Melamar

1033 Words
Alea tersimpuh lemas di lantai, dia benar-benar takut jika Talita kembali lagi ke Paris. Bohong, jika dia baik-baik saja ketika dulu putrinya terpuruk. Sebagai seorang ibu dia ingin yang terbaik untuk putrinya, dia hanya ingin Talita kembali berdamai dengan masa lalunya, dia juga tidak bisa mnyalahkan Aska, karena memang pemuda itu tidak bersalah sepenuhnya, Alea juga yakin sekali jika Aska sama-sama terluka seperti putrinya. “Enggak, ini nggak boleh terjadi! Aku harus bertindak ….” Alea menghapus air matanya, berusaha menguatkan dirinya, dia tidak ingin kehilangan Talita untuk yang kedua kalinya, kali ini dia tidak akan tinggal diam, dia akan memastikan kebahagiaan untuk putrinya. Hati siapa yang tidak hancur mengetahui fakta jika putrinya menjadi sasaran balas dendam musuhnya, sungguh Alea sangat menyesali tindakannya dulu, harusnya dulu dia tetep berdiri di samping Talita untuk mendukungnya. Perlahan Alea berdiri, menghapus air matanya, dia harus bertidak kalau tidak ingin kehilangan putrinya untuk yang kedua kalinya. Menangis tidak akan menyelesaikan semua masalahnya. “Akan kupastikan kebahagiaanmu, Nak …,” gumam Alea. *** Kantor Dion Aska dan Aron baru saja sampai di kantor Dion, setelah bertanya ke Mbak resepsionist, keduanya langsung menuju ke ruangan tempat di mana Dion bekerja. Aska terlihat sangat buru-buru, dia benar-benar tidak sabar untuk menemui Dion. Aron yang berjalan di sampingnya kadang melirik ke arah Aska. “Semangat banget nih anak.” Ini gumaman Aron dalam hati. “Ayo, Ron!” Ajak Aska, cukup mengagetkan Aron yang terus menggumam. “Iya! Nggak nyadar lo? Dari tadi jalannya udah kayak orang kesambet aja.” Aron cukup jengkel juga dengan sikap kakaknya. Aska menoleh, meletakkan jari telunjukknya di depan mulut, memberi isyarat untuk adiknya diam. “Hustt … diem.” Aron pasang wajah kesalnya, sumpah kalau mode seperti ini, dia ingin sekali melempar Aska pakai sandal, untung saja dia pakai sepatu sneakers yang nyopotnya cukup susah, jadi Aska aman dari lemparan sandal milik Aron. “Ih … lama-lama gue geprek tuh muka!” Aron benar-benar terlihat sangat kesal. Aska tersenyum, sebenarnya cukup menghibur kalau berdua sama Aron. “Jangan, dong! Nanti lamaran gue ditolak, gara-gara muka gue mirip ayam geprek.” Demi apa coba, tampan … oke. Posisi … sangat berwibawa, tapi namanya anak Alvin, tingkah laku keduanya tidak jauh beda dari bapak mereka. Aron tertawa, hampir saja tawa dia kelepasan mendengar ucapan Aska. Di ingatannya langsung terbayang wajah Aska yang tinggi tegap dengan ayam geprek terpampang di wajahnya. Dikiranya kartun? Dasar Aron aneh. “Woi!” Aska main pukul saja lengan Aron, menyadarkan itu anak dari khayalan konyolnya. Aron melirik sinis, sedang menghayal yang lucu-lucu, tiba-tiba saja digeblag, sangat tidak menyenangkan! “k*****t, lo!” Aron mengumpat. “Kita udah sampai, pe-a!” Sumpah menyebalkan sekali, kalau tidak ingat Aska itu kakaknya, mungkin sudah benar-benar digeprek sama Aron. Aron terpaksa menunda kekesalannya, mereka memang sudah sampai di depan ruangan Dion. Aska perlahan membuka pintu ruangan itu, cukup deg-degan juga saat pintu ruangan terbuka. Terlihat Dion yang sedang sibuk dengan laptopnya, pria sebaruh baya itu menoleh, tersenyum saat tau siapa yang mendatanginya, dua orang pemuda tampan yang sudah dia anggap seperti putranya. Dion berdiri, berjalan ke arah pintu untuk menyambut kedatangan keduanya, mempersilahkan mereka untuk duduk di sebuah sofa. Aska dan Aron tersenyum, menyalami Dion seperti biasanya. “Tumben ke sini? Ayo duduk!” Ajak Dion, ikut duduk di sebuah sofa yang berhadapan dengan mereka. Aska dan Aron duduk, keduanya terlihat canggung, apalagi Aska, grogi sudah pasti. Aska beriniatif untuk memulai pembicaraan. “Maaf, Om. Kami sudah mengganggu waktunya, Om.” Aska mengucapkannya dengan berbagai rasa yang berkecamuk di dalam d**a, demi apapun dia takut dengan banyak kemungkinan yang akan dia hadapi nantinya. Dion tersenyum, sama sekali tidak ada rasa benci, marah atau pun dendam terhadap Aska. Justru dia sangat simpati terhadap anak itu. Dulu, dia dan Alvin mati-matian mencari keberadaan anak itu, mereka sempat berpikir Aska sudah tidak selamat, tapi takdir berkata lain, Aska dan Talita hanyalah korban dari kekejaman musuh mereka. Justru sekarang Dion sangat bersyukur dengan keneradaan Aska di tengah-tengah mereka. Semua ada hikmahnya, Andre juga sudah menyadari semua kesalahannya selama ini, hubunganya dengan Andre juga sudah membaik. “Kenapa kalian kelihatan sungkan seperti itu?” Aska menghela nafas, mengelus dadanya yang dari tadi sepertinya detak jantungnya tidak normal, keringat dingin mulai membasahi keningnya. Dion mengernyit, menatap heran ke arah Aska. “Ada apa?” tanya Dion. Aska kelagapan, mengusap keringat dinginnya. “Eh, gini … Om—“ Aron menyikut lengan Aska. Sumpah cukup kesal juga dengan tingkah Aron. “Diem …” Meskipun ucapan itu cukup pelan, tapi terdengar juga oleh Dion, pria itu kembali tersenyum, ingat tingkah dia dan Alvin dulu. “Begini, Om ….” Aska berusaha menenangkan dirinya, dia sampai tidak sadar sudah mengulangi kata-katanya lagi. “Iya … begini gimana?” Dion sedikit menggoda. Aska nyengir, Aron menapok jidatnya. Baru kali ini lihat si sempuna ganteng seperti orang o-on. “Banyak drama, lo!” kesal Aron, berusaha mengungkapkan maksud kedatangan mereka. “Ceritanya gi—“ Buru-buru Aska membekap mulut lancang adiknya, itu bocah tidak merasakan bagaimana rasanya kalau mau melamar anak orang, dikiranya gampang apa! Aron menabok-nabok tangan Aska yang membekapnya cukup kuat. “Leph—!” Dion geleng kepala, memang benar-benar gennya Alvin sama Adel. Aska tersenyum kikuk ke arah Dion, akhirnya dia melepaskan tangannya, mencubit lengan Aron, memberi isyarat untuk Aron diam. “Maksud kedatangan saya ke sini ada perlu sama Om.” Buru-buru melanjutkan kata-katanya sebelum keduluan Aron. “Harusnya tadi dia datang sendiri.” Itu yang ada di pikiran Aska saat ini. “Iya, ada perlu apa?” Kembali Dion bertanya. “Itu, Om …” Masih saja ucapan Aska terbata-bata, Aron ikut gemas mendengarnya, mau nyela takut digampar sama kakaknya. “Maksud saya ….” Aska kembali menyeka keringat dingin yang menetes di keningnya. “Sa—saya … eh ….” Aska menghela nafas, berusaha menenangkan dirinya. Dion mengernyit, menunggu kata-kata Aska selanjutnya. “Iya, maksudnya gimana?” tanya Dion untuk yang kesekian kalinya. “Ih, kelamaan!” gerutu Aron. Sumpah ini bocah tengik emang rese sekali, Aska ikut greget sama tingkah Aron yang membuatnya semakin grogi. “Saya ingin melamar Lita!” Ucapan itu begitu saja keluar dari bibir Aska. Dion terkejut. “Maksudnya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD