimal Zirena berlari menaiki anak tangga, kembali ke lantai 3. Dalam hati tak berhenti beristighfar. Sedangkan Anggun dan Adam terdiam di tempat, malu sekaligus salah tingkah. (*) Ini pertama kalinya saya coba pakai cast untuk cerita saya. Tujuan utamanya biar lebih bisa mengimajinasikan dan menghidupkan tokoh-tokoh yang saya buat. Tadinya udah masa bodoh soalnya gak dapat yang pas, tapi eh tapi pas nonton ftv di salah satu stasiun tv saya liat artis satu ini. Jadilah saya cari tahu dan intip-intip akun IGnya, dan tiba-tiba ngebatin kalo dia tuh pas banget untuk jadi Zirena.  Pembaca boleh kok punya bayangan sendiri. Mau aktris korea, taiwan, jepang, atau barat. Bebas. Saya pribadi lebih suka cita rasa lokal untuk cast-cast dalam cerita ini. Hehe Selamat membaca. Please, tandai typo dan kesalahan lainnya yang patut dikoreksi, ya. Soalnya langsung update tadi. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD