"Untuk jenis kesedihan tertentu, sebagian lelaki meletakkannya pada logika bukan pada hati."
—Adam F. Rahadian—
***
Cara terbaik melupakan kepedihan ialah dengan menenggelamkan diri pada kesibukan. Hingga tidak ada kesempatan bagi perasaan-perasaan melemahkan untuk datang menghampiri. Seperti itulah Adam mengatasi lukanya. Mengerjakan apa saja yang bisa dia kerjakan, pun mengikuti segala macam kegiatan berbau fotografi.
Adam barulah akan mengistirahatkan diri ketika penat benar-benar menyergapnya kala larut malam. Hingga dia memejamkan mata tanpa perlu memikirkan Anggun lagi.
Wanita itu mungkin telah tiba di Paris. Puluhan panggilan tak terjawab dan pesan w******p darinya berhasil Adam abaikan.
Lelaki itu takut jika sekali saja membuka kesempatan untuk terhubung lagi dengan Anggun, hatinya akan lemah oleh perasaan rindu yang membuncah. Belum lagi gempuran kenangan manis yang bisa saja meruntuhkan keteguhannya.
Tidak. Adam tidak ingin hal itu terjadi. Dia tidak akan membiarkan egonya sebagai lelaki terluka untuk ketiga kalinya karena orang yang sama.
"Mas Adam udah baikan?" sayup-sayup suara Reva menelusup masuk gendang telinga Adam. Lelaki tinggi itu tengah terbaring lemah di atas tempat tidurnya.
Perlahan dia membuka mata, menggerakkan badan, ingin bangkit. Namun, pusing seketika menderanya. Sekujur tubuhnya pun terasa pegal luar biasa.
"Jangan banyak gerak dulu, Mas." Reva meraih segelas air putih, dan membantu Adam meneguknya dengan hati-hati.
Sensasi hangat menjalari tenggorokan Adam, meredakan nyeri pada lehernya saat melakukan gerakan menelan.
"Tadi Mas Dika hubungin aku, katanya Mas sakit. Jadi dari kampus aku buru-buru ke sini. Mami juga sedang dalam perjalanan," jelas Reva sambil meletakkan kembali gelas pada tatakan. "Mas mau ke rumah sakit aja?"
Adam menggeleng pelan. Rasanya untuk menggerakkan kepala saja begitu sulit. Tenaganya seakan habis tersedot oleh rentetan pekerjaan dan kegiatan yang seminggu terakhir ini dia lakukan.
Sejak semalam dirinya memang merasa tidak enak badan, tetapi dia tidak acuh. Berpikir hanya masuk angin biasa sebab akhir-akhir ini bekerja di luar ruangan hingga malam tiba.
"Kalau gitu, Mas makan dulu, ya? Mas Dika bilang Mas Adam jarang makan beberapa hari ini. Mungkin karena itu juga jadi sakit." Kali ini gadis berambut pirang kecoklatan itu mengambil mangkuk keramik berisikan bubur. Sebelum itu, dia menolong Adam bangun dan bersandar pada kepala ranjang. "Buburnya enak, kok. Kak Zi yang buat sebelum dia balik."
Adam melirik jam dinding berbentuk logo Adara Studio yang tertempel di tembok sisi kiri kamarnya. Masih dua jam lagi sebelum jam pulang kerja, tapi kenapa anak itu sudah meninggalkan kantor?
"Biar Mas suap sendiri, Re. Tolong kamu ambilkan air hangat lagi, ya?"
Begitu Reva beranjak dari kamarnya, Adam mulai menyendokkan bubur ke mulut. Perutnya seakan mengucapkan terima kasih sebab akhirnya diberi makanan juga oleh empunya. Dia merasa bersalah telah menzalimi tubuhnya selama ini, menyia-nyiakan nikmat kesehatan yang Tuhan beri.
Mangkuk yang masih menyisakan sebagian bubur itu Adam simpan kembali. Sembari menunggu Reva membawakan air minumnya, dia meraih ponsel dari atas nakas.
Dari sekian banyak notifikasi yang masuk, perhatian Adam tertuju pada satu pengirim pesan.
Zirena Nameera
[Assalamualaikum. Maaf, Pak. Saya izin pulang cepat, Ibu tiba-tiba kurang sehat. Sudah izin ke Kak Dika tadi, tapi tidak afdal tanpa izin ke Pak Bos. Semoga Bapak juga lekas sembuh. Buburnya jangan lupa dihabiskan. Mubazir nanti kalo nyisa. Ok, Pak? Terima kasih sebelumnya. Wassalam.]
Bahkan dalam pesan pun, gadis itu berbicara panjang lebar meski bisa disingkat sedemikian rupa. Adam mendengus geli seraya menaruh ponselnya sembarang di atas kasur. Dia mengambil lagi mangkuk bubur, menghabiskannya sesuai amanah si pembuat. Dasar cerewet.
***
"Bagaimana kabar ibu kamu?" Adam berdiri di samping Zirena, bersidekap dengan sebuah ransel tersampir di pundaknya. Lelaki itu memperbaiki letak topi hingga terasa pas di kepalanya.
Harusnya dia menanyakan hal ini beberapa hari lalu ketika sudah pulih, namun baru kali ini berkesempatan dikarenakan kesibukan yang terlanjur dia ambil alih sebelum sakit.
"Alhamdulillah sudah baikan, Pak." Senyum tipis diberikan Zirena. Gadis itu kembali menatapi jalan di depan studio. Dia dan yang lainnya sedang menunggu Dika turun. Lelet sekali lelaki satu itu bersiap-siap.
Mereka berencana pergi ke Bulukumba. Selain refreshing dalam rangka long weekend, karyawan-karyawan Adam juga akan mengikuti camp pelatihan dan pengembangan diri yang diadakan oleh teman-teman sekomunitas wirausahanya di sana.
"Kamu yakin tetap ikut? Tidak menemani ibumu saja?" Lagi, Adam bertanya. Tumben sekali dia ingin tahu seperti sekarang.
"Justru Ibu yang maksa saya ikut meski saya sudah bersikeras untuk menemaninya saja di rumah. Katanya jangan menyia-nyiakan kesempatan dapat ilmu, dan syukur-syukur kalo dapat jodoh pengusaha di sana. Ada-ada saja." Wajah Zirena tertekuk mengingat kekeras kepalaan Ibu yang memintanya pergi. Sementara sepasang alis tebal Adam terangkat tinggi, salah fokus dengan sebaris ucapan terakhir Zirena.
"Tapi, untung sahabat saya mau menginap di rumah selama saya pergi. Menemani Ibu. Jadi saya bisa sedikit benapas lega. Hehe."
Adam manggut-manggut, sudut bibirnya turut terangkat melihat sunggingan senyum Zirena yang menyenangkan untuk dinikmati.
Beberapa lama setelah kedatangan Dika, satu persatu orang memasuki mobil, mengambil tempat duduk. Adam di bagian depan, di samping Dika yang akan menjadi pengemudi selama perjalanan pergi. Zirena dan Dewi di bagian tengah, sementara Maman dan Rahma kebagian jok paling belakang.
Sepeninggal perbatasan Makassar-Gowa, kendaraan melaju cepat. Membelah jalan yang cukup lengang di jum'at pagi ini.
Merasakan gejolak aneh di perutnya, Zirena sedikit menurunkan kaca mobil. Merasa lebih segar menghirup udara alam dibanding aroma AC. Gadis itu lupa meminum obat anti mabuk sebelum berangkat tadi. Beruntung Dewi membawa minyak angin hingga dirinya bisa sedikit meredam mual yang menyerang tiap kali dia menempuh perjalanan jauh.
***
Menjelang siang, Dika melipirkan Rush hitam andalan Adam ke sebuah masjid di daerah Je'neponto. Menanti waktu salat jum'at sekalian istirahat sejenak sambil memikirkan tempat makan siang yang akan disinggahi.
"Eh, Pak Adam sama Mbak Anggun putus, kah?" Dewi segera nyeletuk begitu tiga lelaki itu memasuki bangunan berkubah yang berjarak beberapa meter dari parkiran. Dia tampak antusias menunggu respon Rahma.
"Iyo kayaknya. Ka' tidak pernah mi kulihat main ke studio. Pak Adam juga kayak orang patah hati kulihat. Itumi kapang na sakit ki kemarin." (Iya kayaknya. Karena sudah tidak pernah kulihat main ke studio. Pak Ada juga seperti orang patah hati. Mungkin itu sebabnya dia sakit kemarin.)
Zirena memutar bola mata, malas. Duo rumpi ini nampaknya memang tidak kenal waktu, di manapun dan kapanpun ada kesempatan mereka akan mulai bergosip.
Alih-alih ikut nimbrung, gadis itu memilih turun. Menghirup udara segar sebanyak-banyaknya sebelum perjalanan panjang menuju kota yang berjulukan Butta Panrita Lopi—tanah asal para pelaut ulung—dimulai lagi.
"Dik, di depan ada warung makan. Kita singgah di sana saja." Adam memberi instruksi. Hampir setengah jam perjalanan dari masjid tadi dan mereka baru menemukan tempat untuk menuntaskan rasa lapar.
Dewi segera turun begitu mobil terparkir apik di depan warung makan sederhana itu. Disusul Dika, Rahma, dan Maman.
Adam sengaja melambatkan diri, menunggu Zirena turun lebih dulu darinya. Melihat yang lain sudah masuk, lelaki itu menepuk pundak Zirena dari belakang. Memberi tanda untuk berhenti sejenak.
"Ada apa, Pak?"
Zirena agak kaget ketika si bos tiba-tiba menarik dan meletakkan sesuatu di dalam genggaman tangannya. Dia menunduk, menemukan satu papan obat anti mabuk di sana. Lalu, matanya menyorot penuh tanya.
"Minum ini setelah makan nanti," ucap Adam, singkat. Kemudian berjalan menjauh dari Zirena yang masih terteleng heran. (*)