Pesan

961 Words
Hari sudah mulai gelap dan Jeffan baru saja sampai di rumah bersama dengan adik bungsunya, Anna. Anna terlihat senang dan bersemangat setelah menghadiri pesta ulang tahun temannya. Berbeda dengan Jeffan yang terlihat lesu dan lelah. Ya, segalanya memang akan berubah saat patah hati. Seperti semangat hidup yang tiba-tiba hilang, dan entah kapan datang lagi. Jeffan mendudukkan dirinya di sofa panjang yang berhadapan langsung dengan ranjangnya. Kepalanya bersandar pada bagian belakang sofa dengan mata terpejam. Pikiran Jeffan terbang, mengingat segala kenangan indah yang pernah dia lalui bersama sang mantan yang sekarang sudah sah menjadi istri orang. Jujur saja, Jeffan merindukan momen-momen kebersamaan mereka. Jeffan tahu ini salah. Salah karena dia masih memiliki rasa pada istri orang. Namun melupakan perasaan pada seseorang itu tidaklah mudah. Apalagi, selama ini Jeffan mencintainya dengan sepenuh hati. Sonya Adriani. Itulah namanya. Mereka bertemu secara tak sengaja di sebuah pesta anniversary pernikahan seseorang. Pertemuan pertama mereka memang sangat klise. Tak sengaja bertabrakan, berkenalan, hingga akhirnya saling bertukar nomor. Setelah cukup lama bertukar pesan, akhirnya perasaan cinta pun hadir. Jeffan lah yang pertama mengungkapkan perasaan pada Sonya. Dan Sonya menerimanya dengan mudah. Sekarang, Jeffan jadi bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apa mungkin selama ini sebenarnya Sonya tak pernah mencintainya? Apa mungkin selama ini hanya dia saja yang menganggap serius hubungan mereka? Ya, sepertinya memang begitu. Jika Sonya memiliki pemikiran yang sama sepertinya dalam sebuah komitmen, wanita itu pasti sekarang masih bersamanya. Tak mungkin sampai hamil anak pria lain. Yakin semua itu adalah kecelakaan satu malam? Jeffan jadi ragu. Pemikiran Jeffan tentang Sonya seketika buyar saat ponselnya yang masih berada dalam saku celana berdering dan bergetar. Dengan sedikit penasaran, Jeffan pun mengambil ponselnya. Ternyata ada pesan masuk dari sahabatnya sendiri, Meira. "Hai, Jeff. Bagaimana tadi?" Kening Jeffan berkerut bingung membaca pesan dari Meira tersebut. "Bagaimana apanya?" Akhirnya Jeffan bertanya. Tak lama, Meira membalas pesannya lagi. "Aku dan Revan sengaja loh ninggalin kamu berdua sama Gia. Kali aja kalian bisa deket gitu. Hehehe???." Jeffan melebarkan mata sesaat setelah membaca balasan dari Meira barusan. Begitukah? Pantas saja mereka pergi lama sekali saat berkata ingin mencari rujak. Gia sampai keheranan karena mereka pergi sampai lebih dari satu jam. Dan ternyata itu disengaja. "Jangan aneh-aneh, Mei." Jeffan menggeleng tak percaya dengan kelakuan Meira. Makin tak habis pikir saat tahu Revan ikut-ikutan juga. "Aneh apanya sih? Kamu dan Gia itu sama-sama orang baik dan setia yang disia-siakan. Kalau kalian bersama, aku yakin kalian bisa saling menghargai." Jeffan membaca pesan tersebut berulang kali, hingga akhirnya memutuskan untuk tidak membalasnya lagi. Meira adalah salah satu orang yang berharap dia segera move on dari Sonya dan melupakannya. Dan Jeffan tekankan lagi, melupakan semuanya dalam waktu yang singkat tidaklah mudah. Orang-orang tak akan mengerti jika tak berada di posisinya sekarang. Jeffan menaruh ponselnya di atas meja, tak ada niatan untuk membalas pesan Meira lagi. Namun tak lama kemudian, ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan masuk lagi, yang kali ini adalah dari Revan. Penasaran, akhirnya Jeffan membaca pesan dari suami sahabatnya tersebut "Jeff, yang di atas itu nomor adikku. Kamu bisa menghubunginya kapan saja. Btw, dia bilang hanya kamu yang mengerti perasaannya karena kalian mengalami hal yang sama. Tak mau mencoba sesuatu yang baru? Usaha untuk melupakan masa lalu dan memulai masa depan." Jeffan menatap tak percaya pada layar ponselnya yang memperlihatkan isi pesan dari Revan. Duh, suami istri satu ini kompak sekali ya. "Melupakan seseorang tidak semudah membalikkan telapak tangan, Van. Aku sangat mengerti perasaan adikmu. Semuanya butuh proses." Akhirnya hanya itu balasan Jeffan untuk Revan. Jeffan pikir, Revan tak akan membalas. Dan ternyata, perkiraannya salah. "Yoi, aku tahu. Kamu bisa jadikan dia sebagai teman curhat saja kalau gitu. Saling mengerti satu sama lain kan? Aku kasih restu. Kamu tak perlu susah-susah minta restu dariku." Jeffan menggelengkan kepalanya pelan setelah membaca pesan kedua dari Revan tersebut. Ampun deh. Cukup lama Jeffan diam, seraya melihat layar ponselnya. Dia melihat nomor Gia yang dikirimkan oleh Revan barusan. Mempertimbangkan, apakah harus dia menyapa wanita tersebut? Setelah lama berpikir, akhirnya Jeffan menyentuh nomor tersebut dan menyimpan nomornya. Lalu Jeffan mengetik sebuah pesan singkat, untuk menyapa Gia. "Selamat malam, Gia. Ini aku, Jeffan." *** Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan Gia masih belum merasakan kantuk. Matanya masih segar, seraya menatap layar ponsel. Sejak tadi dia memang tak melakukan apa-apa selain memainkan ponsel. Gia sedang berbalas pesan dengan seseorang sekarang. Seseorang yang asing baginya, yang baru dia temui dan kenal tadi siang di pantai. Itu pun pertemuan mereka tak sengaja. Dan Gia agak kaget saat mendapatkan pesan darinya tadi. "Jangan memulai hubungan baru jika belum bisa lepas dari masa lalu. Aku sering mendengar itu. Katanya, jika kita memaksakan diri, maka orang baru tersebut yang akan terluka dengan perlakuan kita yang belum move on." Gia langsung mengirimkannya pada Jeffan, pria yang merupakan sahabat kakak iparnya. Gia kaget juga tadi saat mendapatkan pesan dari Jeffan. Dia sempat bertanya juga dari mana Jeffan mendapatkan nomornya. Gia sudah curiga pada Meira, namun ternyata jawaban Jeffan membuat Gia agak speechless. Kakaknya sendiri lah yang memberikan nomornya pada Jeffan. Revan dan Meira kompak sekali sebagai pasangan suami istri. Mempunyai pemikiran yang sama tentang dia dan Jeffan. Hei, padahal membuka hati untuk orang baru itu tidak semudah yang dikira. Dan Gia sekarang mulai kesal pada dua orang tersebut yang seakan mendesaknya untuk segera mencari orang lain. "Iya. Aku juga sering mendengar kalimat itu. Cukuplah kita yang merasakan sakit, jangan sampai kita melampiaskan rasa sakit pada orang lain. Menyembuhkan hati lebih dulu sepertinya tidak ada salahnya. Dari pada terikat dalam hubungan baru, dan hati sendiri merasa terpaksa." Gia membacanya, dan entah kenapa hatinya terasa agak lega. Jeffan mengalami hal yang sama dengan dirinya, hingga Jeffan paham betul tentang perasaan Gia sekarang. Jeffan mengerti keadaannya, tidak memaksa dirinya untuk cepat-cepat melupakan masa lalu. Oke. Sepertinya Jeffan memang cocok dijadikan teman curhat untuk sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD