STEP 19 - Kehilangan

1242 Words
"Sebagaimana jodoh dan rejeki, kematian telah ditakdirkan dan tak tertebak selain oleh Tuhan, bukan?" -Zirena Nameera Ahmad- *** Mengapa Adam sukarela mengantar Zirena ketika dia bisa meminta tolong pada Dika atau Maman? Peduli sebagai seorang atasan, kah? Tapi, jika kejadian serupa terjadi pada Dewi dan Rahma, apakah dia akan melakukan hal yang sama? Entahlah. Pertanyaan itu menari dalam benak Adam saat rush-nya sudah melaju jauh meninggalkan lokasi camp. Bukan diwaktu yang tepat memang, namun logikanya sebagai lelaki mulai mempertanyakan. Sesekali Adam melirik Zirena di sampingnya. Gadis itu tak lagi menangis. Cemas dan khawatir tergurat jelas di wajahnya yang sembab. Kakinya bergerak gelisah di bawah sana, pertanda tidak sabar ingin segera sampai di Makassar. "Terima kasih sudah bersedia menemani saya pulang, Pak." Zirena berucap lemah. Ponsel di tangannya tergenggam erat, menanti kabar terbaru mengenai ibu dari Sagita. "Saya tidak tahu harus bagaimana lagi tadi." "Tidak masalah. Sudah kewajiban saya untuk membantu." "Saya tidak bisa membayangkan bagaimana hidup saya tanpa ibu." Menghindari tatapan Adam, Zirena memalingkan muka, meratapi jalan di sampingnya yang terhalang kaca mobil. Jemarinya terangkat menghapus jejak butir bening yang kembali menitik. "Hanya ibu keluarga yang saya punya. Saya takut hal buruk terjadi pada ibu karena kesehatannya menurun akhir-akhir ini." "Jangan berkata seperti itu. Percaya, semua akan baik-baik saja. Yang harus kamu lakukan sekarang adalah berdoa, Zi." Walau hanya seuntai kata, Adam berharap bisa sedikit menenangkan gadis itu. Zirena mengangguk, membenarkan perkataan bosnya. Detik berikutnya, dia kembali terdiam. Hatinya merapal doa, sementara pandangannya menerawang awan mendung di kejauhan. Lebih cepat sejam dari perkiraan, mereka tiba jua di tujuan. Adam memanuver mobilnya, berbelok memasuki area parkir rumah sakit Ibnu Sina. Dengan tergesa Zirena turun, berlari kecil menuju bangunan besar kehijauan di depan sana. Adam mengikuti dari belakang. Sebuah panggilan masuk dari Sagita lantas menghentikan sejenak langkah Zirena. "Aku udah di rumah sakit, Git. Ini sedang menuju ke tempatmu. Ibu baik-baik aja, kan?" "Zi ... Ibu ... dia-" "Ibu kenapa?!" Panik lagi-lagi melanda kesadaran Zirena. Perasaannya mulai tidak enak mendengar Sagita terbata oleh isak tangis. "..." Daya tarik gravitasi bumi segera bekerja begitu pegangan Zirena pada ponselnya melemah. Layar benda itu retak tatkala mendarat paksa di atas jalanan beton. Lebih buruk dari itu, tenaga Zirena seolah turut tertarik ke dimensi lain, membuat otot-otot kakinya tak berdaya menopang tubuh. Kabar Sagita bagai geledak guntur di siang hari yang memekakkan telinga. Membuat kinerja jantung Zirena berdentam hebat, hingga perasaan makin tidak karuan. Perlahan sekujur tubuhnya bergetar diikuti sensasi dingin yang menjalari kaki dan tangannya. Reflek Adam menahan lengan gadis itu dengan tangan kokohnya. "Ada apa?" "Ibu ..." Langit masih mendung, namun hujan sudah turun dengan derasnya dari sepasang mata Zirena. Adam menduga apa yang baru saja gadis ini dengar bukanlah kabar baik. Untuk memastikan, dia membantu menuntun Zirena menuju tempat ibunya berada. Dari jarak beberapa meter, netra Zirena mendapati sosok Indira tengah berlari mendekati. Mata sahabatnya itu merah, sama sembab seperti dirinya. Ibu satu anak itu langsung saja menjangkau pundak Zirena, membawa gadis yang tampak kacau itu ke dalam dekapan. Dia tersedu oleh tangis, akan tetapi berusaha memberikan pelukan menguatkan. "I-bu udah pulang, Zi. Kamu harus kuat." "Innalillahi wa innailaihi rojiun," gumam Adam, turut berduka atas kehilangan yang baru saja menimpa Zirena. Berita itulah yang beberapa saat lalu Zirena dengar dari Sagita. Dia menolak percaya, tetapi kehadiran Indira di sini memperjelas semua. Rasanya tadi subuh Ibu terdengar baik-baik saja saat mereka bercakap lewat telepon. Lalu sekarang dia harus menerima kenyataan bahwa ibunya telah pergi meninggalkan dunia untuk selamanya. Zirena mendorong pelan badan Indira, melepaskan diri dari dekapan. Tanpa menghiraukan dua orang di dekatnya, dia kembali berjalan. Kali ini bukan menuju bagian dalam rumah sakit, melainkan bangunan samping dekat musala yang kiranya menjadi tempat ibu berada sekarang. Langkah yang tadinya pelan, perlahan semakin cepat. Dalam hati Zirena memanggil-manggil ibu layaknya anak kecil yang takut kehilangan di tengah keramaian. *** Andai semua sekedar mimpi, Zirena akan memohon pada siapapun untuk dibangunkan dari bunga tidur buruk nan menyedihkan ini. Namun, raga yang terbujur kaku di hadapannya amatlah nyata untuk ditampik. Dengan tersaruk-saruk, Zirena mendekati pembaringan ibu. Mengabaikan kehadiran siapapun di sekitarnya. Air mata mengalir semakin tak terbendung seiring sang otak mengilas balik segala kenangan yang dia lalui bersama ibunya. Ingatan itu terputar bagai film dokumenter. Di mulai dari ingatannya di hari pertama masuk sekolah dasar di antar Ibu, lalu melompat ke adegan di mana Ibu hanya makan nasi sebab menyisihkan lauk untuk dirinya, kemudian terus beralih hingga kenangan yang sempat terlupa juga muncul. "Katakan kalo semua ini tidak nyata, Bu," gumam gadis itu tanpa daya. Jemarinya bergerak menyentuh pipi Ibu. Dingin. "Bagaimana bisa ibu ninggalin Zi sendiri?" Suara tangis Indira dan Sagita terdengar, mereka saling memeluk. Tidak tahan menyaksikan dan mendengar kepedihan sahabat baik mereka. Sementara Adam berdiri di samping seorang lelaki paruh baya, tidak jauh tempat Zirena berdiri. Mata Adam ikut berkaca-kaca. "Bagaimana bisa Ibu pergi tanpa pamit dengan Zi?" gadis itu membungkuk, merapatkan keningnya dengan kening Ibu. Lantas, dengan tangan gemetar dia menangkup wajah perempuan yang telah mengenalkannya pada dunia itu. "Buka mata, Ibu. Zi juga punya sesuatu untuk disampaikan. Ibuuu...." Zirena mulai meracau tidak jelas. Dia jatuh terduduk, menangis pilu saking terpukulnya oleh kepergian orang terkasih. "Ma-afin Zi yang tidak ada di saat terakhir, Ibu. Maafin ... Zi." Indira mendekat, berlutut menggapai Zirena dan memeluknya lagi. Sagita pun demikian. Mereka bertiga berbagi duka yang sama. "Kamu harus kuat, Sayang. Ikhlasin Ibu, ya?" Indira berujar disela tangisnya. "Aku minta maaf gak bisa jagain Ibu dengan baik, Zi." Sagita menangis tak kalah kerasnya dengan Zirena. Jauh di lubuk hati, dia merasa bersalah. Sejurus kemudian, orang-orang di ruangan itu panik mendapati Zirena terkulai lemas tidak sadarkan diri. Nyaris bersamaan dengan lelaki tua di dekatnya, Adam maju untuk mengamankan Zirena. Beberapa detik lebih cepat dibanding bapak-bapak berpakaian hitam itu. *** Tidak ada yang ingin kehilangan orang terkasih secara mendadak. Tapi, seperti halnya jodoh dan rejeki, kematian memang tidak tertebak selain oleh Tuhan, bukan? Tugas manusia ialah menerima dan mengikhlaskan. Dan, Zirena sedang mengusahakan itu. Zirena kini berdiri di baris paling depan, mengantar Ibu menuju persinggahan terakhirnya di dunia. Beberapa jam lalu usai pingsan, dia pulang ke rumah bersama Sagita dan Adam. Bersyukur dia dikelilingi orang-orang yang menyayangi meski tidak sedarah, yang senantiasa membantunya mengurus segala di masa duka. Hingga pengurusan pemakaman bisa dilakukan tepat waktu usai salat ashar. Begitu jenazah Ibu mulai diangkat dan dimasukkan ke liang lahat, air mata kembali mengucur. Para pelayat yang hanya sebagian dikenali Zirena turut bersedih dan memberi kalimat menguatkan. Sedikit demi sedikit tanah diturunkan penggali kubur untuk menimbun liang lahat. Dalam hitungan menit, lubang makam Ibu tertutup sempurna. Menyisakan gundukan tanah basah bernisan dan bertaburkan bunga. Semua orang berjongkok, menghaturkan doa. Begitu pula Zirena yang menunduk takzim menguntai doa untuk sang ibu, sinar hidupnya. Ibu, terima kasih sudah menghadirkan Zi ke dunia. Terima kasih sudah mengandung dan berkorban melahirkan Zi. Terima kasih sudah bersakit-sakit dan lelah untuk memelihara dan merawat Zi. Terima kasih atas curahan kasih seumur masa yang engkau beri. Terima kasih telah mendidik Zi menjadi seperti sekarang. Terima kasih untuk segalanya, yang meski Zi tukar dengan nyawa tetap tidak akan sepadan dengan pemberianmu. Ibu, maafin Zi tidak menemani di saat terakhir. Maafin kesalahan-kesalahan Zi selama ini. Maafin Zi yang belum bisa memenuhi keinginan Ibu naik haji. Maafin Zi, Ibu... Sebagaimana doa Ibu yang selalu menyertai, Zi tidak akan lupa mendoakan Ibu selalu. Allah, segala yang bernyawa pasti akan kembali padamu. Ampuni dosa-dosa Ibu hamba, terimalah amal ibadahnya, dan tempatkanlah ia di sisimu yang mulia. Kuatkan hamba, Rabb... (*)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD