Season 1 – Chapter 4

1271 Words
"Aku tidak bisa," jawab Kyna. Elysia langsung melepaskan pelukannya. Ia mundur cukup jauh dari Kyna, menjaga jarak lantaran masih terpukul mendengar jawab Kyna. Elysia sungguh tidak mengerti, ia pikir Kyna memiliki rasa padanya, tetapi nyatanya Kyna malah menolaknya tanpa memberi jeda untuk mempertimbangkannya dulu. "Kenapa?" tanya Elysia. Setelah berhasil mengumpulkan keberaniannya kembali. Kyna menggeleng. Wanita itu membisu begitu saja. Kepalanya menunduk tanpa mau menatap mata Elysia, sementara air matanya masih jatuh mengenangi pipinya. Hatinya kian berkecamuk. Ia menyukai Elysia. Sungguh. Hanya saja, Kyna tidak yakin kalau rasa sukanya itu adalah cinta. Ia juga tidak yakin kalau rasa yang Elysia ungkapkan padanya adalah cinta. Belum lagi rasa takut kalau dirinya yang telah membuat Elysia membelok menjadi penyuka sesama jenis. Tanpa Kyna ketahui, bahwa sejak awal Elysia memang sudah tertarik pada sesama wanita. "Kamu nggak sayang ke aku, Kyna? Lalu kamu anggap apa hubungan kita?" sekali lagi Elysia bertanya. Wanita itu kembali mendekati Kyna. Diangkatnya dagu Kyna, membuat tatapan mata mereka bertemu. Mata sembab berkaca-kaca milik Kyna membuatnya merasa sakit. "Kenapa menangis?" Suara Elysia nyaris tidak terdengar, jika saja jarak mereka tidak sedekat itu. "Maaf." Hanya satu kata yang mewakilkan semua jawaban Kyna. Dengan tubuh bergetar, Kyna memeluk Elysia erat. Dalam hati, pikiran logis dan egonya saling membentak, membenarkan keinginan masing-masing. "Maaf buat apa? Karena udah nolak aku?" Elysia tidak membalas peluk Kyna kali ini. Justru sebaliknya, dengan tegas Elysia mendorong Kyna menjauh. Rasa sakit ditolak Kyna, membuat tidak sanggup memeluk wanita itu saat ini. "Tidak. Bukan begitu, Ely. Aku – " Kyna mulai bingung harus berkata apa, pikirannya begitu kusut hingga sulit berpikir. Ia sungguh tidak siap dengan pernyataan cinta dadakan Elysia. Ingin sekali Kyna membantah semuanya. Menarik kembali jawabannya dan berkata kalau dia juga menyayangi Elysia, tapi Kyna takut. Takut kalau setelah mereka berubah menjadi 'kita' dan perasaan yang mereka kira cinta bukannya cinta yang sesungguhnya. "Kalau bukan begitu lalu apa? Kamu maunya apa Kyna!?" Elysia mulai frustrasi. Rasanya saat ini, ia sangat ingin membentak Kyna dan melampiaskan emosinya. Namun, rasa sayangnya membuat ia mengurungkan niat itu. Elysia lebih memilih menahan diri dan bersabar menghadapi Kyna yang sulit dipahami. "Aku nggak tahu, Ely!" jawab Kyna pasrah. Ya, Kyna sungguh bingung dengan keinginannya sendiri. Di satu sisi ia merasa bahagia menerima pernyataan cinta itu, tapi di sisi lain ia merasa takut. Elysia menghela napasnya lelah. Sekali lagi ia mencoba mencari kepastian dari Kyna. "Katakan, Kyna. Kamu sayang sama aku?" tanya Elysia pelan. Kyna melirik Elysia ragu-ragu. Setelah cukup lama merasa bimbang, Kyna menjawab dengan tegas. "Aku sayang kamu, sungguh." Digenggamnya tangan Elysia, berusaha menyalurkan perasaan yang penuh membuncah. "Tapi aku ingin kita tetap bersahabat, kamu maukan, Ely?" sambung Kyna, lebih terdengar seperti permohonan dengan nada bicara amat memelas. Elysia yang tadinya sudah merasa di atas awan mendengar kata sayang itu, kembali merasa kecewa. Ia menggeleng, seraya menarik tangannya dari genggaman Kyna. Manik mata yang selalu terlihat hangat itu, berubah menjadi dingin. "Aku nggak mau. Aku sayang kamu! Aku nggak mau menjadi sahabat kamu, hanya untuk merasakan sakit. Jika suatu saat kamu memiliki orang lain di sisi kamu." Kali ini giliran Elysia yang menolak. Setelah itu, semuanya terjadi dengan cepat. Tanpa sempat Kyna menerima semua itu, Elysia keluar dari rumahnya sendiri. Meninggalkan Kyna dengan rasa sedih dan penyesalannya. Tak kuat harus lebih lama di rumah Elysia, Kyna segera berganti pakaian dan memutuskan untuk pulang ke rumahnya sendiri, tanpa peduli sudah selarut apa saat ini. *** Kyna menunggu di halte dengan pandangan mata kosong. Bus yang menuju ke arah rumahnya, baru akan datang 20 menit lagi. Sementara pikiran penuh dengan ingatan-ingatan saat ia menghabiskan waktu bersama dengan Elysia. Berkali-kali Kyna mengumpat dengan suara kecil, menyesali pilihannya. Merutuki sifat pengecutnya. Ia bahkan telah melepaskan Frans untuk bisa menikmati kehidupan bebasnya. Namun saat kesempatan itu datang, ia malah terlalu pengecut untuk menerima uluran tangan Elysia. Pada akhirnya, ia kembali memikirkan risiko yang akan ia terima saat menjalani hubungan tabu tersebut. Ketakutan dan logika yang lebih menitikberatkan pandangan sekitarnya, daripada rasa nyaman dan bahagia di dalam pelukan Elysia. Kyna sungguh membenci sifatnya yang satu ini. Sementara Kyna terlalu sibuk mengumpat dan bergumul dengan isi pikirannya, Frans yang tidak sengaja melewati halte itu menghentikan mobilnya. Ia turun dan mendekati wanita dengan status mantan pacarnya itu. Rasa rindu mengisi hatinya. Melihat kembali wajah yang pernah mendampingi hidupnya, membuat rasa yang selama ini terpendam kembali bangkit. Setitik harapan untuk bisa kembali memiliki Kyna, memberikannya keberanian untuk menyapa Kyna. Pria bernama lengkap Frans Demeter itu tersenyum ramah. "Apa kabar Kyna?" tanyanya, saat jarak mereka telah sangat dekat. Kyna tersentak kaget. Refleks ia mundur beberapa langkah saat disapa oleh suara yang tidak asing itu. Wajar saja, jika mengingat kalau ia terus melamun sepanjang waktu. Kyna pun sadar ... sekelilingnya tidak lagi ramai. Halte yang tadinya cukup padat sudah sepi, bus yang dia tunggu pun telah terlewat tanpa disadarinya. Jam telah menunjukkan pukul 00:26. Sekali lagi Kyna mengumpat, merutuki kebodohan dan kecerobohannya. Padahal itu adalah bus terakhir yang lewat hari ini. Bahkan daerah tempatnya menunggu, juga merupakan daerah perumahan yang jelas-jelas tidak terdapat satu hotel pun untuk dijadikan tempatnya menginap malam ini. Sekarang Kyna merasa putus asa, belum lagi kehadiran Frans yang masih setia berdiri cukup jauh darinya itu. Pria yang sempat akan dijadikan suami itu terus menatap dengan nalar penuh kecurigaan. "Kamu kenapa Kyna?" tanya Frans sekali lagi, mencoba memahami tindakan Kyna yang menurutnya aneh. Sebab sejauh ia mengenal Kyna, Frans jelas tahu kalau Kyna paling malas keluar rumah lewat jam 8 malam, tapi lihat apa yang dilakukan wanita itu tengah malam seperti ini. "Aku tidak apa-apa Frans," jawab Kyna sekadar berbasa-basi. "Serius, kamu tidak sedang ada masalahkan?" Frans mulai merasa cemas, tidak yakin dengan jawaban Kyna. Kyna menggeleng. Mencoba menipu Frans atau setidaknya mencoba meyakinkan diri, bahwa ia sungguh baik-baik saja. "Kamu aneh, Kyn. Ayo aku antar pulang. Sudah malam, nggak ada angkutan umum lagi." Frans menarik tangan Kyna ke arah mobilnya terparkir. Sedangkan Kyna hanya diam, membiarkan Frans membawanya pulang. Ia sedikit bernostalgia mendengar panggilan akrab dari Frans. Panggilan sayang yang hanya digunakan oleh Frans di saat-saat tertentu, waktu mereka masih berpacaran dulu. Di dalam mobil, berkali-kali Frans menoleh ke samping, memerhatikan gelagat tidak biasa Kyna. Kyna yang ia kenal memang cukup pendiam. Namun, bukan orang yang suka termenung menatap jalanan dari jendela seperti ini. Kalau sedang malas mengobrol, biasanya Kyna akan tidur dan membiar Frans menyetir sendirian dalam diam. "Kyna, kamu benaran baik-baik saja? Ngomong sesuatu dong, aku cemas tahu!" ucap Frans memecah keheningan. "Eh!? Oh, iya. Aku baik Frans." Kyna mengerjap, sekali lagi ia disadarkan Frans dari lamunannya. Dengan kikuk, Kyna tersenyum menenangkan Frans. Ia memutar arah pandangan matanya hingga sejajar dengan Frans. "Makasih ya, sudah antarin aku pulang," ucapnya tulus. Tepat ketika mobil Frans berhenti di depan pagar rumahnya. Frans tersenyum, mengacak rambut Kyna penuh rasa sayang. Walaupun ia tahu Kyna tengah berbohong, tetapi ia juga tahu bahwa mereka tidak lagi memiliki hubungan dan dia tidak berhak memaksa Kyna untuk bercerita. "Sama-sama. Kamu cepat masuk sana, aku tunggu di sini sampai kamu mengunci pintu," balas Frans. "Iya, sekali lagi terima kasih." Dengan itu Kyna berjalan memasuki rumahnya, sementara Frans menunggu hingga Kyna masuk, barulah ia melajukan mobilnya meninggalkan rumah Kyna. Tidak ada janji untuk bertemu kembali, tidak ada kata-kata yang menunjukkan kalau Frans menginginkan mereka kembali berhubungan. Namun, masih ada rasa sayang yang tertinggal dalam tatapan mata teduh itu. Hal itu membuat perasaan Kyna bagai diaduk-aduk. Entah apa itu, yang jelas sentuhan kecil dari tangan Frans yang mengacak rambutnya dan senyum tulus itu membuat Kyna merasa tersanjung. Senyuman kecil mulai merekah, menghiasi wajah Kyna di antara rasa sedihnya. Untuk pertama kali, Kyna menyadari bahwa selama berhubungan dengan Frans dulu, hatinya tidak benar-benar hampa seperti yang ia pikirkan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD