Trauma

1437 Words
Talita benar-benar hilang kendali, dia terlihat sangat emosi ketika melihat Aska, kenangan malam itu benar-benar seperti hadir kembali di ingatannya. Aska hanya diam saja ketika gadis itu mulai mengamuk, sedangkan Aron berusaha menenangkan Talita. “Lit, tolong jangan kek gini,” pinta Aron, berusaha menahan Talita yang terus mengamuk. “Lepasin! Dia itu bukan manusia!” Talita menatap Aska dengan tatapan penuh kebencian. “Maaf …,” ucap Aska. “Cih! Maaf?!” Talita menatap tajam Aska. “Kamu itu iblis yang tega membunuh darah dagingmu sendiri, hewan saja nggak seperti kamu!” teriak Talita penuh amarah. “Lit, it—“ Aska langsung menghentikan ucapan Aron lewat kode tangan yang ia berikan. “Kenapa kamu bawa Aska ke sini?!” Adel ikut bicara. “Ma, Mama nggak kasian sama Aska?” Aron balik bertanya, dia masih tetap memegangi Talita. “Mama nggak akan mendukung perbuatan salah Aska meskipun dia anak mama!” tegas Adel, berusaha meraih Talita yang wajahnya terlihat mulai pucat. “Aku tau aku salah, Ma. Aku ingin menebus semua kesalahnku.” Aska kembali bicara. “Nggak perlu! Pergi!” Talita menangis, ingatan itu seperti nyata, rasa sakit itu kembali dia rasakan, darah yang mengalir dan mulai membanjiri lantai terlihat begitu jelas, Talita menjerit histeris, gadis itu memegangi perutnya, mencengkeram lengan Aron seprti seseorang yang meminta pertolongan. “Tolong, selamatkan anakku ….” Suara Talita mulai melemah. Adel mendekat, dia tahu jika gadis itu masih belum bisa menghilangkan traumanya. “Sayang, sadarlah! Itu semua sudah berlalu.” Adel meraih Talita ke dalam pelukannya. Tubuh Aska lemah seketika, sudah tujuh tahun tapi Talita masih belum bisa melupakan kejadian malam itu. Aska menitikkan air mata, sungguh menyakitkan melihat orang yang dia cintai sampai seperti itu karena ulahnya. “Lihat! Mereka ingin membunuh anakku! Dia nggak berdosa! Aku yang berdosa, bukan anakku! Dia masih suci.” Tangan Talita menunjuk ke arah depan seolah-olah dia melihat dirinya yang sedang disiksa oleh orang-orang suruhan Aska. Adel memegangi wajah cantik Talita, berusaha menyadarkan gadis itu. “Enggak! Lihat Tante. Jangan seperti ini, kamu berhak bahagia. Kami ada di sini bersamamu, sadarlah Nak.” Hati Adel benar-benar perih melihat Talita seperti itu, dia pikir Talita sudah bisa berdamai dengan masa lalunya tapi ternyata ‘tidak’! “Jangan!” Teriak Talita kencang. “Lita!” Aska berteriak ketika melihat tubuh Talita ambruk di pelukan Adel, dia langsung memapah Talita yang sudah tidak sadarkan diri lagi, tanpa sebuah komando, Aska mengangkat tubuh lemah gadis itu menuju sebuah kamar tamu. Adel merasa geram melihat tingkah putranya. “Turunin Lita! Kamu yang bikin dia kayak gini!” “Ma! Aska hanya nolongin Lita, apa salahnya?!” protes Aron. “Jelas salah, coba kalau Aska nggak muncul, Lita akan baik-baik saja!” Adel terlihat semakin kesal. Aska sedikit menoleh ke arah Adel. “Ma … maafian Aska, aku hanya ingin menebus semua dosaku, aku tau gimana kedaan Lita saat ini, aku hanya ingin memperbaiki semuanya,” ucap Aska tulus. Adel kembali menitikan air matanya. “Di mana dulu kamu, Aska? Di mana saat Lita hampir meregang nyawanya? Kenapa kamu tega dengan darah dagingmu sendiri? Hati nuranimu di mana?” “Ma! Ingat posisi Aska dulu, dia hanya dimanfaatkan, dia nggak tau apa-apa,” sela Aron. “Laki-laki yang baik tidak akan tega dengan darah dagingnya sendiri, dia tidak akan tega merusak masa depan gadis yang baik, tidak akan!” bantah Adel emosi. “Aku memang b******k, aku juga seorang b******n, Ma. Tolong ijinkan aku menebus semuanya, aku akan menikahi Lita,” ucap Aska yakin. “Enggak! Mama nggak setuju. Melihat kamu aja dia seperti ini, gimana kalau dia harus berhadapan dengan kamu setiap hari?” Adel tetap kokoh pada pendiriannya. “Ma! Mama kenapa? Apa Mama nggak lihat? Selama ini Aska juga menderita, bukan hanya Lita saja.” Aron ikiu membela Aska. “Tetap saja bagi Mama Aska bersalah, Mama hanya ingin yang terbaik untuk Lita, Mama merasa bersalah padanya. Mama juga sayang kamu Aska, tapi untuk urusan Lita Mama tidak bisa memihakmu, Mama nggak bisa ….” Hati Adel benar-benar hancur, di sisi lain dia sangat menyayangi keduanya tapi dia juga tidak boleh egois begitu saja. “Ma, aku tau gimana perasaan Mama. Yakinlah, aku berjanji akan membahagiakan Lita, aku akan berusaha mendapatkan maaf darinya, percayalah ….” Aska berusaha menahan air matanya, pria itu kembali berjalan menuju sebuah kamar. Adel maju, berusaha mencegah Aska, Aron tidak tinggal diam, pria tampan itu menggeleng, menahan lengan Adel. “Enggak, Ma … sudah benar jika Lita bersama Aska,” ucap Aron. “Tapi …” Aron kembali menggeleng. “Lebih baik kita panggil dokter, takut Lita kenapa-napa.” Adel pun mengalah untuk saat ini, baginya kesehatan Lita jauh lebih penting daripada harus berdebat dengan kedua putranya. “Baiklah ….” Aron tersenyum, cukup lega mendengar jawaban singkat sang mama. “Nah, gitu dong!” *** Aska perlahan membaringkan tubuh lemah Talita di atas sebuah kasur, menyelimuti tubuh gadis cantik itu, membelai lembut wajah cantik Talita, dia begitu merindukan gadis itu, gadis yang dulu pernah dia campakkan, gadis tidak berdosa yang telah dia hancurkan masa depannya, air mata Aska sudah tidak bisa dia bendung lagi, dia bersimpuh di depan ranjang tempat Talita terbaring tidak berdaya. “Maaf … maafin aku, Lit. Aku benar-benar minta maaf, aku hanya ingin menebus semuanya.” Bibir Aska bergetar, dia benar-benar merasa bersalah dengan Talita. Hatinya benar-benar remuk saat melihat Talita seperti tadi. “Permisi!” Aska berdiri, merapikan wajahnya, menoleh saat seorang dokter sudah bediri di belakangnya dan diikuti oleh Adel dan Aron. “Silahkan ….” Aska mempersilahkan dokter untuk memeriksa keadaan Talita. Ketiganya terlihat sangat khawatir saat seorang dokter mulai memeriksa keadaan Talita. “Gimana keadaanya, Dok?” tanya Adel tidak sabar. “Pasien sepertinya mengalami traumatis,” jawab si dokter. Adel langsung menatap tajam ke arah Aska yang terlihat sangat khawatir juga. “Kamu puas?! Ini yang kamu inginkan?” Aron berusaha menenangkan Adel. “Ma, sudahlah … jangan nyalahin Aska terus.” “Mama nggak nyalahin, tanya dokter apa akibat dari traumanya!” kesal Adel. “Gimana Dok?” Aska bertanya kepada dokter. “Ini sangat berbahaya untuk pasien, jauhkan dia dari segala sesuatu yang bisa mengingatkan dia dari traumanya, atau ….” Dokter menggantung kalimatnya. “Atau apa, Dok?!” sela Aska. “Nyawanya dalam bahaya kalau dia tidak bisa mengendalikan dirinya.” Tubuh Aska kembali lemas setelah mendengar penjelasan dokter. “Sampai segitunya trauma yang Lita alami?” batin Aska. “Kalian sekarang sadar, kenapa Mama nyembunyiin Lita selama ini, karena ini! Mama takut kalau kek gini, dia bener-bener sangat menderita,” ucap Adel. Aska menatap Adel. “Maafin Aska, Ma.” Aska berjalan keluar dari ruangan itu. Aron dengan sigap menahan lengan Aska. “Lo mau ke mana?” Aska menatap Aron. “Ini bukan waktu yang tepat, Ron. Aku nggak mau Lita kenapa-napa setelah dia siuman, aku nggak ingin Lita menderita lagi,” ucap Aska. “Jadi lo nyerah?” tanya Aron. Aska menggeleng. “Aku nggak akan pernah nyerah, tapi ini bukan waktu yang tepat, lepasin tangan gue,” pinta Aska. “Lepasin dia, Ron!” perintah Adel. Aron mengalah, terpaksa melepas tangan Aska. “Gue tetep dukung lo …,” bisik Aron. Aska menyunggingkan senyumnya. “Thank’s ….” Aska berjalan menuju pintu utama, meskipun sedikit kecewa dia berusaha sabar menghadapi sikap Talita, dia sadar jika tidak mudah buat Talita untuk memaafkan semua kebejatannya dulu. Dia juga tidak akan pernah menyalahkan sikap mamanya, justru dia bersyukur karena mamanya-lah Talita bisa bangkit kembali dari keterpurukannya. Dalam keadaan cukup kacau Aska terus berjalan menuju pintu utama, langkah kakinya tiba-tiba berhenti, seorang pria tampan dengan pakai yang cukup rapi sudah berdiri di ambang pintu. “Permisi, apa Litanya masih ada di dalam?” tanya si pria. Aska mengernyit heran, sedikit curiga dengan si pria. “Kenapa dia manggil Talita dengan sebutan ‘Lita’ seperti sudah akrab saja,” batin Aska. “Maaf, ada keperluan apa ya?!” Pertanyaan Aska sedikit sinis, terlihat sekali dia tidak menyukai si pria. Si pria tersenyum manis, benar-benar membuat Aska semakin muak. “Kamu pasti Aron!” tebak sip ria sok tau. “Bukan!” Aska semakin jengkel, penasaran juga dengan pria di depannya, perasaan pria yang berdiri di depannya bukan seorang mahasiswa, tapi bisa-bisanya kenal Aron. Itu yang ada di pikiran Aska saat ini. “Oh ….” Hanya itu jawaban si pria. “Eh, Lita di mana?!” Kembali si pria bertanya keberadaan Talita. “Emang ada apa? tanya Lita terus, mau ngapain?!” ketus Aska. “Wajarlah aku nyari pacar aku.” Kedua mata Aska membulat, cukup terkejut dengan jawaban si pria. “Pacar?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD