***
Ada yang tidak beres pada mata Fattah. Setelah kejadian pecahnya kaca kantor tempatnya wawancara kemarin, pria itu merenung. Apa sebenarnya yang terjadi pada diri Fattah? Sebelah mata birunya memang tampak memiliki kekuatan.
Sembari berpikir, Fattah mengayunkan tangannya mengobati memar di wajah mulus yang kini telah tergores. Bukannya untung Fattah malah buntung. Dia dituding melakukan ilmu sihir. Pria itu dituntut lima juta rupiah atas kejadian itu. Namun, karena tidak ada bukti kuat. Kasus itu ditolak oleh pihak kepolisian. Fattah tidak membayar apapun.
"Kok bisa kakak dituduh melakukan sihir? Kita harus balik laporkan kasus ini. Mereka mencemarkan nama baik kakak."
Imran menyodorkan segelas jus jeruk kepada kakaknya. Kemudian disambut oleh Fattah.
"Tumben, adikku baik," candanya.
Imran menyengir. Gigi putihnya sedikit terlihat. Tatanan gigi itu rapi.
"Kalau aku ikutan benci kakak. Siapa lagi yang akan mendukung kakak? Kakak itu kasian tahu, tak punya teman. Selalu ditolak perusahaan. Kalau aku tak baik kakak akan depresi." Mungkin perkataan Imran tidak masuk kategori sebuah gurauan. Akan tetapi Fattah menanggapi dengan santai.
"Entahlah. Bagaimana kalau memang aku punya kekuatan super? Bagaimana kalau sebenarnya mataku memiliki kekuatan?" Pemikiran Fattah keluar begitu saja dari bibirnya. Itu bisa saja terjadi mengingat Fattah selalu mengalami kejadian-kejadian di luar logika.
Bukannya setuju dengan pernyataan kakaknya, Imran malah terbahak-bahak. Seolah kakaknya baru saja melakukan pertunjukkan komedi. Imran memang menyukai film superhero, tetapi ia masih percaya dunia realistis. Bagaimana bisa sebuah mata yang kebetulan berbeda warna memiliki kekuatan super.
"Lah, kok malah ketawa? Aku bertanya serius tahu." Fattah mendengus.
Hanya itu, satu kemungkinannya. Bagaimana mungkin kaca yang kokoh tiba-tiba roboh hanya karena mata biru Fattah memandangi dinding kaca tersebut? Apalagi, Fattah sering mengalami peristiwa supranatural.
"Kalau kakak bilang gempa mungkin aku lebih percaya dari pada dugaan mata berkekuatan super? Ya ampun, itu terdengar sangat mustahil." Imran sarkatik.
Fattah tidak punya bahan perdebatan lagi. Dia membuka harian pagi ini. Apa lagi yang bisa dilakukan seorang pengangguran? Mana tahu di dalam koran ada ide membuka usaha, atau mungkin sedikit hiburan dengan adanya bacaan cerpen dari sastrawan muda Indonesia.
"Game berteknologi canggih "Pulau Terkutuk" sedang mencari kandidat untuk bergabung. Hadiahnya 1 triliun rupiah."
Judul headline koran hari ini sama persis dengan apa yang disaksikan Fattah pagi ini. Tampaknya permainan aksi itu sangat trending. Bahkan, ada di mana-mana. Sekilas, Fattah sempat mendengarkan beberapa orang membicarakan perihal permainan tersebut.
"Kakak bergabung saja dengan permainan itu. Siapa tahu kakak lolos? Lumayan uangnya 1 triliun rupiah."
Fattah memelototkan matanya. "Tidak akan! Kamu pikir nyawa bisa ditukar dengan uang? Bergabung dalam permainan itu sama saja dengan bunuh diri."
Dalam kertas koran itu menegaskan kalau nyawa peserta tidak dijamin selamat. Terlebih, ada surat perjanjian di awal untuk tidak menuntut. Manusia normal mana lagi yang mau menjebak dirinya sendiri. Semua orang menghindari malaikat maut bukannya mendekati malaikat maut.
"Aku 'kan hanya bercanda, Kak. Tak perlu sinis begitu. Aku hanya merekomendasikan, mengingat uangnya sangat banyak."
Fattah langsung menjitak kepala adiknya sehingga Imran cekikikan. Kalau Fattah marah ternyata bikin suasana hati jadi bahagia. Fattah merasa tidak senang sehingga dirinya memilih untuk keluar dari rumah, paling tidak ia mendapatkan udara segar.
"Mau kemana, Kak?"
"Bukan urusanmu!"
***
Fattah memandangi sekeliling kafe tempat dirinya berada sekarang. Dia mencoba mencari sahabat yang menjadi orang yang akan dia temui kali ini. Di bagian meja pojok tampak wanita dengan dress selutut berwarna merah sedang menyedot kopi miliknya.
"Daisy!" panggil Fattah.
"Fattah, ayo ke sini!"
Fattah melangkah menuju meja tempat Daisy berada. Wanita itu terlihat tersenyum. Namun, Fattah melihat ada luka di wajah sahabatnya. Mereka berdua memiliki masalah yang serius. "Aku pesan Americano untukmu."
"Wow. Terima kasih."
Americano adalah minuman kesukaan Fattah. Beruntung sekali bahwa Daisy selalu mengingat minuman favorit teman karibnya. Hanya wanita itu yang mau berteman dengan Fattah di saat yang lain justru menjauhi pria itu.
"Ada apa dengan wajahmu, Fattah?"
"Oh, aku sempat bertengkar dengan orang lain. Kau tahulah. Kasus yang sama setiap hari."
Daisy merasa bersalah. Sebetulnya ia memiliki masalah juga. Dia ingin curhat dengan Fattah. Namun, nyatanya lelaki itu pun mempunyai permasalahan pelik. Masyarakat belum menerima pria itu.
"Maaf. Aku menyesal mendengarkan kabar buruk itu. Kau layak bahagia."
Daisy menyedot minumannya sembari memperhatikan suasana luar kafe. Banyak sekali orang berlalu lalang di luar sana.
"Kau bisa cerita apa saja yang mengganjal dalam hatimu. Aku merasakan kau sedang dalam masalah." Insting seorang teman. Fattah hanya punya satu orang teman sehingga, ia begitu memahami wanita itu lebih dari apa pun.
"Kurasa tidak perlu. Aku tidak mau egois. Kau juga sedang dalam masalah. Aku tidak apa-apa."
Daisy memaksakan sebuah senyuman. Namun, Fattah tentu tak percaya. Dia sangat mengenal wanita itu, dan Fattah tak akan biarkan perempuan itu merasa sedih.
"Ayolah. Ceritakan masalahmu padaku kalau kamu masih anggap aku sahabat!"
Daisy ragu membicarakan permasalahannya. Tetapi, untuk menghormati persahabatan antara dirinya dan Fattah, wanita itu mencoba untuk bersikap jujur. Ekspresi Daisy seketika muram seperti siang hari cerah berubah menjadi sangat mendung.
Mata Daisy menggenang. Dia nyaris menangis. Saat itu terjadi, Fattah langsung menyodorkan sapu tangan. Beruntungnya bahwa Fattah selalu membawa sapu tangan setiap keluar rumah. Tidak banyak pria melakukan itu di masa moderen ini.
"Anton berselingkuh."
Daisy terlihat hancur. Semua istri yang mempercayai suaminya tentu akan sangat terpukul jika mendapati suaminya berselingkuh. Daisy sangat mencintai Anton. Sulit mempercayai orang yang dicintai justru berkhianat dengan wanita lain.
"Pria itu tidak pantas untukmu, Daisy. Aku sangat marah mendengar berita ini." Rahang Fattah mengeras. Dia mengepalkan tangan. Buku-buku jarinya tampak jelas terlihat. Ingin sekali rasanya menonjok seseorang.
"Aku tahu."
Daisy mencoba terlihat tegar. Sementara Fattah masih tidak percaya. Dalam hal ini, Daisy sudah sangat sempurna sebagai cewek. Bisa-bisanya Anton mengkhianati cinta istrinya? Apa yang kurang dari Daisy? Mengapa lelaki kaya macam Anton begitu tega mengkhianati istrinya?
"Apa kau mau aku memukuli Anton. Dengan senang hati aku akan menghajarnya. Dia pantas dipukuli."
Senyuman bangga tercetak di wajah Daisy. Namun, ia menggeleng. Dia memegang lembut punggung Fattah. "Tidak perlu, Fattah. Jangan kotori tanganmu untuk laki-laki macam dia. Mungkin aku sedih saat ini. Tetapi aku akan segera membaik."
"Jadi, apa keputusanmu?"
"Aku akan menggugat cerai darinya."
Fattah mengangguk. Itu ide paling brilian. Jika seorang suami tidak setia, maka seorang istri layak untuk bahagia bersama pria lainnya. Setelah Daisy mengaku, Fattah banyak menghibur sahabatnya. Mereka berkeliling kota semalaman hanya untuk menghibur Daisy, dan itu berhasil. Malam itu, Daisy tampak gembira.
.
Instagram: Sastrabisu