Aku bingung. Aku galon. Aku menyesal. Satu kata yang terakhir itu masih membuatku bingung. Entah kenapa semuanya sangat berjalan begitu cepat. Apa salahku coba? pria yang bernama Irgi itu sikapnya berubah dengan tiba-tiba.
Ok. Aku akui terlalu blak-blakan saat mengatakan aku memang tidak mau seorang duda. Tapi toh wajar aku masih berusia 20 tahun dan harus menikah dengan seorang duda. Aku tak mau bekas. Toh aku bisa mencari pria yang lebih dari Irgi. Yang masih belum pernah menikah.
Tapi entah kenapa saat mendengar penegasan Irgi kalau dia akan melepaskanku membuat hatiku mencelus. Irgi masih mengantarkanku pulang sampai ke rumah di Jakarta. Tapi selama perjalanan itu dia diam. Dan berubah dingin. Aku juga tidak mau memancing emosinya.
Dan saat sampai di rumah Irgi langsung menemui papa dan juga Mama. Biarlah. Aku sudah lelah dengan semua ini. Aku ingin kembali menjadi Bulan sebelum Irgi datang mengusik hidupku.
"Bul. Papa mau bicara sama kamu. Tapi ini serius."Ucapan tegas papa membuatku tersadar dari lamunan. Kalau saja sekarang aku tidak berada di depan papa, aku langsung merengek sama Mama. Dan merajuk.
Tapi mama juga sejak kedatangan Irgi tadi. Dan setelah pria itu pulang. Mama menatapku muram. Aku di dudukkan di sofa yang ada di ruang keluarga.
Sementara papa berdiri menjulang di depanku. Sore ini, papa terlihat begitu mengintimidasi.
Sedangkan Mama kali ini juga ikut menatapku dengan tajam. Tuh kan kenapa semua orang sepertinya memusuhiku?
"Papa tidak mengerti kenapa Irgi mengatakan membatalkan pernikahan ini? Demi Tuhan Bul. Semua sudah 90% di urus. Gedung sudah di pesan, catering, undangan bahkan gaun pengantinnya juga sudah di jahit." papa kini menyipitkan matanya saat bersedekap di depanku.
Apa yang di ucapkan Irgi kepada papa dan mama?
"Pah, Irgi dan Bulan udah sepakat. Toh papa juga tahu kalau Bulan tidak hamil. Irgi kan udah jelasin semuanya kan? Kalau itu tipuannya buat jebak Bulan. Dan Bulan tak mau menikah dengan seorang duda. Papah tahu dari awal. Bulan ingin seorang yang sama seperti Bulan. Masih perawan."
Tapi setelah mengatakan itu. Aku bisa melihat raut wajah papa yang makin muram. Dan Mama yang sudah pucat pasi. Astaga?
Aku sudah menyinggung perasaan Mama saat ini. Dengan cepat aku langsung beranjak dari dudukku dan berlari ke arah mama dan bersimpuh di depannya.
Kuraih jemari Mama dan menggenggamnya erat.
"Ma maafin Bulan. Maksud Bulan ..." Aku tak bisa mengatakan apapun. Tapi Mama hanya mengangguk dan mengulas senyum tipis. Lalu mencium keningku dengan sayang.
"Bul. Kamu persis papa." Itu suara papa yang membuatku menoleh ke belakang. Dan kini kulihat papa tidak menatapku, melainkan menatap Mama. Tatapan itu melembut saat Mama juga balas menatapnya.
"Maksud papa?" Aku menyela tatapan mereka dan hal itu membuat Papa akhirnya berdehem dan kini menatapku.
"Duda itu juga manusia Bul. Seperti Mamamu dulu yang seorang janda. Tapi sekarang terbukti kan, kamu bisa melihat kalau papa tidak bisa hidup tanpa mamamu yang cantik ini. Toh apalah sebuah status. Semuanya juga tergantung kita yang menjalaninya."
Kutelan ludahku saat papa menghentikan bicaranya. Dan ketika aku menoleh ke arah mama. Beliau sudah berkaca-kaca
"Makasih mas sudah mau mencintaiku selama ini."
"Selalu sayang."
Aku menghela nafasnya lagi. Tahu kalau romansa papa dan mamanya begitu membuatku iri. Aku tahu mama berstatus janda sebelum bertemu dengan papa. Tapi dalam kasus ini beda.
"Tapi pah, Irgi itu tetap duda." aku bersikeras. Tapi papa langsung menggeleng.
"Duda seperti Irgi banyak yang mengincarnya. Setidaknya dia pria baik mau bertanggung jawab. Meski dia membohongi papa agar kalian menikah. Tapi papa mengerti kalau dia yang terbaik buatmu."
"Demi Mama juga ya sayang." itu ucapan lembut Mama yang tentu saja langsung membuat hatiku makin berdarah-darah.
"Setidaknya kamu tidak boleh mempermalukan keluarga ini. Kamu harus tetap menikah dengan Irgi. Pahami Irgi, sayang." itu papa yang mengucapkannya. Dan sekali lagi, aku kehilangan kata-kataku.
*****
Dan akhirnya aku memutuskan untuk mengajak Irgi bicara. Kami tadi di bawah tekanan emosi yang begitu kental sehingga kami tidak bisa mengambil garis lurus dari masalah ini.
Menunggu seseorang itu sungguh sangat menyebalkan. Pingin rasanya ponsel yang sedang aku pegang ini aku kunyah.
Sudah bergelung di atas kasur. Memeluk boneka minionku. Tapi malam ini, aku harus bicara dengan Irgi.
20 panggilan gak terjawab. Apa Irgi mengabaikanku? Dia masih marah denganku?Tapi saat aku mulai merasa putus asa, tiba-tiba suara berat Irgi terdengar di ujung sana.
"Halo."
"Gi ini aku. Bulan.," Terdengar helaan nafas yang cukup keras di ujung sana
Di mana sebenarnya pria itu berada?
"Ada apa?" Suara Irgi lembut tapi ada kesan menjaga jarak. Rasanya beneran pingin gigitin selimut kalau seperti ini.
"Ehm anu...ehm..aku minta maaf. Aku tidak bermaksud.."
"Huusstt...semuanya sudah usai kan? Nama baikmu besok aku luruskan di kampus dan kamu bisa selamanya terbebas dariku"
Ucapan Irgi itu tentu saja membuatku panik. Aku tidak mau di perlakukan seperti ini.
"Gi bukan itu maksudku. Aku memang kejam sudah menghakimi kamu. Dan aku minta maaf. Tapi...jangan gagalkan pernikahan ini. Maafkan aku."