SCENE 11 WILL!

711 Words
"Bulan masih perawan pah. Papah kejam maksain Bulan harus nikah sama Irgi. Bulan gak mau pah." Aku sudah hampir menangis. Bagaimanapun juga aku tetap tidak akan menyerah saat ini. Aku dan Irgi tidak bisa menikah. Enak saja. Pangeran impianku itu, ehm guru kakashi. Tahu kan, gurunya naruto yang matanya di tutup satu itu. Aih keren kan? "Awhhh." Dan jitakan kini terasa sakit di kepalaku. "Makanya kalau gak mau di nikahin jangan maen-maen sama duda." Tuh itu celetukan Kak Adrian. Huh, kenapa Kak Adrian jadi ikut ngedukung papa? Aku sekarang sedang duduk di atas sofa. Irgi langsung berpamit pulang setelah berbicara dengan papa. Dan dia tak menoleh sedikitpun kepadaku. Sungguh keterlaluan pria songong itu. Dan yah, setelah itu, aku di sidang lagi di sini. Lengkap dengan Kak Adrian, papa dan bunda. "Apaan sih kak, orang Bulan juga gak maen ama duda kok. Bulan kan pinternya maen Ps wek." Kujulurkan lidah ke arah Kak Adrian, dan kakakku yang tampan itu hanya menyeringai. "Bulan, papa kan sudah bilang. Dulu perjanjian kamu papa ijinin buat kuliah di Bandung, asal kamu gak buat ulah. Lha ini, tiba-tiba ada cowok telepon ke papa kalau dia sudah menodai kamu." Itu ucapan papa. Tuh kan si Irgi sialan itu sudah menghasut semua pikiran keluargaku. "Mah bantuin." Aku menoleh ke arah mama yang sejak tadi hanya diam saja. Aku tahu sudah mengecewakan mama, tapi ini kan bukan salahku. "Bulan sayang, mama juga kecewa sama kamu. Jalan satu-satunya ya kamu memang harus menikah. Biar semuanya menjadi halal." Aku mengerucutkan bibirku. Kenapa semua tidak ada yang memihakku. **** Menangis bukan gayaku. Setelah tidak ada kesempatan lagi untuk membela diri. Akhirnya aku mengurung diri di dalam kamar. Terlalu malas untuk saat ini. Tapi di atas kasur juga aku Cuma berguling-guling tak jelas. Tidak bisa tidur untuk malam ini. Dan bayangan wajah Irgi malah makin membuatku mual Suara dering ponsel mengagetkanku. Aku beranjak untuk meraih ponsel yang ada di atas nakas. Paling juga si bawel Meita. Dan tanpa melihat layar ponsel lagi, aku segera menempelkan di telinga. "Apa?" Hening. Tidak ada jawaban di ujung sana. Sumpah ini, pasti orang iseng yang menelepon. "Heh, jangan gangguin orang ya malam-malam begini. Siapa nih?" Aku membentak galak. Terlalu sebal dengan semuanya. Kalau ini salah satu fansku yang ada di kampus, aku bersumpah langsung mematikan ponsel. "Bulan." Jantungku langsung berdegup kencang saat mendengar suara berat di ujung sana. Aku langsung terduduk dan kini menyipitkan mata untuk melihat jam yang ada di atas nakas. Sudah pukul 11malam. Ngapain si songong itu telepon? "Apa lo?" Biar kapok deh. Pengen nimpukin Irgi pakai bantal saat ini. Terlalu gemas dengan kelakuannya. "Kenapa galak begitu?" Tuh kan, pria songong dan tak peka. "Ini semua gara-gara kamu. Seenaknya saja bilang kalau aku sudah ternoda sama papa. Kamu gila ya? Dasar duda, pantes saja kamu ditinggalin sama bini kamu." Dan setelah mengatakan itu aku merasa sangat bodoh. Sungguh, aku tak boleh membawa masa lalu Irgi. Terlalu pengecut aku ini. Kugigiti ujung selimut yang kupakai saat ini menunggu jawaban Irgi di ujung sana. "Aku hanya ingin menyelamatkan harga diri kamu." Irgi menjawab itu dengan datar. Tidak ada emosi dan ucapanku juga tak ditanggapinya. Pria yang ada di ujung sana itu terlalu dingin. "Aku sudah selamat, terimakasih." Aku geram sekali dengan pria ini. Enak sekali omongannya. Padahal yang bakal tersiksa juga aku. "Bulan, berapa banyak pria yang mengejar-ngejarmu di kampus? Berapa banyak fans yang sekarang memujamu? Mungkin kamu menikmati hal itu, tapi..." Aku mengernyit mendengar ucapannya. Kenapa dia peduli coba? "Aku tidak mau kamu menjadi ajang taruhan anak-anak. Kamu mungkin menikmati kejayaan kamu. Kamu cewek paling cantik. Kamu dipuja hampir seluruh pria di kampus. Tapi kamu tidak tahu kan? Di belakangmu mereka bertaruh. Siapa yang bisa mendapatkanmu." Hatiku mencelus mendengar ucapan itu. Benarkah separah itu? Aku juga tak sepopuler Tania yang lebih dulu di puja di kampus. "Setidaknya, dengan menikahimu. Aku bisa melindungimu dari tangan-tangan jahat yang ingin mengambil manfaat darimu." Aku terdiam mendengar ucapan Irgi. Benarkah separah itu? Terdiam cukup lama, mencoba mencerna semuanya. "Nabila Bulan Dirgantara... will you marry me?” Sungguh ucapannya itu membuat aku tak bisa menjawab. Pertanyaan yang di ucapkan dengan begitu lembut itu tentu saja membuat hatiku kebat-kebit. Bagaimana bisa coba? "Kenapa diam? Kamu tidak mau menikah denganku?" Jawab tidak jawab tidak. Tapi kenapa lidahku kelu saat ini. Owh My God.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD